Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Telepon Tak Tulalit

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi infrastruktur telekomunikasi di Indonesia memang tak separah listrik. Tapi keandalannya juga patut dipertanyakan. Masih banyak jaringan telepon di Indonesia yang menggunakan kabel tembaga, belum serat optik. Dan lagi, banyak jaringan telepon yang sudah uzur, sehingga keandalannya sudah berkurang. Boro-boro bicara tentang multimedia yang membutuhkan jalur cepat, yang hanya bisa dipenuhi oleh jaringan serat optik. Karena itulah, pembangunan jaringan telekomunikasi yang baru memang menjadi suatu keharusan. Menurut juru bicara PT Telkom, Dodi Amarudien, Telkom berencana membangun 4 juta satuan sambungan telepon (sst) baru sampai tahun 2004, untuk menambah kapasitas jaringan yang sudah ada sebanyak 6,6 juta sst. Untuk itu, dibutuhkan biaya sekitar US$ 4 miliar. "Kita harus mengantisipasi kenaikan permintaan sambungan baru yang rata-rata 20 persen per tahun," kata Dodi. Tingginya pertumbuhan permintaan ini bisa dipahami karena tingkat penetrasi telepon di Indonesia masih sangat rendah, yakni 3 per 100 orang, sedangkan pasokan terbatas. Tahun lalu, misalnya, ada sekitar 860 ribu permintaan baru, tapi Telkom cuma bisa menyediakan 120 ribu sst. Ini bisa menjadi daya tarik asing. Namun, sebagaimana di sektor listrik, Indonesia juga menghadapi kesulitan menarik investor asing di telekomunikasi. Menurut Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi Agum Gumelar, salah satu hambatan bagi masuknya asing adalah tarif telepon yang sangat rendah. Dengan tarif telepon lokal hanya US$ 0,33 per menit, Indonesia memang bukan lahan yang menarik untuk berbisnis telepon. Menurut Agum, Indonesia baru akan menarik jika tarifnya naik 100 persen. Sementara itu, pemerintah cuma mengizinkan Telkom menaikkan tarif 45 persen selama tiga tahun. Tarif memang menjadi dilema sektor telekomunikasi. Menurut Wakil Presiden Direktur Aria West International, Gatot Kahrmadji, tarif telepon di Indonesia seharusnya sudah naik paling tidak 200 persen sejak krisis. Tapi faktanya cuma naik belasan persen. Akibatnya sudah bisa ditebak: investor rugi besar. Namun, kalau dinaikkan sesuai dengan permintaan pasar, konsumen pasti menjerit. Karena itu, pemerintah memang harus pintar-pintar bersiasat agar investor asing tetap masuk, tapi rakyat tidak mendapatkan beban tambahan. Jika gagal, akan banyak pelanggan yang mendengar bunyi tulalit ketika menelepon. M.T. dan I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus