Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA pengusaha diperiksa bergantian oleh dua penyidik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Senin tiga pekan lalu. Meminjam salah satu ruangan kantor Kepolisian Sektor Pontianak Selatan, Kalimantan Barat, pengusaha ekspedisi itu dicecar pertanyaan mengenai penyelundupan barang di perbatasan Indonesia-Malaysia, di Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Tony Halim, Sugianto, dan Agam, tiga dari pengusaha itu, diperiksa selama delapan jam. Polisi ingin mengorek informasi tentang dugaan penyelundupan barang oleh Heri Liwoto, pemilik perusahaan ekspedisi PT Kencana Lestari dari Tebedu, Malaysia.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto mengatakan Heri bermitra dengan pengusaha lokal mengambil barang impor miliknya dari Tebedu, lalu diangkut ke Pontianak, dan selanjutnya dibawa ke Jakarta. "Semua pengiriman menggunakan ekspedisi lokal," katanya Selasa pekan lalu.
Salah seorang yang diperiksa mengatakan Heri dikenal sebagai pengusaha ekspedisi asal Pontianak yang tinggal di Jakarta. Namanya dikenal di bisnis angkutan barang di Entikong dan Pontianak. Dia kerap mengangkut barang impor berupa gula, mebel, dan alat pertukangan.
Dari pemeriksaan itu, polisi menetapkan Heri sebagai tersangka kasus gratifikasi terhadap Hendrianus Langen Projo, Kepala Pengawasan dan Pelayanan Bea-Cukai Tipe Madya C Entikong, dan Syafruddin, Kepala Seksi Kepabeanan Entikong. Langen juga sudah menjadi tersangka. Adapun Syafruddin lebih dulu dijebloskan ke penjara sebagai tersangka dugaan penyuapan oleh Kejaksaan Negeri Sanggau.
Suap kepada Langen berupa pemberian sepeda motor Harley-Davidson melalui Yudo Patriotomo, adik ipar Langen sekaligus anak buah Heri yang bekerja di Bogor. Sepeda motor seharga Rp 320 juta itu dibeli dan diserahkan kepada Langen pada 2010. Untuk Syafruddin, Heri mentransfer uang pelicin melalui Ratiman, kenek yang bekerja di rumah Syafruddin.
Arief mengatakan kucuran uang dari rekening Heri yang terendus sebesar Rp 19,7 miliar di rekening Ratiman dan Rp 11 miliar di rekening Syafruddin. "Transfer uang itu melalui Internet dan SMS banking," ujarnya.
Selain menggunakan nama orang lain, Harley-Davidson itu disamarkan dengan mengganti warna. Dari temuan penyidik, diketahui Harley itu sempat tiga kali ganti nama dan pemilik. "Setelah ditelusuri, diketahui sumbernya satu," kata Arief.
Penangkapan Heri dan Langen merupakan pengembangan kasus dugaan pencucian uang yang menyeret tersangka Heru Sulastyono, Kepala Subdirektorat Ekspor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Yusran Arief, pengusaha ekspedisi PT Tanjung Jati Utama.
Kepala Subdirektorat Pencucian Uang Badan Reserse Kriminal Komisaris Besar Agung Setya mengatakan, setelah menemukan pola kejahatan Heru dan Yusran, polisi mengintai kelompok lain. "Kami kembangkan ke spot pabean lain," ucapnya.
Namun pengacara Heru, Sugeng Teguh Santoso, menyebutkan lain. Dia mengatakan terungkapnya "permainan gelap" Langen berawal dari kicauan kliennya. Menurut dia, polisi memanfaatkan Heru agar membuka praktek kongkalikong petugas pabean dan importir. "Heru tahu betul semua permainan itu," kata Sugeng.
Seorang pejabat Kementerian Keuangan menyebutkan Heru membongkar permainan gelap di Entikong karena merasa "dikerjai" anak buahnya yang berasal dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Perkubuan antara STAN dan non-STAN belakangan memang meruncing. "Dia ingin membalas," katanya. Heru, yang merupakan alumnus Universitas Diponegoro bersama Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono, merupakan figur terdepan kubu non-STAN.
Sugeng tak membantah soal ini. Ia menilai kliennya salah menerapkan strategi menghadapi polisi. "Heru tak sadar ocehannya menghancurkan institusi Bea-Cukai."
Polisi memilih tutup mata soal persaingan dua kubu itu. Menurut Arief, penyidik berfokus mengembangkan kasus Heru dan Langen agar bisa mengungkap modus kongkalikong pengusaha dan petugas pabean yang selama ini sulit disentuh. "Kami mengusut dari hilir karena sulit kalau langsung ke hulu kejahatannya," ucapnya.
Dari perkara ini, menurut Agung Setya, ditemukan dua modus kepabeanan ilegal. Modus kejahatan dalam perkara Langen dilakukan dengan menyelundupkan barang memanfaatkan perjanjian lintas batas. Di Entikong, setiap warga yang mengantongi kartu identitas lintas batas (KILB) berhak membawa barang dari Malaysia maksimal 600 ringgit atau Rp 2,28 juta per bulan tanpa dipungut biaya.
Tapi, di lapangan, barang yang diangkut truk dan jelas-jelas dalam dokumen menunjukkan volume melebihi 600 ringgit tanpa dikenai pajak bea masuk dan tarif lain. Petugas nakal menerapkan jalan pintas, yaitu memungut Rp 20 juta per kontainer dan Rp 500-700 ribu untuk kendaraan lebih kecil.
Operasi trio Heri, Langen, dan Syafruddin berlangsung sejak sepuluh tahun lalu. Arief mengatakan Heri mengapalkan barang impor dari Cina berlabuh di Kuching, Malaysia. Barang dari kontainer dipindah ke truk menuju Tebedu. Di Tebedu, perusahaan ekspedisi mitra Heri sudah menunggu.
Selesai dipindah ke truk, barang dibawa ke Pontianak. Di perbatasan, barang lolos pemeriksaan karena dianggap bawaan warga yang mengantongi KILB. Setiba di Pontianak, barang dipindahkan ke kontainer untuk diangkut kapal mengarungi Laut Jawa menuju Jakarta. "Di Jakarta tak diperiksa karena status pengirimannya domestik," kata Arief.
Seorang importir yang enggan disebutkan namanya mengatakan perusahaan yang dibekingi petugas pabean disebut famili. Perusahaan famili mayoritas bergerak di bidang ekspedisi, yaitu Ekspedisi Muatan Kapal Laut dan Ekspedisi Muatan Kapal Udara.
Perusahaan ekspedisi bukan pemilik barang yang diimpornya. Barang itu biasanya dimiliki pengusaha toko besar atau pemasok kelas menengah di kawasan Glodok, Tanah Abang, dan pusat-pusat grosir lain. Pemilik barang membayar jasa kepabeanan kepada ekspedisi seharga Rp 40-70 juta per kontainer. Menurut sumber tadi, perjanjian bisnis kedua pihak sengaja tidak didokumentasikan. "Semua berdasarkan kepercayaan saja," ujarnya.
Perusahaan famili yang baru berdiri selama tiga bulan wajib diperiksa petugas. Di sinilah peran petugas pabean melindungi perusahaan familinya. "Rata-rata hanya diperiksa dokumen," kata sumber tadi. Kemudahan itu dibeli pengusaha ekspedisi dengan mentransfer uang haram kepada petugas pabean.
Agung Setya menyebutkan pola kerja sama Langen dan Heri mirip pola duet Heru dan Yusran. Dia menyebutkan saat ini tengah menelisik 18 perusahaan yang diduga sebagai "famili" Heru. Temuan awal dari kerja sama itu, Heru mengutip sembilan persen dari harga yang dipungut importir kepada pemilik barang. "Bayangkan ada 3.000 kontainer yang masuk setiap bulan," ucapnya.
Agung Kuswandono mengaku tak mengetahui praktek lancung Langen dan Heru yang menumpuk uang. "Kami enggak punya kewenangan membongkar rekening anak buah," katanya.
Akbar Tri Kurniawan, Amandra Mustika Megarani (Jakarta), Aseanty Pahlevi (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo