Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nasib Bank Modal Cekak

Sekitar 19 bank harus memenuhi kewajiban pemenuhan modal inti bank umum minimal Rp 3 triliun pada akhir tahun ini. OJK memberikan tiga opsi bagi bank yang tidak dapat memenuhinya.

10 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana digital lounge Bank Neo Commerce di Ashta, Jakarta, 26 Oktober 2021. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan, Dian Ediana Rae, menuturkan ketentuan pemenuhan modal inti bank umum minimal Rp 3 triliun dimaksudkan sebagai bagian dari penguatan struktur, ketahanan, dan daya saing industri perbankan. Aturan tersebut diharapkan dapat mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional serta mendorong industri mencapai level ekonomi yang lebih tinggi dan efisien.

“Penguatan modal dibutuhkan agar bank-bank lebih berdaya saing, adaptif, dan bisa beroperasi dengan skala yang kontributif bagi perekonomian,” ujarnya kepada Tempo, kemarin, 9 November.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



OJK memberlakukan ketentuan pemenuhan modal inti bank umum minimal Rp 3 triliun pada akhir tahun ini. Adapun berdasarkan catatan Tempo, saat ini terdapat 19 bank yang harus memenuhi kewajiban tersebut sebelum batas waktu yang ditentukan dua bulan lagi. Hal itu berdasarkan Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum, di mana modal inti bank umum dinaikkan dari saat ini minimal Rp 100 miliar.

Kantor Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan


Tiga Opsi untuk Bank

Dian menegaskan, terdapat sejumlah opsi yang dapat dipilih bank. Di antaranya, melakukan top-up modal dari investor hingga melakukan aksi konsolidasi baik merger maupun akuisisi dengan bank lainnya. Adapun jika hingga akhir tahun tidak dapat memenuhi ketentuan modal yang disyaratkan, terdapat tiga opsi yang dapat ditempuh menurut otoritas. “Opsi yang tersedia antara lain merger paksa, penurunan grade dari bank umum menjadi bank perkreditan rakyat (BPR), hingga likuidasi sukarela,” katanya.

Adapun saat ini para pengawas terus berkoordinasi dengan pihak pengurus ataupun pemilik bank yang belum dapat memenuhi ketentuan tersebut, untuk memastikan tidak ada bank yang tertinggal dan segera dapat mewujudkannya. “Kami terus melakukan komunikasi intensif dengan pemilik bank untuk memastikan Rp 3 triliun itu bisa seluruhnya dipenuhi pada akhir tahun ini,” ujar Dian.

Adapun kebijakan otoritas ini mendapat dukungan dari berbagai pihak. Pengamat perbankan yang juga mantan Assistant Vice President BNI, Paul Sutaryono, berujar ketentuan mengenai modal inti minimum sangat krusial untuk menentukan luas dan jangkauan kegiatan usaha sebuah bank. “Semakin perkasa modal intinya, semakin luas kegiatan usahanya. Sebaliknya semakin kecil modalnya, maka akan semakin terbatas jangkauannya,” katanya.

Sebelumnya, beberapa bank sudah merealisasi upaya merger dan akuisisi untuk memenuhi ketentuan tersebut. Contohnya Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) dengan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBC), Bank Danamon dengan Bank Nusantara Parahyangan, serta Bank Agris dengan Bank Mitraniaga. Ada pula Bangkok Bank yang menguasai Bank Permata, dan BCA yang memeluk Bank Royal.

“Konsolidasi perbankan justru menarik bagi investor asing untuk merangkul bank lokal. Dengan melakukan akuisisi bank lain, bank utama akan menambah infrastruktur perbankan berupa kantor cabang, yang bermanfaat untuk mengembangkan bisnis,” ujar Paul.

Kebijakan ini pun diyakini dapat membuat industri perbankan semakin kuat dalam menyerap potensi risiko kredit, pasar, operasional, dan likuiditas. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara, berujar tujuan dari kenaikan modal ini pun dapat meningkatkan efisiensi jumlah perbankan dan menguatkan industri perbankan dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi, terutama saat resesi. “Jumlah bank saat ini sudah terlalu banyak, ada 107 data terakhir, sedangkan kapasitas penyaluran kreditnya masih kecil.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika merujuk ke data Bank Dunia pada 2020, rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia ada pada level rendah, yaitu 38,7 persen. Angka itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia yang sebesar 134 persen dan Thailand 160,4 persen. “Bank kecil memang perlu didesak merger. Kalau masih ada ego antar-pemilik saham, mungkin OJK bisa memfasilitasi antar-pemilik,” kata Bhima.

NOVA YUSTIKA PUTRI (MAGANG) | GHOIDA RAHMAH

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus