Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menurunkan target pembangunan jaringan gas rumah tangga menjadi 2,5 juta sambungan.
Swasta belum tertarik membangun jaringan gas rumah tangga.
Keuntungan dari bisnis jargas minim lantaran volume gas yang disalurkan kecil.
JAKARTA - Pemerintah masih kesulitan menambah jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga alias jargas. Sejumlah rencana menggandeng swasta disiapkan. Namun pelaku usaha tetap belum tertarik.
Kementerian Koordinator Perekonomian mencatat pembangunan jargas hingga Oktober 2023 mencapai 835 ribu sambungan. Mayoritas—sebanyak 549 ribu sambungan—dibangun dengan anggaran negara, sedangkan sisanya dibangun oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk.
Realisasi tersebut masih jauh dari target pemerintah yang hendak membuat empat juta sambungan jargas pada 2024. Akibatnya, pada Oktober lalu, pemerintah merevisi target menjadi hanya 2,5 juta sambungan.
Skema KPBU untuk Menggandeng Swasta
Pekerja membantu memodifikasi kompor gas agar bisa digunakan di jaringan gas rumah tangga di Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat, 3 Juli 2023. ANTARA/Paramayuda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mencapai target itu, pemerintah mengubah strategi dengan mengajak swasta menggarap proyek jargas. Salah satunya lewat skema kerja sama pemerintah-badan usaha (KPBU). Skema ini sudah terdengar sejak 2020 dengan rencana penjajakan minat pasar pada 2021 dan implementasi pada 2022. Pemerintah menyasar daerah-daerah yang ekonomis.
Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Laode Sulaeman mengatakan hingga saat ini skema KPBU belum terlaksana. "Pengembangan jargas tidak menarik bagi badan usaha karena membutuhkan volume yang besar atau jumlah sambungan yang banyak," ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Penerapan skema KPBU masih dalam tahap pengkajian. Pemerintah tengah menjajaki kerja sama dengan sejumlah instansi untuk merancang perencanaan proyek. Pemerintah berencana menggelar uji coba pengembangan jargas dengan skema KPBU di sembilan lokasi. Dua di antaranya adalah Palembang dan Batam. Proyek ini ditargetkan bisa dimulai pada pertengahan 2025.
Dianggap Berisiko dan Minim Keuntungan
Petugas melakukan pengecekan rutin stasiun pengaturan tekanan gas jaringan gas (jargas) pelanggan rumah tangga di Batu Aji, Batam, Kepulauan Riau, 8 Juli 2020. ANTARA/M.N. Kanwa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Moshe Rizal mengatakan para pelaku usaha sudah mendapat penawaran pembangunan jargas lewat skema KPBU sejak lama. Namun hingga kini belum ada swasta yang terlibat. "Kalau menarik, dari dulu swasta sudah berinvestasi (di proyek jaringan gas)," katanya.
Menurut Moshe, pelaku usaha menganggap tawaran stimulus dari pemerintah tidak mengubah fakta bahwa keekonomian dari proyek ini rendah. Ditambah ada risiko besar membayangi proyek ini. Pengusaha ragu akan ketersediaan pasokan selama pengoperasian pipa hingga mereka balik modal. Dia mengingatkan, produksi lapangan tua di dalam negeri mulai seret, sementara investasi jargas baru bisa kembali 10-15 tahun.
Moshe mengungkapkan, swasta masih menanti detail aturan yang bakal ditawarkan pemerintah. Dia mengatakan salah satu yang bisa diberikan adalah jaminan seperti take or pay dalam sektor kelistrikan. Artinya, pemilik pipa tetap mendapat bayaran meski tidak ada gas yang mengalir. "Tapi baik pemerintah maupun KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) migas pasti berat," ujarnya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan keuntungan dari pembangunan jargas minim lantaran volume gas yang disalurkan relatif kecil. Sebanyak 0,1 juta kaki kubik per hari (mmscfd) dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan 10 ribu sambungan rumah tangga. Kondisinya sama seperti mengelola jalan tol. Semakin banyak kendaraan yang lewat, pendapatan pengelola bisa meningkat. "Itu yang menyebabkan jargas tidak menarik kalau diserahkan ke mekanisme bisnis."
Tantangan lainnya adalah komitmen pasokan. Pemerintah perlu memastikan gas bisa mengalir di pipa-pipa yang telah dibangun dalam jangka waktu tertentu. "Kalau produksi dari hulu habis, jadi besi tua atau tidak pipanya."
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menuturkan jaringan gas ini penting untuk mengoptimalkan cadangan gas Indonesia yang melimpah. Opsi distribusi menggunakan pipa lebih murah dibanding mengolah gas bumi jadi cair atau LNG. Kecuali sumber gas tersebut berada di lokasi yang terpaut jauh dari sumber konsumsi.
Untuk melancarkan rencana menggandeng swasta dalam proyek jargas, pemerintah perlu memberikan hak untuk menyalurkan gas. "Seperti yang dilakukan PGN sekarang," kata Fahmy. Skema ini memungkinkan pemilik pipa mendapat keuntungan lebih besar.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo