Oversight Committee ternyata bukan macan kertas. Komite pengawas yang memantau hasil kerja Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ini tampaknya giat menekuni prinsip "sepi ing pamrih, rame ing gawe". Pokoknya tidak high profile, tidak banyak omong, tapi banyak bekerja. Tenaga pendukung yang terbatas tak menghambat lembaga pimpinan Mar'ie Muhammad itu untuk dengan serius mengkaji berbagai keputusan yang diambil BPPN.
Hasil kerja Oversight Committee (OC) dapat dilihat dari kualitas kajiannya atas hasil-hasil restrukturisasi utang debitor di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang tidaklah mengecewakan. Contoh terakhir, kaji ulang yang dilakukannya atas restrukturisasi utang Bakrie Nirwana Resort (BNR), Bentala Kartika Abadi (BKA), dan Apac Inti Corpora (AIC), yang pekan lalu mereka umumkan.
Di BNR, OC menemukan indikasi penyimpangan yang berpotensi merugikan negara. Bentuknya berupa pembebasan bunga atas bunga tertunggak. Nilainya? Tak main-main, mencapai US$ 38,62 juta atau setara Rp 386,2 miliar (dengan kurs Rp 10 ribu per dolar). Penyimpangan lain menyangkut paket (trance) C yang, bila ditebus sebelum jatuh tempo, BPPN harus memberikan kembali 10 persen saham biasa (yang dikeluarkan dalam trance D) kepada pemilik lama dengan dasar pro-rata. Akibatnya, BPPN akan memegang saham kurang dari 50 persen saham yang diterbitkan.
Betul, pedoman KKSK yang dianut BPPN memang mengandung ketidakpastian. Apakah porsi tunggakan bunga dari utang yang di-restrukturisasi harus dikenai bunga lagi sesuai dengan pedoman? Namun, bila trance B dikenai bunga, utang sustainable akan turun. Dan utang yang dikonversikan menjadi ekuitas akan naik. Kecuali bila BPPN memperoleh persentase yang lebih besar dalam ekuitas, sesuai dengan pola debt-to-equity swap.
Temuan OC lainnya ialah adanya perubahan (addendum) atas restrukturisasi yang sebetulnya tak disetujui KKSK. Perubahan itu memasukkan pengalihan pinjaman dari Bank Bali ke BPPN dan menjadi bagian restrukturisasi. Selain itu, juga ada perubahan suku bunga yang digunakan dalam penghitungan kembali tunggakan bunga.
Sebagaimana diketahui, BNR merupakan pemilik Le Meridien dan Nirwana Golf & Spa Resort, yang menabung kredit macet sebesar US$ 172,63 juta. Utang itu kemudian dipermak dalam empat paket dengan pola campuran: penjadwalan masa pembayaran, pengenaan bunga tertunggak, penerbitan surat utang yang bisa diubah menjadi saham (convertible bond), dan pengalihan utang menjadi ekuitas (debt-to-equity swap).
Adapun penyimpangan di BKA terjadi lantaran penunjukan Colliers Jardine sebagai pengelola properti miliknya. Padahal kedua perusahaan itu memiliki hubungan (afiliasi). Sebab, Usman Admadjaja memiliki saham di kedua perusahaan tersebut. Nah, hal ini dianggap melanggar prinsip perlakuan yang sama serta peran pemilik sebelumnya.
Selain itu, berdasar kesepakatan, pembayaran pinjaman diharapkan berasal dari cash flow operasional perusahaan serta penjualan Anggana pada November 2002, yang saat ini dipegang sebagai jaminan. Tapi, anehnya, MoU yang diteken pada 9 Juni 2001 itu tak menyebutkan kapan batas waktu pembayaran tunai serta bagaimana Anggana akan dijual. Kerugian lain adalah terjadinya penurunan nilai Anggana, terkait dengan turunnya pasar properti. Pada Oktober 1999, nilai Anggana ditaksir mencapai US$ 140 juta, tapi kini nilainya diperkirakan tidak sebesar itu lagi.
BKA merupakan pemilik menara kembar Danamon Anggana, yang kini antara lain dipakai untuk kantor BPPN dan Menteri Negara BUMN. Perusahaan properti itu memiliki utang senilai US$ 161 juta plus Rp 62 miliar per 31 Desember 1999. Salah satu anak per-usahaan BKA adalah PT Caterison Sukses (CS), yang memiliki Hotel Nikko Bali Resort & Spa, sebuah hotel berbintang lima di kawasan Nusadua, Bali.
Di CS, BKA menyerahkan jaminan pribadi pemegang saham (personal guarantee) yang antara lain terdiri dari Usman Admadjaja, Sudwikatmono, Prajogo Pangestu, Harry Sapto Soepoyo, Sigit Harjojudanto, dan Didi Dawis. Mirip BNR, seluruh utang BKA juga dipermak dalam tiga paket dengan berbagai pola pelunasan. Namun, dengan penyimpangan-penyimpangan yang ditemukannya, OC mengkhawatirkan bahwa tingkat pengembalian utang (recovery rate) debitor yang satu ini menjadi sangat rendah.
Recovery yang tak optimal ditengarai terjadi pula dalam restrukturisasi utang PT Apac Inti Corpora (AIC), PT Kanindo Mulia Utama (KMU), dan PT Ekadharma Garmentama (EG) sejumlah Rp 599,2 miliar plus US$ 113 juta. Kesepakatan yang semula dicapai menyebutkan, setelah restrukturisasi, BPPN akan menguasai 51 persen saham PT Apac Inti Corpora. Sedangkan saham Apac sendiri tinggal 46 persen dari semula sebesar 95 persen; sisanya 3 persen dimiliki koperasi.
Penyebab pengembalian utang yang tak optimal itu, menurut OC, lagi-lagi lantaran terjadi penyimpangan terhadap pedoman Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Contohnya, adanya skenario likuidasi yang hanya akan membawa pengaruh negatif bagi BPPN. Selain BPPN harus menjalani proses cukup lama di pengadilan, hasilnya pun diperkirakan akan rendah.
Efek likuidasi juga akan merugikan pembeli dan pemasok. Selain itu, timbul persoalan menyangkut faktor sosial-ekonomi karena per-usahaan itu mempunyai lebih dari 10 ribu karyawan. Dalam restrukturisasi ini, OC juga mempertanyakan tidak adanya jaminan pribadi (personal guarantee) dari para pemilik, kecuali untuk Ekadharma, selain menyangkut prinsip perlakuan sama, yang juga dianggap sebagai penyimpangan atas pedoman KKSK.
Pertanyaannya, bagaimana bisa terjadi kesepakatan restrukturisasi yang merugikan BPPN seperti itu. Mungkinkah terjadi patgulipat antara oknum BPPN dan debitor? Sikap debitor mudah ditebak dan mereka tentu tak mau disalahkan atas hasil kajian OC BPPN itu. Kalau OC BPPN mengkritisi hasil kerja BPPN, "Itu memang sudah tugasnya," kata Manajer Komunikasi BNR, Lalu Mara Satriawangsa.
BNR sendiri merasa tak punya niat negatif. "Kami cuma ingin perusahaan kami berjalan baik di masa depan," kata Lalu Mara. Karena itu, ia tak khawatir restrukturisasi utangnya akan diubah lagi oleh KKSK gara-gara hasil kajian OC BPPN. Soalnya, perjanjiannya sudah diteken dan sudah efektif dilaksanakan. "Bahkan aset BNR pun," ia menjelaskan lagi, "sudah ditawarkan kepada investor."
Senada dengan BNR, Direktur PT Apac Inti Corpora Anas Bahfen juga membantah adanya kongkalikong di balik restrukturisasi utang dengan BPPN. "Proses restrukturisasi itu di-lakukan secara transparan," katanya. Setiap tahapannya pun, menurut dia, sesuai dengan ketentuan peraturan, prosedur, dan mekanisme yang berlaku. Sehingga, "Keputusan yang diambil telah melalui proses pengkajian, appraisal, dan due-diligence yang ketat dan saksama sebelum disepakati oleh semua pihak yang terlibat," ungkapnya dalam jawaban tertulis kepada TEMPO. Sementara itu, pihak Bentala Kartika Abadi tak menjawab pertanyaan yang diajukan. Gandhi, seorang staf di divisi legal BKA, beralasan bahwa pejabat yang berwenang menjawab kebetulan sedang cuti.
Sikap BPPN pun tak berbeda dengan sikap debitornya. Menurut Suryo Susilo, yang berwenang menanggapi hasil kajian OC adalah pemerintah, "dalam hal ini KKSK," demikian ditulis Kepala Divisi Komunikasi BPPN itu. Namun, soal kecurigaan adanya patgulipat, ia tegas menyangkal. "Tak ada penyimpangan," tuturnya, "dan recovery rate pun sudah diperhitungkan dalam proyeksi keuangan yang disiapkan untuk restrukturisasi."
Kenyataannya, menurut sumber TEMPO, para pejabat BPPN sempat kebat-kebit juga setelah pihak OC mengeluarkan kaji ulang atas restrukturisasi utang tiga debitor itu. Buktinya, mereka langsung meminta BKA agar membuat surat pernyataan tak adanya afiliasi antara BKA dan Colliers Jardine. "Surat itu sudah diteken Selasa pekan lalu," kata sumber TEMPO itu.
Sudah jadi rahasia umum, BKA merupakan salah satu debitor yang licin. Mereka pandai melobi pejabat BPPN yang menangani perusahaan-perusahaannya. Mereka, misalnya, menggunakan konsultan keuangan atau properti yang punya hubungan baik dengan pejabat-pejabat BPPN itu. Sebaliknya, bila ada masalah, "Mereka lihai bersembunyi di balik MRA (Master of Refinancing Agreement)?perjanjian pelunasan utang dengan BPPN," kata sumber TEMPO. Nah, gawatnya, perjanjian itu akan berakhir tahun 2002, padahal BPPN praktis belum memperoleh apa-apa untuk pe-lunasan utangnya. "Saya heran kenapa BPPN tak bisa berbuat apa-apa terhadap BKA," kata sumber TEMPO tersebut dalam nada geram.
Sayangnya, pihak OC tak bisa dimintai komentar perihal kaji ulang restrukturisasi utang debitor BPPN itu. Hari Wirjadi, sekretarisnya, mengaku kantornya baru akan mengeluarkan pernyataan Kamis pekan ini, sepulang Ketua OC Mar'ie Muhammad dari kunjungan ke luar negeri.
Nugroho Dewanto, Rommy Fibri, Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini