BAGAIMANA bank bisa memastikan bahwa suatu perusahaan mampu atau tidak membayar utangnya? Pertanyaan ini menghantui bank di mana-mana, tak terkecuali di negeri ini. Soalnya, menurut Bank Indonesia (BI), kredit yang tak pulang kandang sampai 1993 mencapai Rp 6 triliun atau 3,5% dari total kredit nasional. Malah bukan mustahil bank dibobol oleh debiturnya, seperti dilakukan Eddy Tansil terhadap Bapindo. Tak heran bila kasus Eddy-Bapindo menjalarkan kisruh ke lembaga seperti BPKP, yang mengaudit Bapindo dan hasil audit itu kemudian diragukan kebenarannya. Bahkan untuk audit ulang, kabarnya, Menteri Mar'ie Muhammad akan menyewa kantor akuntan asing. Khusus dalam kasus Eddy Tansil-Bapindo ada dua hal mencuat. Pertama, kolusi. Kedua, laporan akuntan ternyata tak bisa diandalkan. Seperti pernah dikatakan bekas Ketua BPKP, Gandhi, ada akuntan yang bisa menyesuaikan diri dengan permintaan debitur yang membayarnya. Banyak pula yang tidak mengindahkan prinsip dan prosedur akuntansi yang berlaku di sini. Karena berbagai sebab itu, pekan lalu BI menjalin kerja sama dengan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) untuk pengembangan standar akuntansi dan pelaporan keuangan. Kegiatan itu meliputi sembilan bidang, mulai dari akuntansi untuk investasi, laporan keuangan konsolidasi, hingga cara perhitungan laba per saham. "Ini dapat melindungi bank dari hal-hal yang merugikan," kata Kepala Sekretariat Direksi BI, Amir Abbas Sabrudin. Pengamanan seperti itu memang perlu. Maklumlah, kantor akuntan publik (KAP) yang tak memenuhi persyatan jumlahnya meningkat tajam. Tahun lalu, Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (DPAJP) Departemen Keuangan telah mencabut izin 36 KAP. Jumlah ini merupakan 10% dari KAP yang ada. Padahal, tahun 1992, cuma dua KAP yang dicabut izinnya. Menurut Direktur DPAJP, Kartomo Wiryobroto, mereka umumnya tidak memenuhi persyaratan adimistratif. "Masak, ada KAP yang tidak punya kantor atau pegawai," katanya. Ia pun tak membantah bahwa banyak akuntan nakal dan sering membuat laporan keuangan palsu. Misalnya ada perusahaan yang bermodal Rp 100 juta, setahun kemudian dilaporkan modalnya sudah jadi triliunan rupiah. "Lha, kalau akuntannya sudah miring, ya, semuanya bisa miring. Pasar modal miring, bank bisa miring ...," kata Kartomo. Lain pula pengalaman Gandhi. Ia pernah memeriksa perusahaan yang oleh akuntan publik dinyatakan wajar tanpa syarat. Padahal, di perusahaan itu pemeriksa BPKP tidak menemukan data keuangan. Usut punya usut, rupanya sang akuntan membuat laporan keuangan cuma lewat telepon. Gandhi memang kerap menemukan akuntan nakal. Tak aneh bila ia menciptakan beberapa julukan untuk mereka. Akuntan telepati, misalnya, adalah mereka yang tidak memeriksa data kliennya. Sedangkan akuntan jahit, menurut Gandhi, kerjanya membuat laporan keuangan sesuai dengan pesanan. "Persis tukang jahit," ujar bekas Ketua BPKP ini. Kartomo mengungkapkan, sedikitnya 50% dari 436 KAP melakukan pelanggaran. Sayang, tanpa rekomendasi dari Dewan Kehormatan IAI atau BPKP, DPAJP tak berhak menindak. Begitupun Dewan Kehormatan IAI. Menurut Katjep K. Abdoelkadir, penjabat Ketua IAI, pihaknya akan sulit menindak akuntan nakal selama tidak ada pengaduan tentang orang itu. "Untungnya, yang melanggar kode etik jumlahnya masih sedikit," kata Katjep. Untuk menindak akuntan nakal tak pula mudah. Mengapa? Karena untuk itu belum ada perangkat hukumnya. Seperti diketahui, sampai saat ini Pemerintah masih menggodok undang-undang perseroan. "Bagaimana kita mau menindak, wong belum ada aturannya," kata Kartomo. Bambang Aji, Sri Wahyuni, dan Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini