Jangan sepelekan profesi broker. Dalam jual-beli kuota tekstil dan produk tekstil (TPT), makelar menempati posisi sangat penting dalam industri TPT di Tanah Air. Bagi perusahaan besar, mereka adalah lemari besi tempat menyimpan rahasia perusahaan. Rahasia perusahaan TPT besar yang nakal, yang suka memperjualbelikan kuota jatahnya, ada dalam genggaman mereka.
Maklum, perusahaan besar itulah yang rajin memanfaatkan jasa mereka untuk menjual kuota yang mereka miliki. Menurut Johny, sebut saja begitu, hampir semua perusahaan besar melakukan jual-beli kuota. Tetapi mereka tidak berani menawarkan langsung kepada pembeli. "Mereka gengsi, malu," kata pria yang sudah cukup makan asam garam dalam dunia broker kuota ini.
Jika ingin menjual kuota, mereka mengontak broker yang mereka percaya. Untuk selanjutnya mereka tinggal menerima uang hasil penjualan karena segala sesuatunya diurus oleh broker. Peran seorang broker ternyata tidak berhenti setelah kuota terjual. Broker juga mengurusi dokumen ekspor sampai administrasi pembayaran. Bahkan tidak jarang broker harus menalangi pembayaran pembelian kuota. "Penjual biasanya ingin cepat dapat duit, sedangkan pembeli inginnya membayar setelah dapat pembayaran dari importir. Itu kan makan waktu lama. Jadi terpaksa kami yang menalangi," tambah Johny.
Broker jual-beli TPT yang bonafide dengan begitu memang harus berkantong tebal. Sebab, selain sewaktu-waktu perlu mengeluarkan uang talangan, broker juga harus mengantisipasi kalau-kalau pihak pembeli atau penjual mangkir, batal menjual, atau membeli kuota. Jika ini terjadi, brokerlah yang harus bertanggung jawab. Misalnya, sebuah perusahaan meminta kepada broker untuk menjualkan 500 lusin kuota kategori 634 (kode kuota untuk produk jaket di pasar AS) yang dimilikinya dengan harga US$ 20 per lusin. Setelah dilempar ke pasar, ternyata ada pembeli yang berani membeli dengan harga itu. Namun, karena permintaan di pasar gelap kuota terhadap kategori itu banyak, harga pun naik mencapai US$ 30. Dalam kondisi begini, ada saja penjual yang minta penyesuaian harga. Jika tidak bersedia, mereka menahan kuota yang sedianya akan dijual itu. Sebaliknya, jika harga kuota itu turun menjadi US$ 15 per lusin, misalnya, pihak pembeli biasanya yang minta agar harganya disesuaikan. Kalau tidak, mereka membatalkan pembelian.
Begitulah risiko para broker. Jika penjual yang mangkir, broker bertanggung jawab mencarikan kuota. Sebaliknya, kalau pembeli yang mangkir, broker harus membeli kuota tersebut dengan harga yang sudah disepakati.
Kasus seperti itu acap terjadi. Menurut Johny, rasionya 1:20. Artinya, dalam 20 transaksi jual-beli kuota, terdapat satu kasus pemangkiran seperti itu. Tidak jarang kasus seperti itu harus diselesaikan lewat jalur hukum. "Kita lihat nilainya. Kalau besar, ya diselesaikan sesuai dengan hukum," katanya.
Risiko broker memang tinggi. Tetapi keuntungan yang didapat dari pekerjaan itu juga lumayan menggiurkan. Setidaknya ada dua pola penghasilan yang didapat broker: persentase dari penjualan (besarnya 1-3 persen) dan nilai yang sudah ditentukan untuk harga penjualan tertentu.
Jika seorang broker berhasil menjual 500 lusin kuota kategori 634 dengan harga US$ 40 per lusin, duit yang bisa dikantongi broker Rp 2 juta hingga Rp 6 juta. Padahal, seorang broker yang jaringannya sudah oke bisa menjual barang dalam tempo kurang lebih satu jam. Cara menjualnya pun tidak perlu mengeluarkan biaya. Cukup angkat telepon menawarkan kepada pembeli. Beres.
Seorang broker yang bonafide, yang dipercaya, baik oleh pembeli maupun penjual, penghasilan per bulannya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Menurut staf ekspor sebuah perusahaan TPT, saking besarnya pendapatan broker, bahkan ada yang mampu membangun industri TPT. "Sebagian kuota yang mereka perdagangkan dipakai untuk keperluan industrinya sendiri, sebagian lagi dijual," kata sumber TEMPO yang acap berhubungan dengan para broker itu.
Jadi, sambil menyelam, rupanya para broker tak melewatkan kesempatan minum air.
HRT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini