Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Aduan Mengepung Imam Bonjol

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu memecat Arief Budiman dari jabatan Ketua Komisi Pemilihan Umum. Buntut dari sejumlah perselisihan yang terjadi sebelumnya.

23 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sidang Pembacaan Putusan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu, oleh DKPP di Jakarta, 13 Januari 2021. dkpp.go.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemecatan Ketua KPU bermula dari putusan DKPP yang memecat Komisioner KPU Evi Novida.

  • Sejumlah pakar menilai putusan DKPP tak punya landasan hukum kuat.

  • DKPP telah berkali-kali menjatuhkan sanksi kepada para Komisioner KPU.

SELUAS hampir satu kali lapangan badminton, kantor Arief Budiman di gedung Komisi Pemilihan Umum, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, sesak oleh deretan sofa cokelat dan meja panjang di salah sudutnya. Pada Kamis, 21 Januari lalu, Arief masih menempati ruangan yang dikhususkan untuk Ketua KPU tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak sepekan sebelumnya atau 13 Januari 2021, Arief diberhentikan dari jabatan ketua oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Menggelar rapat pleno pada 15 Januari lalu, para Komisioner KPU menunjuk Ilham Saputra menjadi pelaksana tugas Ketua KPU. “Kami belum memikirkan pindah ruangan karena masih berfokus menindaklanjuti putusan DKPP,” kata Ilham melalui sambungan telepon pada Jumat, 22 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DKPP menyatakan Arief melanggar kode etik penyelenggara pemilu dalam rapat pleno yang digelar pada Rabu, 6 Januari lalu. Lima dari tujuh anggota DKPP sepakat bahwa Arief melakukan pelanggaran. Sedangkan Muhammad Afifudin, perwakilan dari Badan Pengawas Pemilu di DKPP, memilih abstain. Adapun Pramono Ubaid Tanthowi—perwakilan KPU di DKPP—berbeda pendapat. Putusan itu baru dibacakan dan berlaku sepekan kemudian.

Kasus yang dihadapi Arief bermula dari aduan Jupri, mantan anggota KPU Kabupaten Mesuji dua periode. Jupri, yang gagal dalam seleksi anggota KPU Provinsi Lampung pada 2019, mengaku mengadukan Arief ke DKPP setelah membaca kiriman berita di sebuah grup WhatsApp yang berisi komisioner aktif ataupun bekas pejabat KPU se-Lampung. Isi berita itu menyebutkan bahwa Evi Novida Ginting, anggota KPU pusat yang diberhentikan Presiden Joko Widodo, aktif kembali. “Lalu ada anggota grup yang mengirim surat yang diteken Pak Arief. Surat itu menjadi dasar Bu Evi aktif lagi,” ujar Jupri.

Pada Maret 2020, DKPP memecat Evi sebagai anggota KPU karena dianggap tak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Barat. Mahkamah Konstitusi menerima gugatan calon legislator Partai Gerindra, Hendri Makaluasc, sehingga dia berhak dilantik. Namun KPU tak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. DKPP menjatuhkan hukuman berupa peringatan keras kepada semua Komisioner KPU. Hanya Evi yang dipecat. Presiden Joko Widodo lalu memberhentikan Evi sebagai komisioner melalui surat bertanggal 23 Maret 2020.

Evi menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan memenangi perkara itu. Jokowi akhirnya mencabut surat pemberhentian Evi dan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2020 yang membatalkan warkat sebelumnya. Melalui surat bernomor B-210/Kemensetneg/D-3/AN.01.00/08/2020, Kementerian Sekretariat Negara meminta Arief menyampaikan Keputusan Presiden Nomor 83/P kepada Evi. Arief kemudian menandatangani surat berisi petikan keputusan presiden dan meminta Evi segera aktif sebagai anggota KPU. Surat inilah yang dipersoalkan oleh Jupri.

Setelah membaca salinan surat Arief, Jupri menemukan foto Arief mendampingi Evi mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta. Dia akhirnya mengadukan Arief ke DKPP pada 9 September 2020. “Ada korelasi antara surat dari Pak Arief dan kehadirannya di PTUN,” ucap Jupri.

Arief bercerita, dalam sidang DKPP yang digelar 18 November 2020, DKPP mempertanyakan kedatangannya ke PTUN untuk menemani Evi. Kepada majelis, Arief membantah menemani dan mengantarkan Evi mendaftarkan gugatan ke pengadilan. Evi disebut sudah meregistrasi perkaranya melalui sistem online pada pukul 07.30, sedangkan Arief baru tiba di lokasi sekitar pukul 11.00. “Saya juga tak melakukan apa-apa atau bertemu dengan siapa pun di PTUN itu,” kata Arief.

Mengklarifikasi surat yang dikirimkan Arief kepada Evi, majelis juga memberondong Arief dengan sejumlah pertanyaan. Arief menyebutkan surat itu adalah surat pengantar biasa, bukan surat keputusan. Layang itu merupakan dokumen untuk menyampaikan petikan keputusan presiden.

Dalam persidangan, majelis berkukuh agar Arief melampirkan risalah rapat pleno yang memuat pembahasan dan persetujuan surat itu. Menurut Arief, lantaran dokumen itu merupakan surat pengantar—bukan surat keputusan lembaga—tak ada rapat pleno untuk menerbitkannya. Hanya, pejabat komisioner hingga sekretaris jenderal membubuhkan paraf sebagai tanda persetujuan terhadap isi surat. “Tak mungkin setiap surat yang klasifikasinya administrasi biasa harus diplenokan,” ujarnya.

Isi lain yang dipersoalkan dari surat Arief adalah permintaan agar Evi segera aktif menjalankan tugas sebagai Komisioner KPU. Arief menyatakan permintaan itu lantaran KPU sedang menghadapi tahapan pemilihan kepala daerah. Absennya Evi dianggap membuat beban kerja komisioner lain bertambah. Arief membantah anggapan bahwa surat yang ditekennya telah mengaktifkan status Evi sebagai komisioner.

Majelis DKPP punya pendapat berbeda. Arief dianggap membangkang dan tak menghormati putusan DKPP yang memecat Evi dengan hadir ke PTUN. Arief juga dianggap tak punya kewenangan meminta Evi segera aktif sebagai komisioner karena DKPP sudah memecatnya pada Maret 2020 dan Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2020 tak memuat hal pengangkatan kembali Evi setelah gugatannya dikabulkan hakim PTUN.

Ketua DKPP Muhammad mengatakan lembaganya tak punya pretensi apa pun dalam membuat putusan. Menurut dia, semua keterangan pengadu, teradu, dan saksi ahli sudah dinilai semua oleh majelis. “Kami konsisten pada fakta persidangan,” tutur Muhammad.

Arief Budiman ( kiri) dan pelaksana tugas Ketua Komisi Pemilihan Umum, Ilham Saputra (kedua kiri), bersama lima Komisioner KPU setelah memberikan keterangan pers di gedung KPU, Jakarta, 15 Januari 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Pada 15 Januari lalu atau dua hari seusai pemecatan Arief sebagai Ketua KPU, sebelas pakar lintas disiplin mengeksaminasi putusan DKPP melalui telekonferensi yang diadakan KPU. Berlangsung selama lebih dari tiga jam, peserta yang hadir antara lain Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono; pakar hukum dari Universitas Indonesia, Harsanto Nursady; serta mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini. Hadir juga guru besar Fakultas Psikologi UI, Hamdi Muluk, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Bayu Dwi Anggono bercerita, setiap pakar memberi pendapat dari berbagai perspektif. Bayu, misalnya, mengulas kedudukan hukum Jupri sebagai pengadu. Menurut Bayu, pengadu tak menjelaskan sama sekali kerugian yang dialami karena keputusan Arief sebagai Ketua KPU. Adapun Harsanto mengungkapkan, dalam konteks hukum administrasi negara, surat yang dibuat Arief untuk Evi hanya bersifat deklaratif. Sifat surat itu tak menimbulkan hak dan kewajiban tertentu. “Bu Evi bisa kembali aktif sebagai komisioner karena Presiden mencabut surat pemberhentiannya, bukan karena surat yang dibuat Pak Arief,” kata Harsanto.

Seperti halnya Harsanto, Titi Anggraini menyebutkan Presiden merupakan satu-satunya pihak yang punya otoritas untuk mengesahkan status keanggotaan KPU. Menurut dia, DKPP seharusnya tak sekadar mengandalkan keterangan ahli yang diajukan Jupri sebagai pengadu. Dalam forum eksaminasi itu, Titi menyebutkan DKPP seharusnya lebih berhati-hati dengan mendengarkan keterangan pakar secara utuh.

Bukan sekali ini saja DKPP menghukum Komisioner KPU. Pada 16 Januari 2020, enam Komisioner KPU dijatuhi sanksi peringatan karena dinilai salah menafsirkan putusan. Kala itu, DKPP memerintahkan pemberhentian sementara Anike Wadi, anggota KPU Kabupaten Tolikara, Papua, karena dianggap terafiliasi dengan partai politik. Anike baru bisa aktif di KPU jika partai sudah menerbitkan daftar pengurus yang telah direvisi.

Alih-alih menunggu surat keputusan pengurus versi revisi, KPU mengaktifkan lagi keanggotaan Anike dengan berbekal surat pemberhentian Anike dari jabatan di partai politik. DKPP menilai surat pemberhentian dari pengurus berbeda dengan daftar pengurus resmi yang telah direvisi.

Pada 12 Juni 2020, Arief bersama tiga Komisioner KPU pusat juga dijatuhi sanksi peringatan oleh DKPP. Mereka dianggap tak berhati-hati dalam menyikapi penggantian Novianus Y.L. Patanduk, calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Novianus batal dilantik sebagai anggota DPRD Sulawesi Selatan tanpa alasan yang jelas meski perolehan suaranya mencukupi.

Arief mengakui, sepanjang tahun lalu, dia menghadapi ratusan laporan dan gugatan soal pemilu yang masuk ke sejumlah lembaga penegak hukum dan etik, yaitu DKPP, Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan. Dia menyebutkan dalam sepekan bisa dua-tiga kali bersidang untuk menjawab aduan yang dialamatkan kepada lembaganya. “Bisa dibilang kami kelelahan jika harus meladeni seluruh aduan itu,” ujarnya.

RAYMUNDUS RIKANG (JAKARTA), HENDRY SIHALOHO (LAMPUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus