Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait meminta tambahan anggaran Rp 48,4 triliun untuk program 3 juta rumah bersubsidi 2025.
Untuk 2 juta rumah di perdesaan saja butuh uang Rp 21,6 triliun.
Direktur Utama BTN Nixon Napitupulu memperkirakan program 3 juta rumah butuh dana setara program makan siang gratis.
DALAM rapat bersama Kementerian Keuangan pada Jumat, 15 November 2024, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait meminta tambahan anggaran untuk merealisasi program 3 juta rumah. Program tersebut merupakan salah satu janji Presiden Prabowo Subianto saat kampanye untuk menyediakan hunian layak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mewujudkan target pembangunan 3 juta rumah bersubsidi pada 2025, Maruarar meminta tambahan anggaran sebesar Rp 48,4 triliun. Pasalnya, jumlah anggaran yang tersedia hanya Rp 5,1 triliun. Sedangkan berdasarkan usulan Satuan Tugas Perumahan, kebutuhan dana pembangunan rumah setidaknya Rp 53,6 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami mengharapkan dukungan dan masukan dari Kementerian Keuangan terkait dengan usulan program dan kebutuhan anggaran Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP)," ujar Maruarar di kantor Kementerian Keuangan.
Menjawab permintaan Maruarar itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyatakan pihaknya siap memberikan dukungan kepada program 3 juta rumah. Menurut dia, program itu diperlukan karena sektor properti dapat membuka keran investasi sekaligus mendorong berjalannya sektor industri dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas. Namun Kementerian Keuangan akan berkoordinasi lebih lanjut ihwal kebutuhan anggaran yang diperlukan.
Anggota Satuan Tugas Perumahan, Bonny Z. Minang, membeberkan pemerintah akan menyediakan 2 juta rumah di perdesaan dan 1 juta apartemen di perkotaan per tahun. Untuk program 2 juta rumah di perdesaan, dibutuhkan dana sebanyak Rp 21,6 triliun. Pemerintah akan membangun 500 ribu rumah baru dengan kisaran harga Rp 100 juta per unit serta merenovasi 1,5 juta rumah.
Untuk wilayah perkotaan, Kementerian Perumahan akan menyediakan 271.631 unit hunian pada 2025 dengan total anggaran Rp 40,7 triliun. Rinciannya, akan dibangun 37.431 unit hunian melalui Direktorat Jenderal Perumahan dengan total alokasi anggaran Rp 5,078 triliun. Kemudian 234.200 unit hunian bakal dibangun lewat Direktorat Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan dengan total anggaran Rp 35,66 triliun.
Bonny juga menekankan bahwa dana pembangunan rumah tidak sepenuhnya berasal dari pemerintah. Perbankan akan berperan sebagai penyedia dana utama melalui skema kredit. "Pemerintah hanya membayar cicilannya yang bersumber dari APBN," kata dia kepada Tempo, Selasa, 19 November 2024.
Ihwal pendanaannya, Bonny menuturkan program ini menggunakan skema kredit pemilikan rumah (KPR) dengan bunga rendah atau khusus. Pemerintah akan memberikan jaminan atas pembayaran cicilan agar risiko bank diminimalkan. Dengan demikian, pemerintah menggunakan APBN untuk membayar cicilan rumah melalui skema KPR. Sedangkan perbankan berfungsi sebagai penyedia produk kredit.
Sebelumnya, Ketua Satuan Tugas Perumahan Hashim Djojohadikusumo mengatakan ada tiga sumber dana yang direncanakan, yaitu program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), dan Bank Tabungan Negara (BTN). Hashim juga menyebutkan pembangunan 2 juta rumah di perdesaan akan dipercayakan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), koperasi, serta badan usaha milik desa.
Direktur Utama BTN Nixon Napitupulu, yang juga beberapa kali hadir dalam perumusan program 3 juta rumah, memperkirakan program ini membutuhkan dana hingga Rp 360 triliun per tahun. Untuk itu, ia menilai program 3 juta rumah memerlukan perubahan skema subsidi dengan jangka waktu lebih panjang serta angsuran yang lebih terjangkau.
Nixon pun mengungkapkan bahwa program 3 juta rumah tidak semuanya berbentuk pembangunan rumah baru melalui skema KPR. Bagi rumah yang memerlukan bantuan fasilitas mandi cuci kakus atau MCK, model yang akan diberikan berupa bantuan untuk pemenuhan fasilitas tersebut.
Adapun Komisioner Badan Pengelola Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menyatakan hingga saat ini belum ada arahan khusus perihal program 3 juta rumah. Menurut dia, Kementerian PKP dan instansi terkait masih membahas skema-skema pembiayaannya. Namun ia memastikan Badan Pengelola Tapera akan mendukung program 3 juta rumah apabila diberi penugasan nantinya.
Direktur Utama SMF Ananta Wiyogo menuturkan hingga saat ini SMF belum menerima instruksi resmi dari pemerintah ihwal pendanaan khusus untuk program 3 juta rumah. "Namun SMF sebagai special mission vehicle Kementerian Keuangan akan selalu siap mendukung inisiatif pemerintah dalam mendorong penyediaan rumah yang terjangkau bagi masyarakat," tuturnya kepada Tempo, Selasa, 19 November 2024.
Soal pendanaan program 3 juta rumah ini, SMF masih menunggu arahan resmi dari pemerintah. Adapun SMF sebagai liquidity provider memiliki dua skema pendanaan, yaitu melalui sekuritisasi dan pembiayaan jangka menengah atau panjang kepada lembaga keuangan perumahan untuk menyalurkan KPR yang terjangkau.
Ananta memastikan kedua jenis pendanaan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai strategi pendanaan lembaga penyalur pembiayaan perumahan. Tujuannya untuk meningkatkan akses dan kapasitas dalam penyaluran pembiayaan perumahan. Sehingga backlog atau kekurangan perumahan di perkotaan, perdesaan, maupun backlog kepemilikan dan kelayakan hunian bisa diatasi.
Melansir data Badan Pusat Statistik, penurunan backlog perumahan selama 13 tahun sangat lambat. Pada 2010, backlog perumahan mencapai 13,5 juta unit. Sedangkan pada 2023, angkanya hanya turun tipis di level 12,7 juta unit atau hanya susut 6 persen atau sekitar 800 ribu unit. Bahkan backlog perumahan tahun lalu naik 1,7 juta dibanding pada 2022 yang mencapai 11 juta unit.
Ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, berpandangan bahwa program 3 juta rumah per tahun tidak realistis dalam hal anggaran. "Terlepas dari tujuannya yang mulia, yaitu mengatasi backlog bagi keluarga miskin, program ini menyimpan sejumlah kelemahan fundamental," ujarnya.
Achmad menilai pendanaan menjadi isu utama dalam program besar seperti ini. Pembangunan 3 juta unit rumah setiap tahun membutuhkan biaya yang sangat besar. Sebab, ada berbagai aspek, seperti pembangunan infrastruktur pendukung, penyediaan bahan material, dan pembiayaan subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Achmad memperkirakan kebutuhan dana untuk program 3 juta rumah bisa mencapai Rp 600 triliun per tahun. Ia menjabarkan, pembangunan rumah sederhana tipe 36 untuk masyarakat berpenghasilan rendah umumnya membutuhkan biaya Rp 150 juta hingga Rp 200 juta per unit. Dengan demikian, untuk membangun 3 juta rumah, dana yang dibutuhkan Rp 450 triliun hingga Rp 600 triliun.
Angka tersebut, tutur Achmad, sudah mencakup berbagai variabel, tapi bisa meningkat bergantung pada lokasi, kondisi geografis, dan kebutuhan infrastruktur tambahan. Sedangkan pembangunan di wilayah terpencil atau pesisir memerlukan biaya lebih tinggi karena harus melibatkan pembangunan infrastruktur baru, seperti jalan akses, jembatan, jaringan listrik, penyediaan air bersih, dan pengelolaan limbah.
Dengan asumsi 70 persen dari total rumah yang dibangun dialokasikan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, Achmad menekankan subsidi saja bisa mencapai Rp 63 triliun hingga Rp 105 triliun per tahun. Pembangunan berskala besar ini juga memerlukan koordinasi lintas kementerian, pengawasan ketat, dan manajemen proyek yang baik. Sehingga biaya operasionalnya pun bisa mencakup 5-10 persen dari total anggaran atau sebesar Rp 22,5 triliun hingga Rp 60 triliun per tahun.
Karena itu, Achmad berharap pemerintah merancang strategi yang matang untuk merealisasi program 3 juta rumah. Termasuk melibatkan pihak swasta, mengoptimalkan aset negara, dan mencari sumber pendanaan alternatif agar program ini dapat terlaksana tanpa mengorbankan sektor lainnya.
Pengamat properti dari Colliers, Aleviery Akbar, mengatakan tantangan dalam mewujudkan program 3 juta rumah adalah ketersediaan lahan dan peran serta pengembang swasta. Maka ia mendorong pemerintah memanfaatkan berbagai tanah atau lahan yang ada, seperti lahan hasil sitaan koruptor yang ada dalam penguasaan kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain itu, ia menyarankan penggunaan lahan dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, lahan milik pemerintah daerah, hingga tanah dari konglomerat yang berkomitmen untuk membangun rumah gratis.
Soal skema pembiayaan rumah yang diterapkan, Aleviery menyarankan pembiayaannya dengan model Tapera untuk TNI, Polri, ASN, serta pegawai swasta. Dia juga mengusulkan pembebasan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga mereka bisa menghemat 5 persen dari harga rumah. Alternatif lain adalah melanjutkan program penghapusan pajak pertambahan nilai untuk pembelian rumah.
Selain menghadirkan akses hunian layak bagi masyarakat, Aleviery menekankan pemerintah harus memastikan bahwa lahan yang akan digunakan untuk pembangunan rumah memiliki status hukum yang jelas, sah, dan bebas dari konflik atau sengketa. Sebab, lahan yang tidak sah atau bermasalah dapat mempersulit masyarakat untuk mendapatkan sertifikat kepemilikan atau akses ke layanan publik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hammam Izzudin berkontribusi dalam penulisan artikel ini