SALAH satu keputusan yang diambil dalam perundingan pekan lalu itu adalah tukar tempat. Maka, tahun depan perundingan akan berlangsung di Tokyo. Personalia delegasi juga berubah. Pihak Jepang tak lagi diwakili oleh MITI, tapi langsung oleh 12 investor yang tergabung dalam Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd. (NAA). Sedangkan Indonesia tetap diwakili pemerintah RI -- hanya belum jelas, departemen mana yang akan turun ke arena. Dalam satu hal, kedua pihak pasti sama: mengharap jatah aluminium sebanyak mungkin. Jepang, sebagai negara industri maju, tiap tahun rata-rata mengimpor 1,9 juta ton aluminium. Terbanyak datang dari Australia: 410 ribu ton. Setelah itu Brasil dan AS, masing-masing memasok 250 dan 200 ribu ton. Indonesia sebaliknya, adalah pengekspor pada peringkat keenam, dengan 140 ribu ton. Walaupun cuma yang keenam, Indonesia punya tempat khusus di hati para pembeli Jepang. Seperti diungkapkan oleh seorang eksekutif NAA, "Kalau mengimpor dari negara lain, kami harus berunding dengan beberapa perusahaan. Sedang di Indonesia, kami hanya berunding dengan satu pihak saja." Itu bisa terjadi karena Jepang pembeli sekaligus investor. Debut Jepang sebagai investor Inalum dimulai awal tahun 1976. Modal pertama yang disepakati berjumlah 250 milyar yen, dengan rincian: modal pinjaman 175 milyar, sisanya merupakan modal gabungan antara 12 investor dan pemerintah Indonesia. Pinjaman diperoleh dari Overseas Economic Cooperation Funds (OECF) dan NAA sendiri. Sedangkan dalam modal saham pihak Jepang menguasai bagian terbesar, sebanyak 90%. Hingga proses pembangunan usai, 1982, jumlah investasi total melonjak jadi 411 milyar yen. Tapi sebelum itu, 1978, sudah terjadi perubahan kepemilikan saham menjadi 25% Indonesia 75% Jepang. Sayang, baru dua tahun Inalum beroperasi, harga aluminium diterjang badai resesi. Ketika itu, 1985, aluminium terempas hingga 1.100 dolar per ton. Akibatnya, proyek Inalum, yang dibangun saat harga 2.000 dolar per ton, menderita pukulan yang tidak ringan. Kerugian menghantui dari tahun ke tahun -- selama periode 1983-1985 saja kabarnya mencapai 47 juta dolar. Tak dapat tidak, perlu suntikan modal baru. Menurut Soehoed, dana tambahan yang dibutuhkan tahun lalu diperhitungkan sekitar 200 juta dolar, antara lain untuk mencicil utang kepada Bank Eksim Jepang yang sudah jatuh tempo. Tapi lantaran investor Jepang hanya sanggup menyediakan setengahnya, maka disepakati 100 juta dolar akan ditanggung pihak Indonesia. Entah mengapa, setelah pinjaman disetujui OECF, pihak Jepang hanya mau menanggung 7% saja. Sisanya dilimpahkan sebagai tanggungan Indonesia. Konsekuensinya, pada Agustus 1987 terjadi perubahan komposisi pemegang saham: 41% (Indonesia), 59% (Jepang). Setelah saham bertambah, Indonesia menuntut bagian yang lebih banyak. Wajar, memang. Tapi justru itulah yang jadi awal sengketa. Dalam pandangan anggota DPR Tadjuddin Noer -- dari Komisi VI -- ribut seperti itu sebenarnya tak akan terjadi, "kalau master agreement yang dulu disusun itu cukup jelas." Misalnya saja, perjanjian itu menyebutkan jatah Indonesia sepertiga dari total produksi, atau maksimal 75 ribu ton. Mana yang dipegang, yang sepertiga atau yang 75 ribu? "Harus diakui, ini merupakan kelemahan negosiator dari pihak Indonesia," ujar wakil rakyat dari FKP itu kepada Liston P. Siregar dari TEMPOM. Tadjuddin berpendapat, seharusnya Jepang mau mengalah. Sebab, selain Indonesia telah menambah sahamnya, Jepang sudah beroleh banyak kemudahan di Asahan, seperti pajak dan fasilitas lainnya. Bandingkan dengan kerja sama di sektor minyak. Walaupun mitra asing membawa semua modal yang dibutuhkan, bagiannya hanya 20%. Dan yang lain adalah fasilitas. B.K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini