Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jimi Hendrix dan Beatles Rasa Jazz

Salihara Jazz Buzz 2014 menampilkan para musikus jazz yang menggubah karya maestro dalam beragam genre, dari Beethoven, Beatles, hingga Jimi Hendrix.

27 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mula-mula denting piano mengalir pelan memenuhi ruangan pertunjukan. Lantunan piano kemudian disahuti dua alat musik tiup: trompet dan harmonika. Lengkingan lirih trompet dan harmonika yang memainkan tembang Little Wing itu menghadirkan suasana musik melayang-layang, seperti menerbangkan kita ke atas awan. Sepanjang sekitar lima menit penonton disuguhi alunan musik yang menerbangkan itu. Suasana sedikit berubah ketika suara kontrabas dan drum masuk meningkahi. Musik terdengar lebih riang.

Little Wing, salah satu lagu populer legenda rock Jimi Hendrix, disajikan dalam rasa jazz oleh Glen Dauna Project di Teater Salihara, Jakarta Selatan, Sabtu dua pekan lalu. Dalam perhelatan bertajuk Salihara Jazz Buzz 2014 itu, kelompok musik pimpinan Glen Dauna ini membawakan karya-karya Hendrix dalam balutan jazz. Little Wing, yang aslinya pekat dengan distorsi melodi gitar elektrik khas Hendrix, dimainkan secara akustik oleh Glen Dauna pada piano, Dion Subiakto (drum), Kevin Yousa (kontrabas), Indra Dauna (trompet), dan Rega Dauna (harmonika).

Selain menghadirkan Little Wing, dalam pentas berjudul "Sayap Kecil Jimi Hendrix" sore itu, Glen Dauna Project membawakan lima nomor Hendrix yang dicomot dari album Are You Experienced? (1967), Axis: Bold as Love (1967), dan Electric Ladyland (1968). Kelima nomor itu adalah The Wind Cries Mary, Third Stone, Castles Made of Sand, Hey Joe, dan Purple Haze.

Glen Dauna, pianis jazz lulusan sekolah musik Stadtische Akademie fur Tonkunst Darmstadt, Jerman, mengaku kesulitan menafsirkan musik Jimi Hendrix secara utuh dengan jazz. "Beberapa kali saya mencoba mendekati musik Hendrix yang kental dengan distorsi raungan melodi gitar elektrik ke dalam jazz, ternyata cukup sulit," kata Glen. "Salah satu kesulitannya adalah perbedaan format instrumen. Cukup sulit gitar elektrik khas Hendrix dibawakan dengan format akustik seperti piano."

Akhirnya, pianis kelahiran Jakarta, 24 Maret 1971, itu menempuh jalan lain: mencoba menafsirkan musik Jimi Hendrix lewat lirik lagunya. Dengan bertolak dari lirik, menurut Glen, dia lebih leluasa membuat improvisasi, salah satu ciri khas musik jazz. "Boleh dibilang, langkah yang saya tempuh itu mirip seseorang yang membuat ilustrasi musik untuk sebuah film," ujarnya. "Meski begitu, saya tetap mempertahankan melodi musik seperti aslinya."

Dalam Little Wing, misalnya, musik yang disuguhkan Glen berangkat dari tafsir atas teks lirik lagu tersebut. Menurut Glen, lirik lagu itu dekat dengan seseorang yang mengalami halusinasi. Terbang dengan sayap kecil dan melayang-layang di atas awan. Karena itu, Glen kemudian menerjemahkannya ke aransemen musik yang menghadirkan suasana seperti sedang terbang di atas awan. Itu terasa lewat alunan trompet dan harmonika yang terdengar melengking liris dan melayang-layang.

Hal serupa ditempuh Glen saat membawakan Hey Joe, lagu yang mengawali karier Hendrix bersama band-nya pada 1967, The Jimi Hendrix Experience. Hey Joe, menurut Glen, berkisah tentang seorang suami yang menembak istrinya karena berselingkuh. Glen kemudian menyuguhkan suara tembakan pistol sang suami dalam musiknya melalui permainan drum, trompet, dan piano dengan teknik sinkopasi. Dan suara seperti tembakan itu terdengar berulang beberapa kali dalam lagu yang dibawakan sepanjang sekitar 15 menit-aslinya Hey Joe hanya berdurasi 3 menit 29 detik.

Pada hari yang sama, Salihara Jazz Buzz juga menampilkan Indro Hardjodikoro The Fingers. Indro cs menyuguhkan lagu-lagu The Beatles, grup rock 'n' roll legendaris asal Inggris, dalam irama jazz bertajuk "Ini Hanya The Beatles". Dalam pentas malam itu, Indro dkk memainkan sekitar 10 lagu dari band beranggotakan John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr itu, yang telah digubah ulang. "Sebetulnya lagu Beatles itu sangat bagus semua. Saya takut kalau digubah ulang malah akan jelek," kata Indro di sela konser.

Tapi ketakutan Indro, pemain bas ternama Indonesia itu, tak terbukti. Nomor pembuka, Lady Madonna, yang telah digubah ulang dalam irama jazz, boleh dibilang cukup memikat. Lagu itu dibuka dengan permainan drum Yandi Andaputra yang begitu energetik. Lebih dari lima menit Yandi dibiarkan bermain solo. Setelah itu, permainan bas Indro dan Fajar Adi Nugroho, serta alunan piano Andy Gomez Setiawan, menimpali. Lantunan trompet Indra Dauna menyelusup. Musik pun kemudian mengalir dalam irama rancak.

Yang juga memikat ketika mereka memainkan tembang medley: Here, There and Everywhere, Here Comes the Sun, dan Penny Lane. Setelah dibuka permainan piano Andy Setiawan, Fajar membawakan tiga lagu yang digubahnya itu secara solo lewat permainan basnya. Pada akhir konser, Indro cs kembali menampilkan lagu medley. Kali ini ia memanggil biduanita Soukma Egas untuk menyanyikan The Long and Winding Road. Vokal bening Soukma terdengar merdu membawakan tembang balada dari album Let It Be tersebut.

Selain menampilkan Glen Dauna Project dan Indro dkk, perhelatan Salihara Jazz Buzz, yang digelar setiap Sabtu sepanjang Januari ini, menampilkan musikus jazz lainnya. Pada minggu pertama tampil Nial Djuliarso. Pianis lulusan sekolah musik Berklee dan Juilliard, Amerika Serikat, itu bermain hampir tanpa cela. Belasan lagu jazz dia bawakan tanpa perlu bantuan transkrip not balok.

Sore itu Nial memainkan tembang jazz 1960-an ke bawah. Dia membawakan sejumlah karya legenda jazz Amerika, antara lain George Gerswhin, Duke Ellington, Bud Powell, dan Miles Davis, dengan pianonya secara solo. Pianis berusia 32 tahun itu juga memainkan tembang Sabda Alam dan Juwita Malam karya Ismail Marzuki.

Pada hari yang sama, malamnya tampil Nita Aartsen Group, membawakan komposisi musik dari era Barok, klasik, hingga romantik dalam balutan jazz. Pianis Nita Aartsen, yang memimpin grup, menginterpretasi karya maestro seperti Johann Sebastian Bach, Beethoven, serta Mozart, dan kemudian menggabungkannya dengan unsur musik lain. Di tangan Nita, yang berkolaborasi dengan Jalu Pratidina (perkusi etnik), M. Iqbal (drum), dan Adi Darmawan (bas), karya klasik itu bisa jadi bernuansa Latin, rock, bahkan kesunda-sundaan.

Simak Fur Elise, sebuah repertoar solo piano karya Beethoven. Di sela komposisi itu, bunyi kendang Sunda yang ditabuh Jalu Pratidina bertalu-talu. Jalu, yang duduk dikelilingi berbagai macam alat musik tabuh, bermain solo hingga lima menit. Nita Aartsen kemudian menyambut dengan melodi piano yang paling khas dari karya komponis asal Jerman tersebut.

Nita memberi nama Good Times untuk komposisi Fur Elise yang dia modifikasi. "Saya hanya mempertahankan melodi yang paling khas dari komposisi itu. Sisanya dikembangkan sendiri sesuai dengan interpretasi," ujar Nita.

Nurdin Kalim, Ananda Badudu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus