Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Jago menyiapkan aplikasi baru, mengusung sistem terbuka yang bisa diintegrasikan dengan ekosistem digital.
Akusisi bank kecil marak di tengah tren bank digital di banyak negara.
Industri menunggu regulasi khusus OJK agar bank digital bukan sekadar modifikasi fitur layanan.
TRANSAKSI jumbo di pengujung 2020 bukan gebrakan terakhir dari PT Bank Jago Tbk. Bank yang dulu bernama PT Bank Artos Tbk ini sedang bersiap meluncurkan aplikasi baru pada triwulan pertama tahun ini. Juga mengusung brand Jago, platform anyar tersebut digadang-gadang akan melampaui bayangan pengguna layanan digital perbankan selama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aplikasi baru Jago ini bakal menjadi penanda dimulainya babak baru ARTO—kode perseroan itu di Bursa Efek Indonesia—sebagai bank digital. Bank Jago akan menjalankan open application programming interface (API), platform pemrograman komputer yang memungkinkan adanya integrasi antarsistem, dalam hal ini antara sistem Bank Jago dan sistem milik entitas lain di ekosistem digital, seperti penyelenggara teknologi finansial (fintech) dan perdagangan elektronik (e-commerce).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Intinya, kami ingin menjadikan bank ini sebagai platform bersama,” Direktur Kepatuhan Bank Jago Tjit Siat Fun mengungkapkan kepada Tempo, Jumat, 22 Januari lalu. “Kuncinya pada fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi.”
Aplikasi itu juga akan menjadi medium bagi Bank Jago untuk mengubah konsep pelayanan nasabah secara fundamental, yakni dari multichannel menjadi omnichannel. Dalam konsep multichannel, bank menyediakan infrastruktur secara mandiri, dari kantor cabang, mesin anjungan tunai mandiri (ATM), hingga layanan Internet banking atau mobile banking. Singkat kata, model ini berfokus pada transaksi. Adapun omnichannel memungkinkan nasabah mengakses layanan lewat platform digital yang mengutamakan interaksi.
Bank Jago masih menutup rapat-rapat wajah aplikasi baru tersebut. Tapi seorang bankir di lingkaran bisnis bank tersebut memberikan gambaran. Selama ini, pengguna uang elektronik kudu memindahkan duit dari rekening bank asal jika ingin mengisi ulang dompet digitalnya. Kelak, lewat integrasi antarsistem, rekening nasabah Bank Jago juga bertindak langsung sebagai uang elektronik. Nasabah bisa mengakses langsung layanan Bank Jago di platform-platform di ekosistem digital yang sistemnya telah diintegrasikan.
Ilustrasi aplikasi Gojek dan Bank Jago. Tempo/Ratih Purnama
Sudah bisa ditebak, Gojek—super-aplikasi yang dikembangkan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa—akan menjadi ekosistem digital pertama untuk pengintegrasian sistem tersebut. Ini adalah kolaborasi lanjutan setelah PT Dompet Karya Anak Bangsa, penyelenggara GoPay yang juga anak usaha Gojek, menambah kepemilikan mereka terhadap Bank Jago pada 18 Desember 2020. Secara total, Gojek telah mengeluarkan dana Rp 2,25 triliun untuk menguasai 22,16 persen saham ARTO.
Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengatakan Bank Jago tidak akan mengambil alih GoPay, begitu pula sebaliknya. Kolaborasi strategis ini memberikan pilihan kepada masyarakat, terutama pengguna Gojek dan GoPay, untuk mendapatkan akses layanan finansial yang mudah dan nyaman.
Pelanggan dan mitra Gojek tidak diwajibkan memiliki rekening di Bank Jago untuk bisa mendapatkan layanan di platform Gojek. Keputusan membuka rekening Bank Jago sepenuhnya merupakan pilihan pelanggan dan mitra Gojek. Gojek dan Bank Jago, kata dia, berkolaborasi memanfaatkan sumber daya untuk mewujudkan layanan perbankan digital. “Gojek yang merupakan super-app memiliki infrastruktur teknologi yang andal, sedangkan Bank Jago memiliki layanan dan infrastruktur perbankan yang mapan,” tutur Nila.
•••
AKSI korporasi Gojek dan Bank Jago pada akhir tahun lalu mengangkat lagi topik bank digital di Indonesia. Kebetulan, pada saat yang sama, sejumlah negara di Asia sedang gandrung menumbuhkan bank yang seluruh bisnis layanannya beroperasi secara digital.
Otoritas keuangan beberapa negara bahkan membuka pintu selebar-lebarnya kepada pemain nonbank untuk membangun bank baru yang sepenuhnya dijalankan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Bagi mereka, pemanfaatan teknologi tersebut bisa membuat bank lebih efisien sehingga lebih lincah menjangkau masyarakat yang selama ini belum terjangkau oleh layanan keuangan, seperti pelaku usaha kecil-menengah.
Perkembangan terbaru datang dari Singapura. Pada awal Desember 2020, hampir berbarengan dengan kasak-kusuk Gojek-Bank Jago di Indonesia, Otoritas Moneter Singapura (MSA) untuk pertama kalinya memberikan lisensi bank digital. Izin perdana itu diberikan kepada empat entitas yang didominasi raksasa teknologi, yakni konsorsium Grab dan SingTel; Sea Group; Ant Group; serta konsorsium Greenland Financial Holdings, Linklogis Hong Kong, dan Beijing Co-operative Equity Investment Fund Management. Di Malaysia, setidaknya lima lisensi serupa dengan model bisnis berbeda juga siap diluncurkan.
Di Indonesia, program inklusi keuangan dan digitalisasi perbankan sebenarnya sudah dimulai sejak jauh hari. Namun yang ada baru digitalisasi layanan bank existing, bukan bank digital yang sepenuhnya beroperasi secara virtual, tanpa kantor cabang. Empat tahun lalu, PT Bank BTPN Tbk memelopori produk layanan digital ini dengan peluncuran Jenius, disusul PT Bank DBS Indonesia dengan Digibank.
Dengan pengembangan perbankan nasional yang mengarah ke konsolidasi alias mengurangi jumlah bank, seorang bankir mengatakan, memang kecil kemungkinan bakal hadir bank digital yang sepenuhnya berupa bank baru. Itu sebabnya, setahun belakangan, sejumlah investor memilih mengakuisisi bank-bank kecil. Banyak juga yang menyebutnya sebagai membeli izin bank sembari berharap bisa segera dijadikan bank digital.
Itu pula yang dilakoni Jerry Ng dan Patrick Walujo ketika memborong saham Bank Artos pada akhir 2019, masing-masing lewat bendera PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia dan Wealthtrack Technology Limited. Sejak awal, investasi ini bertujuan menjadikan Bank Artos sebagai bank digital yang seluruh layanannya (end-to-end) dijalankan lewat sistem teknologi informasi. Persoalannya, regulasi yang mengatur khusus bank digital semacam ini belum ada.
Hingga saat ini, regulasi yang ada berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum, yang dikenal sebagai POJK Digital Banking. Dari tajuknya, sudah jelas aturan tersebut hanya menjadi panduan bagi pelaku perbankan yang ingin menyediakan layanan digital. Syarat bagi bank untuk menyelenggarakan layanan digital itu antara lain minimum masuk kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) II atau bank dengan modal inti Rp 1-5 triliun.
Syarat itu pula yang mendorong investor baru Bank Artos—atau kini Bank Jago—untuk menggenjot modal inti ARTO yang hingga Maret 2020 baru mencapai Rp 642,87 miliar. Upaya Bank Artos untuk “naik kelas” ini membuahkan hasil setelah perseroan menerbitkan saham baru (rights issue) senilai Rp 1,3 triliun pada April 2020. Per akhir semester pertama tahun lalu, bank ini mencatatkan modal inti Rp 1,26 triliun.
Selain Bank Artos yang kini beralih nama menjadi Bank Jago, dua bank disebut-sebut sebagai cikal-bakal bank digital di Indonesia. Penyebabnya, mereka punya gejala yang sama: diakuisisi oleh pemodal besar berlatar belakang teknologi. Dua bank tersebut adalah PT Bank Yudha Bhakti Tbk—kini bersalin nama menjadi PT Bank Neo Commerce Tbk—dan PT Bank Kesejahteraan Ekonomi.
Pergantian nama Bank Yudha Bhakti menjadi Bank Neo Commerce pada September 2020 merupakan bentuk keinginan perseroan untuk menjadi bank digital setelah hadirnya PT Akulaku Silvrr Indonesia di daftar pemegang saham. Akulaku merupakan perusahaan fintech yang mendapat sokongan investasi Ant Group, kelompok teknologi keuangan asal Cina yang terafiliasi dengan raksasa e-commerce Alibaba.
Adapun di belakang Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), ada nama besar perusahaan teknologi asal Singapura, Sea Ltd. Induk perusahaan e-commerce Shopee ini secara tidak langsung menjadi pengendali di BKE lewat Turbo Cash, anak usahanya di Hong Kong. Berturut-turut pada Juni dan November 2020, Turbo Cash meningkatkan kepemilikannya di PT Koin Investama Nusantara dan PT Danadipa Artha Indonesia, dua pemegang saham BKE.
Pemain industri perbankan pun tak mau ketinggalan. PT Bank Central Asia Tbk, bank swasta terbesar di Indonesia, juga menyiapkan kendaraan baru untuk menyongsong era bank digital. “Kami sudah punya, Bank Digital BCA,” ucap Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, Jumat, 22 Januari lalu.
PT Bank Digital BCA adalah merek baru PT Bank Royal Indonesia, yang diakuisisi BCA pada April 2019. Sebelumnya, Jahja menjelaskan, Bank Royal sebagai anak usaha di bidang perbankan digital akan menggarap segmen usaha mikro, kecil, dan menengah. Agar Bank Royal “naik kelas” ke BUKU II, BCA menyuntikkan modal Rp 1 triliun. Angka ini di luar dana akuisisi senilai Rp 988 miliar.
Namun, hingga saat ini, Bank Digital BCA belum beroperasi. “Produk dan layanan kami akan diluncurkan dalam waktu dekat,” ujar Direktur Utama PT Bank Digital BCA Lanny Budiati kepada Tempo. Dia menilai digitalisasi perbankan kini sudah menjadi kebutuhan nasabah yang kian menuntut kemudahan, kecepatan, dan keamanan layanan.
•••
SEDERET bank telah antre. Gembar-gembor bank digital juga terus menyebar hingga sukses mengerek saham Bank Jago. Hingga Jumat, 22 Januari lalu, saham ARTO ditutup di harga Rp 6.400 per lembar, naik 13 kali lipat dari setahun lalu yang masih Rp 495 per lembar.
Namun, hingga kelak Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan regulasi khusus tentang bank digital, bank ini belum sepenuhnya dapat dianggap bank digital. Yang terjadi sekarang, seperti halnya dilakoni oleh Bank Jago, adalah mereka menyiapkan infrastruktur teknologi, meluncurkan produk digital terbaru, juga menggandeng ekosistem digital untuk mengintegrasikan layanan.
Dalam pidatonya di acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan, Jumat, 15 Januari lalu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso berulang kali menyebut percepatan transformasi digital sebagai salah satu tantangan yang dihadapi industri jasa keuangan. Karena itu, akselerasi transformasi digital untuk memberikan ruang daya saing yang lebih besar akan menjadi salah satu prioritas dalam arah kebijakan lembaganya. “Perizinan bagi lembaga jasa keuangan digital, seperti digital bank yang akan beroperasi di Indonesia, akan diakomodasi,” katanya.
Dia menyatakan langkah akomodasi itu akan mengacu pada ketentuan yang berlaku dengan tambahan beberapa syarat lain. “Serta mempertimbangkan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan dan kontribusinya terhadap perekonomian nasional,” ujar Wimboh.
Sebelumnya, OJK memang beberapa kali menyatakan akan mengatur khusus industri bank digital. Bersama asosiasi perbankan, regulator sekaligus pengawas industri jasa keuangan ini tengah menyiapkan cetak biru transformasi digital perbankan. Kebijakan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi itu akan menjabarkan peta jalan pengembangan perbankan Indonesia 2020-2025.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto mengatakan lembaganya sedang meminta pendapat eksternal atas rancangan peraturan OJK tentang penyelenggaraan bank digital yang ditargetkan rampung pada akhir 2021. Menurut dia, kerangka regulasi akan diubah, dari semula berbasis aturan menjadi berbasis prinsip. Hal ini dilakukan agar dapat mengakomodasi kebutuhan industri yang bergerak cepat, termasuk dalam hal perbankan digital.
OJK juga memberi batasan mendasar untuk membedakan antara bank digital dan bank yang mendigitalisasi proses layanannya. Bank digital, Anung menjelaskan, sejak awal dirancang memanfaatkan teknologi dan pengetahuan terbaru untuk menjalankan fungsi perbankan, tanpa dikaitkan dengan produk. “Bank digital lahir dengan pola pikir first principle and utility is the king,” tuturnya. Pola pikir itu, dia melanjutkan, melahirkan inovasi evolusioner pada struktur kelembagaan dan organisasi yang berbeda dengan perbankan konvensional. Kebutuhan kantor fisik, misalnya, akan sangat terbatas, bahkan tanpa kantor.
Sedangkan bank yang mendigitalisasi proses layanan pada dasarnya hanya memodifikasi fitur sebagai solusi teknis atas keterbatasan desain dasar perbankan konvensional. Ini yang dimaksud digitalisasi berdasarkan kerangka pikir produk.
Meski kelak akan mempercepat perizinan, Anung menegaskan, OJK merasa perlu memastikan dua model tersebut memenuhi aspek kehati-hatian, seperti dalam urusan tata kelola, manajemen risiko, dan permodalan. “Kami terus mengkaji potensi risiko yang belum diketahui akibat perkembangan teknologi informasi,” ucap Anung.
Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo menambahkan, OJK sedang menelaah rencana tersebut, termasuk pada aspek perlindungan konsumen. Saat ini, menurut dia, masih terdapat kesenjangan antara tingkat literasi keuangan, penggunaan teknologi informasi masyarakat, dan inklusivitas produk keuangan. Hasil survei menunjukkan tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru sekitar 38 persen.
Karena itu, menurut Anto, OJK tak ingin kasus-kasus yang merugikan konsumen digital banking terulang. “Sikap kami jelas, mendorong pemanfaatan teknologi keuangan secara terukur,” ujarnya.
RETNO SULISTYOWATI, VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo