KETIKA minyak bumi mahal, sebagian dunia mengutuk OPEC. Kini
minyak bumi melimpah dan hargaya cenderung semakin turun. Tapi
baik negara produsen -- sudah tentu -- maupun negara pembeli --
ini aneh -- sama berkepentingan agar harganya tidak anjlok.
Betul, minyak yang murah menguntungkan para pemakai mobil,
pengusaha pabrik atau siapa saja yang setiap bulan harus membeli
bahan bakar. Sebaliknya sektor industri dan bisnis lain yang
berkaitan dengan pencarian, pengeboran dan pengolahan minyak,
semakin merugi. Banyak perusahaan sudah terpaksa mengurangi
aktivitas mereka dan mengurangi tenaga kerja. Bahkan ada pula
yang sudah bangkrut.
Lembaga keuangan seperti bank yang terpusat di dunia Barat tak
kurang khawatirnya. Bertahun-tahun mereka menangani puluhan
milyar dollar, surplus penghasilan negara OPEC. Dana itu
disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada negara berkembang
(Selatan), bahkan juga negara industri (Utara). Kini banyak
peminjam itu yang tak mampu membayar kembali. Ujar Menteri
Energi Prancis, Edmond Herve: "Jika harga minyak anjlok, seluruh
sistem moneter kita, bahkan seluruh sistem perbankan
internasional bakal guncang."
Akibat harga minyak yang semakin murah, upaya pengembangan
sumber energi alternatif dan upaya konservasi energi menjadi
kendur pula. Di Amerika, misalnya, upaya pengembangan teknologi
pengolahan bahan bakar minyak dari lempengan minyak, pasir
minyak dan batubara, sudah hampir terhenti. Pembiayaannya
semakin tinggi. Tidak ekonomis lagi untuk dilanjutkan investasi
itu.
Di Jerman Barat, ahli ekonomi dari Commerzbank, Liane Launhardt,
berkata, "Dana litbang bagi sumber energi matahari, gas dari
batubara, dan bahan bakar sintetis bisa mengering." Sementara
Oktober lalu perusahaan Amerika, Standard Oil Co. (Ohio)
membatalkan keikutsertaannya sebesar 20% dari proyek US$ 2
milyar untuk pengolahan bensin dari batubara di Wyoming, AS.
Proyek ini satu di antara 13 proyek yang direncanakan Synthetic
Fuel Corp., perusahaan federal yang diciptakan di zaman Presiden
Carter. Jika tahun ini tidak menghasilkan kontrak kerja dengan
perusahaan swasta, pendukung proyek Synfuel di Congress akan
memaksa perusahaan itu menerima pembiayaan langsung oleh
pemerintah untuk mewujudkan ke-13 proyek itu. Ini sangat tak
diinginkan pimpinan Synfuel Corp., Victor A. Schroeder dan
Edward E. Noble. "Kita ingin mempertahankan tujuan kita pasar
bebas) dan mengusahakan agar industri swasta tetap jadi
pelopor," ujar Schroeder.
Pada hakikatnya inti kebijaksanaan energi pemerintahan Ronald
Reagan merangkul konsepsi pasar bebas. "Problem energi bangsa
ini akan diatasi oleh rakyat Amerika sendiri -- oleh konsumen
pekerja, manajer, penanam modal -- bukan oleh pemerintah," bunyi
salah satu pedoman Reagan. Dia bahkan ingin meniadakan
Departemen Energi yang dibcntuk di zaman Carter.
Awal suatu kebijaksanaan terpadu sudah diletakkan dalam
pemerintahan Nixon dan Ford. Tapi Presiden Carter mengerahkan
pemerintah federal untuk menghasilkan Rencana Energi Nasional
yang kemudian dikukuhkan oleh pembentukan Departemen Energi di
tahun 1977. NEP itu kemudian disempurnakan lagi di tahun 1978
menjadi Keputusan Energi Nasional (National Energ Act). Maka
pemerintah federal secara aktif mengatur, merangsang dan
menganjurkan pengerahan dana dan daya untuk mengatasi kemelut
energi di zaman itu. Hingga dibentuk Syntetic Fuel Corp., yang
bertugas menyediakan pinjaman dan subsidi lainnya kepada
perusahaan swasta yang berminat dalam penembangan bahan bakar
sintetis.
Satu persatu upaya di zaman Carter itu dibatalkan Reagan. Ia
membebaskan harga minyak dari kendali pemerintah. Juga ia
meniadakan berbagai rangsangan dan bantuan keuangan federal bagi
teknologi konservasi energi.
Perusahaan minyak raksasa di Amerika hanya menginvestasikan
sepertiga dari keuntungan mereka dalam upaya pengembangan sumber
energi alternatif. Tidak memadai. Kebijaksanaan federal
mengendur pula. Tapi hampir semua pemerintahan negara bagian di
AS tetap mensponsori berbagai program pengembangan bagi sumber
energi alternatif. Apalagi banyak di antara program itu sudah
berlangsung selama bertahun-tahun, hingga agaknya mubazir jika
sekarang dihentikan.
Jepang masih menganggap pengembangan sumber energi sebagai
prioritas. Program bantuan pemerintah khusus memperhatikan
sumber energi seperti biomas, tenaga air, geotermal dan tenaga
matahari. Bahkan juga bantuan bagi negara lain merupakan program
penting bagi Jepang melalui International Cooperation Agency.
Kanada, konsumen energi per kapita terbesar di dunia, sejak 1980
menghasilkan suatu Program Energi Nasional. Pelaksanaan program
ini tampaknya tidak mengendur.
Umumnya negara di dunia mempunyai program energi nasional.
Umumnya bertujuan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar
minyak. Namun kecenderungan berkurangnya perhatian terhadap
pengembangan sumber energi alternatif ialah terutama karena
resesi ekonomi yang melanda dunia.
Khusus tenaga nuklir, satu sumber energi alternatif yang
kontroversial, prospeknya tidak terlalu cerah. Bahkan di
Amerika, sejak peristiwa Harisburg yang melumpuhkan reaktor
nuklir raksasa di Three Mile Island, tak ada satu pun reaktor
nuklir baru yang diresmikan. Ketika itu, tahun 1979, sedikitnya
100 buah sedang dalam berbagai tahap konstruksi. Sejak itu 35
dibatalkan dengan jumlah total kapasitas 48 gigawatt (milyar
watt). Sisanya tak diteruskan, antara lain karena kurang dana
dan waktu menempuh perizinan terlalu lama.
Menurut laporan IEA (International Energy Agency) perkembangan
tenaga nuklir sedunia antara 1982 dan 2000 berkurang 75% dari
angka yang diramalkan sekitar 5 tahun lalu. Jerman Barat, Italia
dan Jepang terutama mengalami hambatan dalam pengembangan
program nuklir mereka.
Program nuklir di Spanyol, Kanada, Belgia dan Inggris juga
semakin lesu, terutama karena permintaan akan listrik semakin
kurang. Di Denmark, Yunani, Portugal dan Turki, keputusan untuk
mengembangkan tenaga nuklir ditangguhkan sementara.
Di Swedia dan Negeri Belanda perdebatan sekitar sumber daya itu
pernah begitu sengit. Suatu studi evaluasi mungkin akan
menghasilkan penutupan kedua reaktor di Negeri Belanda.
Prancis dikenal dengan program nuklir yang paling maju di dunia
(38% dari total pembangkitan listrik). Presiden Mitterand kini
mengurangi laju pengembangannya.
Di Dunia Ketiga seperti Korea Selatan, India, Taiwan, Argentina
-- yang ambisius dengan program nuklir juga ada berbagai
hambatan. Sementara di Filipina reaktor nuklirnya tidak menentu
nasibnya. Brazil sedang bertengkar dengan Jerman Barat tentang
suplai reaktor nuklir. Meksiko mengumumkan seluruh program
nuklir bakal dibatalkan. Semua itu membuat harapan dunia tidak
terlalu cerah bagi kemungkinan tenaga nuklir memainkan peranan
penting, setidaknya dalam dua dasawarsa mendatang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini