ENTAH ada angin apa, tiba-tiba ada suara lantang mempersoalkan pengelolaan kuota tekstil dan produk tekstil (TPT) dari gedung para wakil rakyat di Senayan. Selasa dua pekan lalu, Komisi V DPR meminta Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi mengaudit pengalokasian semua jenis kuota TPT. Diusulkan pula agar pemerintah membentuk Panitia Khusus Mafia Kuota.
Mudah-mudahan ini bukan seruan kosong. Sebab, alokasi kuota yang ngawur dan mafia yang mengangkangi jatah kuota adalah ibarat penyakit yang sudah kronis. Praktek itu, kata Direktur Ekspor Produk Industri Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Alexander Barus, "Sudah berlangsung 26 tahun."
Selama itulah kuota?terutama jenis kuota tetap?ibarat warisan yang tak dapat diganggu gugat. Sekali sebuah perusahaan TPT men-dapatkannya, setiap tahun dia akan memperoleh warisan itu. Pada tahun 1980-an ketika negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Turki, juga Kanada belum memberlakukan sistem kuota, memang perusahaan-perusahaan itulah yang memasok TPT ke negara-negara itu.
Ketika negara pengimpor mulai memberlakukan kuota?untuk mencegah banjirnya produk impor dan melindungi industri TPT mereka?pasokan dari perusahaan-perusahaan itu dijadikan patokan untuk mengukur seberapa besar kuota yang bisa diberikan kepada Indonesia. Karena itulah perusahaan-perusahaan tersebut menganggap kuota itu milik atau warisan mereka. Alhasil, sejak awal pemerintah memang hanya berfungsi sebagai penyalur.
Padahal nilai kuota itu bukan alang-kepalang besarnya. Tahun 1999 saja, menurut data Sucofindo, eskpor TPT ke negara kuota mencapai US$ 3,201 miliar. Realisasi terbesar ke AS dengan nilai US$ 1,766 miliar, Uni Eropa US$ 1,352 miliar, Kanada US$ 80,480 juta, dan Norwegia US$ 2,404 juta. Sayangnya, hanya segelintir dari ribuan perusahaan TPT yang mendapat kenikmatan mencicipi kuota.
Nah, kalau pemerintah memang mau mewujudkan pemerintahan yang bersih, sekaranglah saatnya melakukan pembagian kuota yang transparan. Sebab, pemerintah telah berhasil membuktikan bahwa banyak perusahaan yang ternyata tinggal nama tapi masih saja menerima jatah kuota tetap.
Sampai dengan akhir September lalu sudah ada 484 perusahaan yang diverifikasi pemerintah bekerja sama dengan Sucofindo. Ternyata 35 perusahaan tidak memiliki fasilitas produksi, 15 perusahaan menyewakan fasilitas pabriknya kepada pihak lain, 19 perusahaan berproduksi tidak sesuai dengan izin tetap, dan 14 perusahaan memiliki alamat izin tetap yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam daftar eksportir tetap TPT. Sebanyak 41 perusahaan bahkan tidak bisa ditemukan lagi batang hidungnya.
Mau contoh? Sekadar menyebut contoh adalah PT Narisa dan PT Karitex. Dua perusahaan TPT yang masih memiliki hubungan darah dengan PT Karwell Indonesia itu sudah lama tidak menjalankan aktivitas produksinya, tetapi hingga tahun 2001 ini masih saja mendapat pasokan kuota.
Hal itu memang dibantah Karwell. Melalui jawaban tertulis atas konfirmasi TEMPO, Direktur Karwell Indonesia, Pramudya Tamtama, menyatakan bahwa 15 pabrik yang dimiliki Grup Karwell masih aktif beroperasi dengan kapasitas produksi mencapai lebih-kurang 7 juta lusin per tahun. Pramudya juga menolak tuduhan bahwa grup perusahaannya menjual kuota yang diperolehnya.
Namun, bantahan itu bertolak belakang dengan data dan informasi yang diperoleh TEMPO di Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Bahkan, menurut Alexander Barus, pihaknya kini sudah mencabut jatah kuota Narisa dan Karitex.
Jual-beli kuota semacam itu juga ditudingkan kepada perusahaan raksasa sekelas PT Apac Inti Corpora?yang tentu saja menyanggahnya ketika dikonfirmasi. Kata Direktur Utama Apac Inti Corpora, Benny Soetrisno, "Tidak ada jual-beli kuota. Yang ada adalah tindakan pengalihan hak sejumlah kuota yang prosesnya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku melalui lembaga yang ada."
Benarkah? Sumber TEMPO di perusahaan itu malah mem-benarkan praktek jual-beli kuota yang dilakukan Apac. "Kalau kami ada lebih dan tidak dimanfaatkan, kan lebih baik kami jual," katanya. Baginya hal itu sah-sah saja. Apalagi ia melihat semua perusahaan TPT juga melakukannya. "Kuota itu kan milik kami, aset kami. Jadi, kalau tidak terpakai, lebih baik dijual daripada dikembalikan," ia menandaskan.
Mungkin saja tidak semua perusahaan TPT melakukan praktek jual-beli kuota. Namun, menjual jatah kuota memang merupakan cara gampang menjaring uang. Coba lihat contoh kuota kategori 634 (kode kuota untuk produk jaket di pasar AS). Di pasar gelap, harga kuota yang masuk kategori hot alias digemari ini terbilang tinggi: mencapai US$ 40 per lusin. Perusahaan yang dapat 1.000 lusin setahun saja pasti sudah bisa kipas-kipas. Soalnya, tanpa perlu susah-susah berproduksi, ia bisa menjualnya seharga Rp 4,8 miliar. Kalau dapat kuota lebih dari selusin, tinggal kalikan saja jumlahnya. Yang jelas, tahun ini Indonesia mendapatkan jatah 419.596 lusin TPT kategori 634.
Agar jatah kuota tahun depan tidak hilang, antara penjual dan pembeli sudah ada ke-sepakatan. Meskipun kuotanya telah dialihkan, pengiriman barang tetap harus diatasnamakan perusahaan pemilik asli kuota. Dalam industri TPT, modus seperti itu dikenal sebagai under name. Dengan begitu, dalam catatan pemerintah, rapor perusahaan penjual tetap biru karena berhasil merealisasikan jatah kuota yang diperolehnya.
Pemerintah memang punya catatan tentang realisasi pemenuhan kuota. Karena itu, pemerintah bisa mengelola kuota fleksibilitas. Inilah sekumpulan kuota yang tidak terealisasi tahun sebelumnya, kuota pergeseran, pertukaran, penitipan kuota tetap, dan kuota handycraft. Jenis kuota inilah yang mestinya dialokasikan untuk perusahaan menengah yang tidak menerima kuota tetap.
Karena banyak peminatnya, kuota ini jadi ajang rebutan para pengusaha. Di sinilah nama-nama besar dari kalangan pejabat tinggi sipil ataupun militer, orang dekat lingkaran kekuasaan, bahkan juga dari kalangan anggota DPR memainkan perannya. Memo dan telepon mereka menjadi alat penekan paling efektif untuk memaksa pejabat Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan kuota bagi pengusaha tertentu. "Saya pusing menghadapi hal-hal yang begitu," kata Alex, yang baru dua bulan menduduki kursi Direktur Ekspor Produksi Industri dan mengurusi soal pemberian kuota.
Orang-orang yang dekat dengan kekuasaan itu umumnya tidak tahu-menahu soal prosedur pemberian kuota. Namun, mereka sering "diperalat" oleh pengusaha yang kemaruk kuota. Saking kemaruknya, ada yang minta kuota special shift atau kuota pergeseran (kuota untuk satu kategori diganti dengan kuota kategori lain) sampai 100 persen. TEMPO menyaksikan sendiri bagaimana Alex menerima telepon seorang anggota DPR yang memintanya meluluskan permintaan seorang pengusaha yang menginginkan kuota pergeseran 100 persen. "Tidak bisa, 50 persen itu sudah cukup tinggi," kata Alex menjawab permintaan dari seberang telepon itu.
Karena suburnya praktek semacam itu, tak perlu heran bila kesemrawutan pengelolaan kuota tak pernah terselesaikan. Meski rezim sudah berganti tiga kali pun persoalan ini masih saja ruwet. Bagaimana mau selesai bila para penguasa atau orang-orang terdekatnya malah ikut melestarikan kebiasaan para pendahulunya? "Habis, yang namanya kuota itu gurih," ujar seorang staf ekspor sebuah perusahaan TPT di kawasan Jakarta Timur kepada TEMPO.
Karena itu, mendapatkan kuota adalah sebuah perjuangan. Kalau tidak gesit, pengusaha yang benar-benar membutuhkan kuota untuk mengekspor produknya pun terpaksa harus minggir. Memang, kesempatan pengusaha itu tidak tertutup sama sekali. Mereka bisa tetap mengirim produknya dengan jalan membeli kuota di pasar gelap. Tetapi praktek semacam itu tentu saja membuat biaya produksi mereka meningkat dan pada akhirnya membuat harga produk akhir mereka mahal dan kurang kompetitif di pasaran. Diurut-urut, perselingkuhan segelintir pejabat dan pengusaha itu akhirnya juga merugikan negara. "Sebab, hal itu menutup kesempatan bersaing pengusaha Indonesia," kata Alex.
Karena itu, akan lebih baik bila tak hanya pemerintah yang harus bebenah menanggapi suara lantang dari Senayan. Ada baiknya wakil rakyat yang menginginkan keruwetan alokasi kuota TPT diakhiri itu juga membersihkan diri dari anggota DPR yang ternyata ada juga yang tak tahan godaan untuk menikmati gurihnya kuotaTPT.
Memang langkah pembenahan itu akan sangat terlambat. Sebab, masa berlaku kuota akan berakhir tiga tahun lagi, 2004. Sesudah itu, perusahaan TPT bebas melakukan ekspor tanpa harus mengantongi kuota lagi. Namun, usaha untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Hartono, Iwan Setiawan, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini