Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Akibat harga opec turun

Arus dana (kredit) ke perbankan barat jadi seret, dana untuk upaya pengembangan sumber energi pengganti minyak bumi berkurang, dan perhatian pada program tenaga nuklir pun berubah. (en)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA minyak bumi mahal, sebagian dunia mengutuk OPEC. Kini minyak bumi melimpah dan hargaya cenderung semakin turun. Tapi baik negara produsen -- sudah tentu -- maupun negara pembeli -- ini aneh -- sama berkepentingan agar harganya tidak anjlok. Betul, minyak yang murah menguntungkan para pemakai mobil, pengusaha pabrik atau siapa saja yang setiap bulan harus membeli bahan bakar. Sebaliknya sektor industri dan bisnis lain yang berkaitan dengan pencarian, pengeboran dan pengolahan minyak, semakin merugi. Banyak perusahaan sudah terpaksa mengurangi aktivitas mereka dan mengurangi tenaga kerja. Bahkan ada pula yang sudah bangkrut. Lembaga keuangan seperti bank yang terpusat di dunia Barat tak kurang khawatirnya. Bertahun-tahun mereka menangani puluhan milyar dollar, surplus penghasilan negara OPEC. Dana itu disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada negara berkembang (Selatan), bahkan juga negara industri (Utara). Kini banyak peminjam itu yang tak mampu membayar kembali. Ujar Menteri Energi Prancis, Edmond Herve: "Jika harga minyak anjlok, seluruh sistem moneter kita, bahkan seluruh sistem perbankan internasional bakal guncang." Akibat harga minyak yang semakin murah, upaya pengembangan sumber energi alternatif dan upaya konservasi energi menjadi kendur pula. Di Amerika, misalnya, upaya pengembangan teknologi pengolahan bahan bakar minyak dari lempengan minyak, pasir minyak dan batubara, sudah hampir terhenti. Pembiayaannya semakin tinggi. Tidak ekonomis lagi untuk dilanjutkan investasi itu. Di Jerman Barat, ahli ekonomi dari Commerzbank, Liane Launhardt, berkata, "Dana litbang bagi sumber energi matahari, gas dari batubara, dan bahan bakar sintetis bisa mengering." Sementara Oktober lalu perusahaan Amerika, Standard Oil Co. (Ohio) membatalkan keikutsertaannya sebesar 20% dari proyek US$ 2 milyar untuk pengolahan bensin dari batubara di Wyoming, AS. Proyek ini satu di antara 13 proyek yang direncanakan Synthetic Fuel Corp., perusahaan federal yang diciptakan di zaman Presiden Carter. Jika tahun ini tidak menghasilkan kontrak kerja dengan perusahaan swasta, pendukung proyek Synfuel di Congress akan memaksa perusahaan itu menerima pembiayaan langsung oleh pemerintah untuk mewujudkan ke-13 proyek itu. Ini sangat tak diinginkan pimpinan Synfuel Corp., Victor A. Schroeder dan Edward E. Noble. "Kita ingin mempertahankan tujuan kita pasar bebas) dan mengusahakan agar industri swasta tetap jadi pelopor," ujar Schroeder. Pada hakikatnya inti kebijaksanaan energi pemerintahan Ronald Reagan merangkul konsepsi pasar bebas. "Problem energi bangsa ini akan diatasi oleh rakyat Amerika sendiri -- oleh konsumen pekerja, manajer, penanam modal -- bukan oleh pemerintah," bunyi salah satu pedoman Reagan. Dia bahkan ingin meniadakan Departemen Energi yang dibcntuk di zaman Carter. Awal suatu kebijaksanaan terpadu sudah diletakkan dalam pemerintahan Nixon dan Ford. Tapi Presiden Carter mengerahkan pemerintah federal untuk menghasilkan Rencana Energi Nasional yang kemudian dikukuhkan oleh pembentukan Departemen Energi di tahun 1977. NEP itu kemudian disempurnakan lagi di tahun 1978 menjadi Keputusan Energi Nasional (National Energ Act). Maka pemerintah federal secara aktif mengatur, merangsang dan menganjurkan pengerahan dana dan daya untuk mengatasi kemelut energi di zaman itu. Hingga dibentuk Syntetic Fuel Corp., yang bertugas menyediakan pinjaman dan subsidi lainnya kepada perusahaan swasta yang berminat dalam penembangan bahan bakar sintetis. Satu persatu upaya di zaman Carter itu dibatalkan Reagan. Ia membebaskan harga minyak dari kendali pemerintah. Juga ia meniadakan berbagai rangsangan dan bantuan keuangan federal bagi teknologi konservasi energi. Perusahaan minyak raksasa di Amerika hanya menginvestasikan sepertiga dari keuntungan mereka dalam upaya pengembangan sumber energi alternatif. Tidak memadai. Kebijaksanaan federal mengendur pula. Tapi hampir semua pemerintahan negara bagian di AS tetap mensponsori berbagai program pengembangan bagi sumber energi alternatif. Apalagi banyak di antara program itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun, hingga agaknya mubazir jika sekarang dihentikan. Jepang masih menganggap pengembangan sumber energi sebagai prioritas. Program bantuan pemerintah khusus memperhatikan sumber energi seperti biomas, tenaga air, geotermal dan tenaga matahari. Bahkan juga bantuan bagi negara lain merupakan program penting bagi Jepang melalui International Cooperation Agency. Kanada, konsumen energi per kapita terbesar di dunia, sejak 1980 menghasilkan suatu Program Energi Nasional. Pelaksanaan program ini tampaknya tidak mengendur. Umumnya negara di dunia mempunyai program energi nasional. Umumnya bertujuan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak. Namun kecenderungan berkurangnya perhatian terhadap pengembangan sumber energi alternatif ialah terutama karena resesi ekonomi yang melanda dunia. Khusus tenaga nuklir, satu sumber energi alternatif yang kontroversial, prospeknya tidak terlalu cerah. Bahkan di Amerika, sejak peristiwa Harisburg yang melumpuhkan reaktor nuklir raksasa di Three Mile Island, tak ada satu pun reaktor nuklir baru yang diresmikan. Ketika itu, tahun 1979, sedikitnya 100 buah sedang dalam berbagai tahap konstruksi. Sejak itu 35 dibatalkan dengan jumlah total kapasitas 48 gigawatt (milyar watt). Sisanya tak diteruskan, antara lain karena kurang dana dan waktu menempuh perizinan terlalu lama. Menurut laporan IEA (International Energy Agency) perkembangan tenaga nuklir sedunia antara 1982 dan 2000 berkurang 75% dari angka yang diramalkan sekitar 5 tahun lalu. Jerman Barat, Italia dan Jepang terutama mengalami hambatan dalam pengembangan program nuklir mereka. Program nuklir di Spanyol, Kanada, Belgia dan Inggris juga semakin lesu, terutama karena permintaan akan listrik semakin kurang. Di Denmark, Yunani, Portugal dan Turki, keputusan untuk mengembangkan tenaga nuklir ditangguhkan sementara. Di Swedia dan Negeri Belanda perdebatan sekitar sumber daya itu pernah begitu sengit. Suatu studi evaluasi mungkin akan menghasilkan penutupan kedua reaktor di Negeri Belanda. Prancis dikenal dengan program nuklir yang paling maju di dunia (38% dari total pembangkitan listrik). Presiden Mitterand kini mengurangi laju pengembangannya. Di Dunia Ketiga seperti Korea Selatan, India, Taiwan, Argentina -- yang ambisius dengan program nuklir juga ada berbagai hambatan. Sementara di Filipina reaktor nuklirnya tidak menentu nasibnya. Brazil sedang bertengkar dengan Jerman Barat tentang suplai reaktor nuklir. Meksiko mengumumkan seluruh program nuklir bakal dibatalkan. Semua itu membuat harapan dunia tidak terlalu cerah bagi kemungkinan tenaga nuklir memainkan peranan penting, setidaknya dalam dua dasawarsa mendatang ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus