Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Suara Lain di Tengah Tuntutan Cerai

Tidak semua warga Sumatra Barat menuntut pemisahan Semen Padang dari Semen Gresik. Yang penting, mereka mendapat kompensasi yang jelas.

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMAT Datang Cemex." Begitu antara lain bunyi tulisan dalam spanduk yang digelar di Kantor DPRD Padang, Sabtu dua pekan lalu. Sekitar seratus warga Lubukkilangan yang mendatangi Kantor DPRD dengan membawa spanduk dan poster itu seolah menjadi tandingan demo menuntut spin off (pemisahan) Semen Padang dari Semen Gresik, yang gencar disuarakan sebagian warga Sumatra Barat lainnya. Selama ini suara dari warga yang kerap terdengar adalah penolakan terhadap rencana pemberian kesempatan kepada Cemex (perusahaan semen dari Meksiko) untuk membeli saham pemerintah di Semen Gresik?tempat Semen Padang dan Tonasa tergabung di dalamnya. Ternyata, "Tidak semua warga Sumatra Barat menuntut spin off," ujar Basril Basyar, pemimpin redaksi mingguan Padang Pos yang juga pemuka masyarakat Lubukkilangan. Menurut dia, spin off atau tidak, itu tak penting benar bagi masyarakat Lubukkilangan. Yang penting, masyarakat harus mendapat kompensasi yang jelas dari Semen Padang. Ketua Kerapatan Adat Nagari Lubukkilangan, Syamsir Dt. P., bersuara lebih galak. Katanya, bila tidak mendapat kompensasi dan ganti rugi, warga memilih untuk melakukan negosiasi dengan Cemex. Nah, pemerintah jadi makin pusing. Pekan ini?persisnya 26 Oktober?Menteri Negara Urusan BUMN Laksanama Sukardi mestinya harus membuat putusan menyangkut Semen Gresik. Tanggal itu adalah batas waktu put option (hak untuk melepas sebagian atau semua saham pada harga tertentu) pemerintah kepada Cemex. Saat ini pemerintah masih mengantongi 51persen saham. Namun, sehari sebelum itu adalah tenggat yang diberikan masyarakat dan Pemerintah Daerah Sumatra Barat untuk memutuskan permintaan spin off Semen Padang. Bila batas waktu itu terlewati, perusahaan akan diambil alih. Masyarakat merasa berhak karena tanah lokasi Semen Padang adalah tanah ulayat yang diserahkan untuk kepentingan Semen Padang dan pemerintah. Belum lagi pemerintah menuntaskan hitung-hitungan untung-rugi put option atau spin off, sekarang muncul tuntutan baru yang juga mengatasnamakan rakyat. Warga Lubukkilangan menuntut kontribusi permanen dari Semen Padang sebesar Rp 5 per satu kilogram semen yang diproduksi. Juga pembayaran ganti rugi upah tanah garapan pada areal 412,3 hektare di kawasan Bukit Karang Putih. Menurut Basril Basyar, Semen Padang selama ini menjadi sapi perahan beberapa oknum pejabat Sumatra Barat. Karena itu, ia curiga bahwa ada udang di balik tuntutan spin off Semen Padang: ketakutan kehilangan bisnis bila Semen Padang beralih tangan ke perusahaan asing. Kecurigaan itu paling tidak menyangkut nama Anwar Syamsudin, anggota DPRD dari Partai Amanat Nasional yang menjadi ketua tim spin off Semen Padang. Dia adalah distributor Semen Padang untuk Riau dan distributor terbesar untuk Semen Padang. Selain itu adalah Afrizal, Ketua Komisi B DPRD dari Partai Keadilan dan Persatuan, yang disebut-sebut sebagai Direktur Utama PT Minang Malindo. Bisnis Afrizal dipersoalkan karena kuasa penambangan (KP) yang dia peroleh diterbitkan oleh Gubernur Zainal Bakar. Seharusnya, bukan gubernur yang berhak mengeluarkan KP, melainkan bupati atau kantor departemen pertambangan setempat. Hal lain yang dipertanyakan adalah ketertutupan dalam proses penunjukan KP tersebut. Gubernur dinilai tidak melakukan koordinasi dengan Bukit Asam karena lokasi KP yang diberikan ke Afrizal ternyata tumpang tindih dengan lokasi tambang milik Bukit Asam. Selain itu, masih ada kejanggalan lain berkaitan dengan KP tersebut. Minang Malindo mendapat KP langsung dari Gubernur Zainal Bakar pada 4 Mei 2001. Pada 9 Mei dia langsung mengajukan penjualan batu bara ke Semen Padang, dan permintaan itu langsung diterima. Memang harga batu bara pasokan Minang Malindo lebih murah ketimbang pasokan dari Bukit Asam, yang selama itu menjadi pemasok utama Semen Padang. Bukit Asam menjual batu bara Rp 220 ribu per ton, sedangkan Minang Malindo cuma Rp 200 ribu per ton. Menurut Direktur Utama Semen Padang, Ikhdan Nizar, Minang Malindo bisa menjual lebih murah karena produknya tidak melewati proses pencucian dan penghancuran. Tidak mengherankan bila Minang Malindo bisa menjual lebih murah ketimbang Bukit Asam. Afrizal mengakui, Minang Malindo memang tidak menambang sendiri melainkan hanya menampung hasil tambang penambang liar. Karena itu, Afrizal, yang menyangkal berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya, merasa bisnisnya lebih banyak menolong masyarakat. "Saya tidak berbisnis dengan Semen Padang. Saya hanya membantu masyarakat Sawahlunto Sijunjung untuk menjual batu bara mereka ke Semen Padang," lanjutnya. Kalaupun masyarakat diuntungkan dengan kehadiran Minang Malindo, pengakuan Afrizal itu setidaknya memperkuat anggapan Bukit Asam bahwa pejabat tinggi melindungi penambangan liar. Bukankah Minang Malindo yang menjualkan hasil penambang liar itu mendapat KP dari gubernur? Selama ini Bukit Asam melihat aparat keamanan dan pemerintah membiarkan saja penambangan liar di lokasi penambangan Bukit Asam. "Dan penambang liar itu mendapat rekomendasi dari para pejabat tinggi," ujar seorang pejabat di Bukit Asam. Praktek-praktek yang mendukung penambangan liar apakah masih akan tetap terjadi bila Cemex menguasai Semen Padang? Belum jelas, memang. Yang pasti, dengan posisi Semen Padang yang seperti sekarang, praktek semacam itu setidaknya tak terusik. Di luar berbagai suara yang simpang-siur memperebutkan Semen Padang, sebenarnya bagaimana kondisi perusahaan yang diperebutkan itu sendiri? Bukan perusahaan kinclong, ternyata. Perusahaan ini dikabarkan tahun lalu merugi sampai Rp 46 miliar. Padahal, setahun sebelumnya Semen Padang sempat meraup untung Rp 112 miliar. Kenapa? Sumber TEMPO membisikkan, Semen Padang memang tidak efisien. Buktinya, ongkos jual alias cost of good sold (COGS) Semen Padang sepanjang tahun lalu dibandingkan dengan tahun sebelumnya melesat lebih besar ketimbang kenaikan penjualan. Sementara COGS naik 33,7 persen, penjualan cuma merayap 17,3 persen. Profit margin yang dicapai Semen Padang juga cuma 15,9 persen, sementara Semen Gresik bisa mendapatkan 26,65 persen. Adapun perbandingan utangnya terhadap modal alias debt to equity ratio-nya bertengger pada angka 127 persen. Ini berarti 82 persen di atas Semen Gresik. Angka-angka itu diperburuk dengan kerugian valuta asing sekitar Rp 166 miliar. Direktur Utama Semen Padang, Ikhdan Nizar, tentu saja tidak bisa menerima bila perusahaan yang dipimpinnya dinilai tidak efisien dan tidak profesional. "Bagaimana mengukurnya?" tanyanya. Dia menunjukkan, Proyek Indarung V (pabrik berkapasitas 2,3 juta ton per tahun yang dimiliki Semen Padang) adalah pabrik terbesar di Indonesia yang pernah dipunyai Cemex?pemegang 25,53 persen saham Semen Gresik. "Dan kemampuan kami itu digunakan oleh Cemex," ujar Ikhdan. Sedangkan kerugian yang diderita Semen Padang, menurut Ikhdan, lebih banyak disebabkan kerugian kurs rupiah terhadap dolar. Karena itu, ia tidak bisa menyembunyikan kekesalannya ketika kepadanya dikonfirmasikan angka-angka dan berbagai rasio keuangan yang menunjukkan kinerja buruk Semen Padang. "Sudahlah, Semen Padang memang perusahaan jelek, jadi lepas saja," ujarnya. Purwani Diyah Prabandari, Febrianti (Padang)
Privatisasi yang Ditentang Sejak Awal 18 Maret 1910: Berdirinya PT Semen Padang dengan nama Nederlanddsch Indische Portland Cement Maatschppij (NV NIPCM), yang menggunakan tanah ulayat nagari di Kampung Indarung. Sekitar 1970: Terjadi penolakan penjualan Semen Padang oleh masyarakat Sumatra Barat, dan kemudian Azwar Anas (mantan Gubernur Sumatra Barat) diminta memimpin PT Semen Padang. September 1995: Penggabungan PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa dengan PT Semen Gresik agar Semen Gresik bisa mengeluarkan right issue. 1997: Menteri Negara Urusan BUMN, Tanri Abeng, ditugasi mengejar target US$ 1,5 miliar dari penjualan saham di beberapa BUMN. Dan saat itu komoditi semen diubah statusnya menjadi tidak strategis lagi. Jadi, pemerintah tidak perlu mayoritas di BUMN. 5 Mei 1998: Tanri Abeng mulai bernegosiasi dengan Holderbank, Heidelberger, dan Cemex untuk penjualan saham di Semen Gresik. 6 Juli 1998: Pemerintah mengumumkan Cemex S.A. sebagai kandidat terkuat pemenang tender 35 persen saham pemerintah di Grup Semen Gresik. 20 Agustus 1998: Cemex diberi tahu bahwa tender putaran pertama akan direstrukturisasi, maksimum 14 persen saja yang bisa dikuasai karena pemerintah mendapat banyak perlawanan dari masyarakat Sumatra Barat. September 1998: Semen Gresik diprivatisasi, dijual ke investor strategis: Cemex S.A. (Belakangan Cemex membeli 9,53 saham publik sehingga komposisi saham menjadi 25,53 persen milik Cemex, publik 23,47 persen, dan 51 persen milik pemerintah). 25 Oktober 2001: Tenggat dari masyarakat Sumatra Barat untuk spin off Semen Padang dari Semen Gresik. 26 Oktober 2001: Tenggat untuk pelaksanaan put option (pemerintah melepas saham pada harga tertentu) Semen Gresik ke Cemex S.A.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus