TAK banyak prusahaan asing yang berpatungan dengan pemerintah
daerah. Apalagi seperti PT Alcan Indonesia (Alcanin) yang
menghasilkan bahan-bahan bangunan berupa atap gelombang dan
aluminium ekstrusi. Mulai beroperasi 19 Maret 5 tahun lalu,
dengan investasi US$ 2,5 juta saham Alcan Kanada 90% dan Pemda
DKI Jakarta hanya memiliki 10%. Kini Kanada 70% dan DKI aya
30%.
Ini "berkat kerjasama yang harmonis di antara pemegang saham dan
adanya hubungan perburuhan yang serasi," kata F.A. Gougler,
Direktur Pelaksana PT Alcan Indonesia.
Seperti juga industri elektronika, besi beton dan karung goni,
problim utama yang dihadapi industri ekstrusi aluminium menurut
Gougler adalah banyaknya izin yang dikeluarkan. Sampai 1975 ada
6 izin dikeluarkan dengan kapasitas total 25.500 ton setahun.
Tapi yang berhasil dibangun cuma 4 pabrik, 2 di Jakarta, 1 di
Bekasi dan satu lagi usaha patungan antara swasta Indonesia
dengan Australia di Bandung -- seluruhnya berkapasitas 14.500
ton setahun. Itu pun tak pernah dicapai sebab pasar selama ini
hanya bisa menampung sekitar 4500 ton setahun.
Ke Singapura
Bahkan jika keempat pabrik itu bekerja penuh diperkirakan akan
cukup mampu mengisi pasar sampai 1985. Begitu kecilnya konsumsi
ke empat pabrik yang ada sekarang hanya berproduksi rata-rata
25-30% dari kapasitas total. "Tapi Alcanin sendiri berproduksi
40% dari kapasitas penuh," kata Gougler. Secara nasional angka
produksi rata-rata 40% itu tampaknya sulit dicapai. Karena
akibat Kenop-15 biaya per unit untuk produksi atap aluminium
gelombannaik 20% sedang ekstrusi aluminium seperti bingkai
pintu dan jendela maupun kosen-kosen aluminium naik mencapai
29,5%.
Saat ini yang membingungkan produsen ekstrusi aluminium dalam
negeri ialah berkurangnya proteksi pemerintah. Sebelum Kenop-15
bea masuk atas barang jadi ekstrusi aluminium sebesar 40%.
Dengan adanya Kenop-15 yang memberikan keringanan 50% atas bea
masuk berarti terhadap barang impor menjadi 20%.
Dewasa ini semua bahan baku billet aluminium masih diimpor
dengan bea masuk 5% dan Ppn impor 5%. Tapi jika proyek smelter
aluminium di Asahan berkapasitas 225.000 ton setahun itu selesai
akan banyak membantu indusrti dalam negeri bila harganya
kompetitif Kekhawatiran akan bahan baku pun akan hilang.
Produksi aluminium ekstrusinya masih bisa ditingkatkan. Sebab
sebagai bahan pengganti kayu pemakaiannya mulai populer. Sudah
1000 perumahan murah Perumnas disuplainya, berupa lis jendela
atau pintu dan kosen. Selama 2 tahun belakangan ini ia pun telah
mengekspor atap aluminium gelombang ke Singapura. Prospek untuk
ekspor ini cukup baik.
Pasaran luar negeri sbenarnya bukan hal yang susah dicari oleh
Alcanin. Induknya di Kanada nomor dua di dunia setelah Alcoa.
Pabrik Alcan ini tersebar di 35 negara. Namun begitu untuk
ekspor ke Singapura "kami berhadapan dengan Alcan di Selandia
Baru yang harganya lebih bersaing," ujar direktur Alcanin itu.
"Pemerintah Selandia Baru memberi insentif kepada eksportir,
sedang di sini tidak," kata Gougler.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini