Gus Dur tidak sedang melucu, toh hadirin tergelak juga. Kekayaan pejabat, katanya, akan diumumkan. "Yang kaya biar ketahuan seberapa kayanya dan yang miskin juga ketahuan seberapa melaratnya."
Hari itu, Jumat pekan lalu, 35 anggota kabinet baru saja dilantik di Istana Merdeka. Udara penuh wewangian dan tawa riang. Dan Gus Dur sebenarnya tak sedang memberikan wejangan baru. Ia cuma menghidupkan isu lama yang sudah dinyanyikan masyarakat sejak masa Orde Baru. "Pemerintah baru harus dikontrol sejak dini agar tidak kebablasan seperti yang lalu," kata Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch, mengomentari rencana Presiden Gus Dur itu.
Menghitung kekayaan pejabat secara terang-terangan memang bukan hal lazim. Tapi, apa boleh buat, budaya korupsi sudah kelewat parah. Transparency International (TI), lembaga pengawas korupsi independen dari Berlin, menempatkan Indonesia sebagai negeri paling korup ketiga di dunia. Dengan mengumumkan harta kekayaan, para menteri telah memberi alat ukur kepada publik. Ketika pejabat itu lengser kelak, masyarakat bisa menakar apakah para pejabat lebih giat korupsi ketimbang bekerja.
Tak mengherankan, rencana Gus Dur membuka mata masyarakat meneropong anggota kabinet—sesuatu yang bukan tak disadari para bos baru itu. "Orang bisa berbicara apa saja, tapi saya tak bisa bilang apa-apa." Begitu Jusuf Kalla menceritakan kekayaannya kepada TEMPO. Pengusaha yang membayar pajak Rp 2 miliar setahun ini menduduki sebuah pos basah, Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Godaan korupsi bisa muncul di mana-mana. Namun, departemen yang basah di bidang ekonomi dan industri lebih gampang mengundang syak wasangka. Korupsi tak harus dilakukan dengan melanggar sumpah secara harfiah: menerima atau memberi barang atau janji. Dengan sedikit memainkan peran posisinya, Pak Menteri dengan mudah akan menginjak gas korupsi.
Dan Jusuf salah satu yang punya peluang. Kalau mau, atas nama kepentingan publik Jusuf bisa saja membengkokkan beberapa aturan perdagangan, misalnya minta bea masuk untuk produk tertentu agar bisnisnya ikut selamat. Publik bukan tak paham, bidang bisnis yang diselami pemilik Grup Bukaka ini terlalu luas untuk diukur.
Jusuf jugalah yang menjadi bintang ketika perusahaannya mewarisi aset Golden Key, dua tahun lalu. Jusuf berhasil membeli pabrik petrokimia itu tanpa keluar duit satu sen pun. Ia menerima seluruh pabrik asal bisa membayar utang warisan Eddy Tansil kepada Bapindo senilai Rp 1,3 triliun dalam tempo 20 tahun dan bunga 1 persen. Hebatnya pula, sen pertama baru dikeluarkan Jusuf tahun 2004, enam tahun setelah pabrik itu ada di tangannya. Ada pengusaha yang mengatakan Jusuf bisa menjual sebagian pabrik itu sebagai besi tua, menanamkan hasilnya di deposito, dan ongkang-ongkang sambil mencicil kewajiban, tapi tetap untung.
Bagaimana jika Jusuf gagal memenuhi kewajiban? Tidak ada sanksi. Paling banter, perjanjian utangnya diperbaruai—boleh jadi dengan syarat lebih ringan. Pendek kata, kisah ini mencerminkan dua hal: Jusuf seorang negosiator bisnis yang hebat atau ia pintar memainkan koneksi politiknya.
Apakah kesempatan seperti ini juga akan dimanfaatkan Jusuf? Terlalu jauh untuk menebak. Yang pasti, ia bukan satu-satunya menteri yang punya pos basah. Ada Kwik Kian Gie (Ekuin), Laksamana Sukardi (Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN), Bambang Sudibyo (Keuangan), Nur Mahmudi Ismail (Kehutanan dan Perkebunan), Susilo Bambang Yudhoyono (Pertambangan dan Energi)—sekadar menyebut beberapa yang berkesempatan. Saat ini pun mereka berkecukupan walaupun tak semuanya dengan gaya hidup menteri seperti yang kita kenal.
Menteri Nur Mahmudi, misalnya. Rumahnya tersuruk di satu kampung di Pasarminggu, Jakarta Selatan. Ia masih memakai Kijang karena jalannya terlalu sempit untuk dilewati Volvo menteri. Bambang Yudhoyono juga bukan orang miskin. Tapi kediamannya tergolong pas-pasan untuk seorang jenderal bintang tiga: sebuah rumah di Cijantung dengan tanah 500 meter persegi dan sebuah sedan.
Yang sudah berkelas barangkali Kwik Kian Gie. Ekonom yang meninggalkan dunia bisnis sejak 1987 ini mengaku merdeka secara finansial. "Saya punya uang lebih dari cukup untuk keluarga, kebutuhan, hobi, dan menyekolahkan anak setinggi langit. Beres, kan?" katanya. Kwik menempati rumah asri di kawasan kelas satu, Radio Dalam, Jakarta Selatan.
Seperti halnya Kwik, Laksamana Sukardi juga punya kelas tersendiri. Ia tak mengelak dimasukkan dalam kelas ekonomi supertinggi. "Saya kira begitu," katanya enteng. Bekas orang Lippo dan Citibank ini punya catatan yang mungkin tak dimiliki menteri lain: tiga anak sekolah di luar negeri, rumah di Jakarta dan Perth, liburan ke luar negeri, sejumlah tabungan dalam dolar dan rupiah. Itu semua hasil yang bisa dikumpulkan ketika bekerja sebagai profesional.
Menteri yang lain? Sejauh ini belum banyak yang mau terbuka. Boleh jadi, budaya Timur mengekang mereka agar tak tampak pamer. Padahal, kebutuhan membentuk pemerintahan yang bersih mestinya bisa memaksa mereka membuang tabu yang tak perlu. Itu baru ujian pertama. Tak jauh di depan, sebuah ujian besar menghadang: kesempatan korupsi dengan daya pikat yang sering sulit diukur.
Hermien Y. Kleden, Maha Adi, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini