Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agenda yang Tak Pernah Selesai

24 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERIKUT ini prioritas persoalan perekonomian yang harus segera dituntaskan oleh Tim Ekonomi Kabinet Gus Dur yang dipimpin Kwik Kian Gie. Buka-bukaan Kasus Bank Bali Ini agenda superpendek. Laporan audit lengkap PricewaterhouseCoopers soal Bank Bali harus segera dipublikasikan. Direktur Hubungan Eksternal IMF, Tom Dawson, sekali lagi menegaskan IMF tak akan mencairkan pinjaman jika syarat publikasi itu tak dipenuhi. Di jajaran pemerintah, tampaknya juga tak ada yang keberatan soal itu. Tapi mengapa sampai hari ini hasil audit itu belum juga dibuka? Ketua Komisi XI DPR, Sukowalujo Mintorahardjo, yang menggenggam laporan itu, menjanjikan hasil lengkap audit baru bisa disiarkan setelah panitia khusus (pansus) DPR yang dibentuk untuk menangani Bank Bali membahasnya dengan tuntas. Menurut jadwal, pansus itu baru dibentuk bulan ini dan pembahasannya baru akan rampung pertengahan Desember nanti. Jadi, bagaimana IMF mau mencairkan pinjaman? Anggaran Belanja Negara Tekor Tahun depan, pos-pos belanja negara akan terus membengkak. Biaya bunga untuk program rekapitalisasi perbankan, misalnya, akan menanjak dari sekitar Rp 34 triliun menjadi Rp 50 triliun. Bekas Menteri Keuangan Fuad Bawazier bahkan menaksir biaya bunga obligasi yang dipakai untuk menyuntik modal perbankan bisa meledak sampai Rp 70 triliun, hampir sepertiga dari total anggaran saat ini. Pembengkakan juga terjadi di pos-pos subsidi. Naiknya harga minyak mentah di pasar dunia dari perkiraan US$ 10,5 menjadi hampir US$ 20 per barel menaikkan beban subsidi bahan bakar menjadi Rp 20 triliun. Pengeluaran ekstra ini, untuk sementara, memang bisa diimbangi dengan kenaikan pendapatan dari pos pendapatan minyak. Tapi, makin lama, tambahan subsidi energi yang juga ikut membengkak akan sulit dikejar. Selain beban bunga rekapitalisasi bank serta subsidi bahan bakar dan energi, lonjakan pengeluaran terjadi pada pos cicilan utang luar negeri. Menurut kalkulasi lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor (S & P), cicilan utang luar negeri pemerintah tahun ini mencapai US$ 2 miliar, tahun depan berlipat menjadi US$ 5 miliar, dan tahun depannya akan berlipat lagi menjadi US$ 9 miliar. Pelipatan yang beruntun pasti tak mungkin ditutup oleh pendapatan negara kecuali dengan menjala utang baru lagi. Menteri Keuangan memang telah melihat ancaman defisit anggaran yang luar biasa besar. Untuk itu, ia ingin menguranginya dengan mendongkrak pendapatan pajak plus—dalam jangka panjang—mengurangi subsidi. Artinya, harga bahan bakar dan listrik akan dinaikkan hingga mendekati harga di pasar internasional. Menteri berharap, dalam lima tahun, defisit anggaran kita sudah kembali ke nol persen. Ancaman Utang Luar Negeri Posisi utang luar negeri pemerintah kini mencapai US$ 61 miliar, naik US$ 10 miliar dalam satu setengah tahun terakhir. Selain itu, pemerintah memiliki utang ke bank-bank di dalam negeri yang jumlahnya mendekati Rp 500 triliun atau sekitar US$ 75 miliar. Dana ini dipakai pemerintah untuk merekapitalisasi (menginjeksi modal) perbankan. Total jenderal utang pemerintah mencapai US$ 136 miliar, hampir tiga kali lipat posisi Maret tahun lalu. Dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB), utang pemerintah kini mencapai rasio 110 persen. Padahal, tiga tahun lalu, rasio utang terhadap PDB cuma 26 persen. Statistik itu cuma menegaskan bahwa utang pemerintah sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Persoalannya bukan sekadar tekanan cicilan utang terhadap anggaran, melainkan lebih serius dari itu: beratnya tekanan terhadap beban neraca pembayaran (balanced of payment). Cicilan utang luar negeri yang harus dibayar dengan mata uang asing akan mengancam simpanan devisa dan pada akhirnya mengancam nilai tukar rupiah. Ancaman Utang Swasta Utang swasta mencapai US$ 63 juta. Celakanya, para debitur perusahaan swasta Indonesia seperti tak peduli. Permintaan negosiasi utang cenderung diabaikan. Dari 248 perusahaan pengutang yang tercatat di Indonesian Debt Restructuring Agency (Indra), cuma 27 yang berunding dalam satu setengah tahun terakhir. Sikap bandel seperti ini tentu membuat kreditur frustrasi, sekaligus menyulitkan pertumbuhan sektor riil di Indonesia. Kate O'Donoghue, ekonom regional dari Barclays Capital Singapura, yakin bahwa para kreditur asing kini berpikir ratusan kali sebelum mengucurkan kredit untuk perusahaan Indonesia. Bahkan, jaminan kredit ekspor (L/C), misalnya, dipastikan makin seret.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus