Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Akuisisi BII Tertunda, Mengapa?

Jumlahnya bisa membengkak. Karena itu, hedge bond untuk BII belum disetujui pemerintah. Selain itu, Bank Ningbo dipersoalkan, begitu pula utang anak Eka Tjipta.

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADAKAH wabah yang paling dikhawatirkan selain antraks? Kalau hal ini ditanyakan kepada Departemen Keuangan, jawabannya pasti penerbitan obligasi lindung nilai (hedge bond) Bank Internasional Indonesia (BII) atas kredit Grup Sinar Mas. Seharusnya 12 Oktober lalu BII menukar kredit macet Sinar Mas sebesar US$ 1,059 miliar dengan obligasi pemerintah yang ada di BPPN. Pada saat bersamaan, obligasi pemerintah yang juga disebut obligasi daur ulang atau recycle bond itu akan ditukar dengan hedge bond oleh Departemen Keuangan. Barulah setelah itu, Bank Mandiri mengakuisisi BII lewat saham baru terbatas (right issue) seperti dijadwalkan dalam letter of intent IMF akhir November tahun ini. Ternyata Departemen Keuangan (Depkeu) belum menyetujui penerbitan hedge bond. Akibatnya, rencana akuisisi pun tertunda. Depkeu tampaknya mengendus bahwa nilai hedge bond bisa membengkak kelak di kemudian hari, melebihi US$ 1,059 miliar. Kalau "bencana" itu terjadi, pastilah Depkeu yang dihujat karena menghambur-hamburkan uang negara. Untuk itu, "Kami meminta BPPN mengirim surat pernyataan kepada kami bahwa kebutuhan BII itu tidak akan bertambah terus," kata Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Depkeu, Darmin Nasution, kepada Koran Tempo. Menurut dugaan Koordinator Tim Pengelola BII, Cholil Hasan, pangkal kecurigaan Depkeu itu berkaitan dengan Bank International Ningbo. Saham bank yang beroperasi di Cina itu, sebanyak 51 persen senilai US$ 76 juta, dimiliki oleh BII. Setelah menjadi anak perusahaan, BII lalu menempatkan US$ 150 juta di Bank Ningbo. Dana ini kemudian disalurkan kepada perusahaan-perusahaan di Cina yang masih satu grup dengan Sinar Mas. Setelah BII direkapitalisasi, Bank Ningbo dianggap masih punya kaitan bisnis dengan Sinar Mas, sehingga kelompok bisnis Eka Tjipta itu harus menanggung utangnya. Kalau itu benar, total utang Sinar Mas tentu jauh lebih besar dari US$ 1,059 miliar ditambah Rp 1,8 triliun. Tapi seberapa besar? Hanya hasil uji tuntas (due diligence) atas BII yang bisa memberikan jawaban akurat untuk pertanyaan itu. Sekadar melengkapi, salah satu sumber TEMPO menginformasikan bahwa Bank Ningbo masih meninggalkan jejak bisnis bermasalah di Cina. Beberapa anak perusahaan Asia Pulp & Paper yang berada di bawah atap Grup Sinar Mas mendapat utang US$ 4 miliar dari enam bank Cina. Keterlibatan Bank Ningbo cukup serius karena bank ini dijadikan bumper sebagai penjamin utang-utang itu. "Pemerintah khawatir utang-utang itu akan membebani BII dan menambah hedge bond," katanya. Kalaupun pemerintah harus membayar, pilihannya adalah kehilangan saham BII di Bank Ningbo senilai US$ 76 juta. Kehati-hatian Depkeu pun bertambah setelah mengetahui isi perut BII. Entah kebetulan entah memang disengaja, ada ratusan miliar rupiah kredit macet dari BII di perusahaan yang dimiliki oleh salah satu anak Eka Tjipta dari istri yang lain. Anak-anak sang taipan yang selama ini menjadi penjamin pribadi utang Sinar Mas, seperti Teguh Ganda Wijaya, Muktar Wijaya, Indra Wijaya, dan Frankie Wijaya, enggan mengakui hal itu. Namun, jika utang itu tetap nangkring di BII, pastilah kelak memberatkan Bank Mandiri. Nah, bila diambil alih pemerintah, itu berarti jumlah hedge bond akan ber-tambah. Ketika dikonfirmasi tentang hal ini, reaksi Darmin tersalur lewat tawa yang berderai, "Ha-ha-ha?," tanpa penjelasan apa-apa. Reaksi yang tidak biasa ini bisa ditafsirkan macam-macam. Yang pasti, tampaknya ia waswas dan serius meminta jaminan. Di pihak lain, BPPN tampaknya mengelak memberikan jaminan. Apalagi auditor, keluarga Eka Tjipta, Bank Ningbo, serta BII mengatakan tidak ada garansi BII untuk menjamin Ningbo. "Seharusnya yang dimintai jaminan Depkeu itu BII," kata Subowo Musa, Direktur Urusan Restrukturisasi Bank BPPN. Yang pasti, menurut analis bank Mirza Adityaswara, pemerintah harus mengeluarkan dana sekitar Rp 20 triliun. Rinciannya: sekitar Rp 6 triliun untuk rekapitalisasi BII ditambah dana sebanyak US$ 1,4 juta untuk interbank, plus yang akan dibayar pemerintah dalam bentuk hedge bond dan right issue BII oleh Bank Mandiri sebesar Rp 1 triliun sampai Rp 3 triliun. Sedangkan aset-aset yang sudah diserahkan Sinar Mas kepada BPPN hanya bernilai Rp 22 triliun. Itu pun berda-sarkan laporan sepihak dari Sinar Mas. Bisa jadi nilainya jauh lebih rendah. Sedangkan BPPN sampai sekarang belum melakukan audit. "Andaikan aset itu hanya laku 40 persen, uang pemerintah yang kembali sekitar Rp 8 triliun," kata Mirza. Jika hedge bond bertambah terus, pemerintah yang sudah rugi akan tambah rugi. Apalagi, jika hedge bond tidak juga menolong keuangan BII, dikhawatirkan bank Grup Sinar Mas ini akan menggerogoti PT Bank Mandiri. Kemungkinan seburuk ini sebenarnya sudah didengung-dengungkan dulu, ketika Rizal Ramli menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dan E.C.W. Neloe dari Bank Mandiri tampak begitu yakin dengan rencana akuisisi atas BII tersebut. Masalahnya, setelah isi perut BII terungkap, apa keyakinan itu masih tetap mantap? Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus