Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH pesan beraroma tekanan disampaikan Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto kepada Heru Sulastyono, pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang baru ditangkap anak buahnya, 29 Oktober lalu.
Pesan itu dititipkan lewat Direktur II Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI tersebut lewat anaknya buahnya, Komisaris Besar Agung Setya Effendi, ketua tim penyidik yang membekuk Heru. Kebetulan keduanya teman satu sekolah di SMA 1 Wonosobo, Jawa Tengah.
Menurut Arief, dia memberi dua pilihan kepada Kepala Subdirektorat Ekspor Bea dan Cukai yang disangka menerima suap itu. Dua pilihan itu adalah membuka semua atau mencicil satu per satu kasus yang melilitnya.
"Lebih baik buka semua, utangmu habis," ujar Arief mengulang pernyataannya itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu. "Kalau bertahan dan suatu saat ketahuan, saya tangkap lagi."
Heru, yang diterungku di rumah tahanan Badan Reserse Kriminal, belakangan mengiyakan tawaran Arief. Sedikit demi sedikit dia membuka permainan nakal pejabat Bea dan Cukai. Salah satunya operasi gelap mengakali aturan kepabeanan di perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. "Dia belum membuka semua," kata sumber Tempo.
Menurut sumber tadi, Heru memilih membuka kasus tertentu saja. Praktek nakal pejabat Bea dan Cukai di Entikong dibongkar karena alasan sakit hati lantaran merasa dikerjai anak buahnya. Selain itu, yang tak kalah penting, meledaknya kasus tersebut diharapkan bisa menutup perkara yang membelitnya. "Heru ingin mengamankan orang-orang dekatnya," ujar sumber tadi.
Sampai di sini, skenario yang dijalankan Heru berjalan sukses. Pengusutan kasusnya belum menunjukkan titik terang soal siapa pengusaha yang paling besar menikmati berkah darinya.
Selain itu, petunjuk soal keterlibatan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono menjadi senyap, padahal sempat digembar-gemborkan terseret. "Ceritanya terputus sampai Heru dan Yusran Arief, pengusaha yang memberi suap," ucap sumber tersebut.
Pekan lalu, berkas perkara Heru dan Yusran telah P19 alias sudah dilimpahkan penyidik polisi ke Kejaksaan Agung. Dalam berkas itu turut disita delapan aset bergerak senilai Rp 50 miliar.
Namun Arief mewanti-wanti bahwa pengembangan kasus ini tidak berhenti. "Penyidik jalan terus," kata alumnus Akademi Kepolisian Angkatan 1987 ini. "Akan saya penuhi janji itu jika di belakang hari terbukti Heru menyembunyikan sesuatu."
JEJAK suap Heru terendus akhir 2010, ketika Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi mencurigakan pada rekening milik belasan pegawai Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Laporan ini kemudian dikirimkan ke polisi dan Kejaksaan Agung. Polisi giat mengusut suap untuk Heru sejak 2012. Itu pun belum semua transaksi-total sekitar Rp 60 miliar-pada lebih dari 20 rekening yang terkait dengan Heru diperiksa.
Sepekan setelah menangkap Heru, polisi menciduk Komisaris PT Sinar Buana Ekspresindo Yusran Arief di Jalan Aselih Nomor 49, Ciganjur, Jakarta Selatan. Sinar Buana perusahaan yang mengurus jasa kepabeanan importir biji plastik PT Tanjung Jati Utama.
Yusran dituding menyuap Heru sebesar Rp 11,4 miliar karena membantu meringankan ongkos pabean perusahaan. Suap diberikan dalam bentuk sebelas polis asuransi atas nama Heru dan istri keduanya, Widya Wati. Nah, pembelian polis asuransi itulah yang dinilai sebagai tindak pidana pencucian uang.
Pada saat pengusutan perkara Heru terus berjalan, secara diam-diam Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan juga bergerak menelisik sejumlah informasi terkait dengan pejabat Bea dan Cukai tersebut. Seorang pejabat Lapangan Banteng-nama jalan tempat Kementerian Keuangan berkantor-menyebutkan penelusuran itu berbekal data informasi dari PPATK.
Rupanya, dari data lembaga yang memiliki kewenangan memeriksa data rahasia bank, diperoleh transaksi mencurigakan yang dilakukan Heru. Menurut pejabat itu, salah satu yang mencengangkan, terungkap pengiriman uang kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono sebanyak empat kali. "Datanya telak, meski jumlah transfer itu tidak besar," ujarnya.
Kiriman itu diterima Agung lewat transfer anjungan tunai mandiri (ATM) Bank Central Asia yang dilakukan Heru. Menurut sumber Tempo, waktu penerimaan uang masih belum begitu jelas. "Ada ketika masih belum menjadi Direktur Jenderal Bea-Cukai," katanya. "Namun tidak tertutup kemungkinan ada kiriman-kiriman lain."
Sumber itu menjelaskan, tiga ATM yang dipakai Heru menyebar uang ke sang bos bukan menggunakan rekening pribadi miliknya, melainkan atas nama Siti Rosida, Adi Sugiharto Taylor, dan Antawijaya. Ketiganya meliputi rekening BCA nomor 0072733xxx KCP Tanjung Priok, Jakarta Utara, atas nama Siti Rosida; BCA nomor 007273xxxx atas nama Antawijaya; dan BCA nomor 5810327xxx atas nama Adi Sugiharto Taylor.
Dari ATM atas nama Siti Rosida yang dipegang Heru, dia melanjutkan, Agung diketahui pernah menerima kiriman uang dua kali masing-masing Rp 15 juta dan Rp 10 juta. "Jumlahnya memang kecil," ujarnya. "Tapi itu yang baru terlacak."
Selain mengirimkan uang ke Agung, Heru diketahui mengirimkan uang ke dua istrinya, yaitu Widya Wati dan Maya Rosida. Widya Wati menerima sedikitnya Rp 800 juta dari 50 kali transfer. Sedangkan Maya, yang kini Wakil Bupati Wonosobo, memperoleh sedikitnya Rp 300 juta dengan transfer lebih dari 10 kali.
Temuan PPATK soal penerimaan uang oleh Agung sampai ke tangan Menteri Keuangan M. Chatib Basri. Menurut sumber tadi, Chatib langsung memanggil Agung dan mengklarifikasi data tersebut. "Agung tidak bisa berkelit, dan mengaku," katanya.
Mendapati persoalan pelik itu, Chatib menyempatkan diri mampir ke kantor pusat Bea dan Cukai di Jalan Ahmad Yani, Jakarta Timur, 10 Desember 2013. Selain Agung, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Sony Loho serta jajaran pejabat Bea dan Cukai seluruh Indonesia hadir.
Chatib meminta laporan mengenai kasus Heru Sulastyono. Acara itu malah menjadi ajang curhat para pejabat eselon II karena polisi menarik mundur kasus hingga ke tahun 2003. Polisi meminta data importasi sepuluh tahun terakhir, terutama yang melalui Tanjung Priok.
Buntutnya mulai kelihatan. Polisi memanggil 400-an pegawai Bea dan Cukai, baik yang masih aktif maupun yang telah pensiun. Sekitar 60 orang telah diminta keterangan, sisanya dalam daftar antrean. Hal inilah yang menyebabkan keresahan. Sempat tersirat mereka ingin Menteri bersikap tegas bila kasus ini menyeret pejabat. Toh, pertemuan dua jam itu berakhir tanpa kesimpulan.
Ditemui Tempo Senin tiga pekan lalu, Chatib menolak menjelaskan pertemuan empat matanya dengan Agung Kuswandono. "Pembahasan internal pasti ada, tapi tidak perlu saya bicarakan di sini," ucapnya.
Sebaliknya, Agung membantah kabar pernah dipanggil soal itu. Dia mengaku sering bertemu dengan sang Menteri. "Sebagai anak buah, saya sering menghadap," katanya.
Agung juga menyangkal pernah menerima kiriman uang dari Heru. "Tidak pernah ada, dan saya juga tidak pernah mendapat laporan (PPATK) itu."
Kuasa hukum Heru, Sugeng Teguh Santoso, mengaku belum tahu soal tiga ATM yang dipegang kliennya. Wakil Ketua PPATK Agus Santoso mengaku belum mengetahui soal itu. "Nanti saya cek dulu," ujarnya.
SELAIN menyibak nama Agung Kuswandono, tim investigasi Kementerian Keuangan menemukan sosok penting di balik kasus Heru. Dia adalah Sumadi Seng alias Alek, pengusaha ekspor-impor yang sudah malang-melintang di dunia pelabuhan.
Sumber Tempo yang lain mengatakan Yusran, Siti Rosida, dan Adi Sugiharto Taylor adalah anak buah Sumadi. Siti karyawan bagian keuangan dan Adi Sugiharto alias Adi Kancil manajer keuangan. "Mereka yang menjadi juru bayar untuk Heru," katanya. "Juga setoran untuk penegak hukum dan anggota DPR."
Sumadi ternyata bukan orang sembarang. Lelaki kelahiran Indragiri, Riau, ini mengelola lebih dari lima perusahaan ekspor-impor dan gudang berikat. Berbekal kedekatan dengan Heru, dia menjadi orang nomor satu yang menguasai bisnis gelap di pelabuhan. "Dia yang paling berkibar saat ini," ujar seorang mantan petinggi Bea dan Cukai (baca "Setoran 'Gelap' Itu").
Seorang pengusaha ekspor-impor mengatakan, dari ketiga anak buah Sumadi, Heru paling dekat dengan Adi Kancil. Keduanya pernah datang ke kantor si importir di Jakarta Utara pada 2007. Ketika itu, Heru menjadi Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Bea dan Cukai Tanjung Priok. "Saat itu, Heru mengenalkan Adi sebagai intelnya mengawasi pengusaha," katanya.
Dalam pertemuan itu, Heru dan Adi mengajak sang importir bekerja sama dengan iming-iming keringanan ongkos pabean. Namun tawaran itu ia tolak karena pernah kecewa terhadap deal sebelumnya. "Heru dan Adi Kancil mengubah janji sepihak," ucapnya.
Agung Kuswandono mengaku tidak pernah mengenal Sumadi dan Adi Kancil. "Siapa itu? Saya enggak kenal," katanya. Adapun Adi Kancil, yang ditemui Tempo di kantor dan rumah Sumadi, menolak berkomentar soal itu. "Apa maksudnya tanya ini-itu?" ujarnya.
Hingga tulisan ini diturunkan, surat permohonan wawancara berisi sejumlah pertanyaan tertulis yang dikirimkan kepada Sumadi belum terbalas. Dia juga tidak menjawab pesan pendek dan panggilan di telepon selulernya.
Jenderal Arief Sulistyanto memastikan sudah mendeteksi nama Sumadi dan Adi Kancil. Namun, menurut dia, penyidik masih mencari data pendukung keterlibatan dua orang itu dalam perkara Heru.
Soal adanya intervensi, Arief memastikan tidak begitu terganggu. "Sudah mendapat perintah dari Kapolri Jenderal Sutarman," katanya. "Kalau ada yang coba-coba intervensi, akan langsung saya tangkap."
Retno Sulistyowati, Setri Yasra, Akbar Tri Kurniawan, Muhamad Iqbal, Amandra Megarani, Angga Sukma Wijaya, Tomi Aryanto, Shinta Maharani (Wonosobo)
Kronologi Pengungkapan
2006-2010
Oktober 2010
2011
2012
2013
Juni
30 Oktober
4 November
8 November
11 November
15 November
9 Desember
19 Desember
Trik Mengaburkan Suap
Modus Permainan
Komoditas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo