Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Aspebindo Minta 20 PNBP Royalti Minerba untuk Pengembangan Industri Hilir

Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia minta 20 persen PNBP royalti minerba dialokasikan untuk pengembangan industri hilir.

25 Maret 2025 | 09.07 WIB

Ilustrasi pengolahan bijih nikel di smelter feronikel. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Perbesar
Ilustrasi pengolahan bijih nikel di smelter feronikel. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mengusulkan agar 20 persen dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) royalti minerba dialokasikan untuk pengembangan industri hilir. Menurut Wakil Ketua Umum Aspebindo, Fathul Nugroho, langkah ini dapat memperkuat hilirisasi dan mencegah Indonesia hanya menjadi pengekspor bahan mentah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Aspebindo mengusulkan 20 persen dari PNBP royalti minerba, yang diproyeksikan mencapai Rp 28 triliun pada tahun 2024, dialokasikan untuk pengembangan industri hilir. Dana tersebut diharapkan dapat mendukung pembangunan infrastruktur seperti smelter, kawasan industri hijau, jaringan energi terbarukan, serta riset teknologi pemurnian mineral dan pengurangan emisi di sektor tambang,” ujar Fathul dalam keterangan tertulis, Senin, 24 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Selain itu, alokasi ini juga penting meningkatkan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam pengolahan mineral dan manajemen rantai pasok. “Kami siap bersinergi dengan pemerintah untuk memastikan kenaikan royalti ini menjadi investasi jangka panjang bagi kemandirian bangsa,” ujarnya.

Sebagai informasi, tarif royalti batubara di Indonesia saat ini berkisar antara 5–13,5 persen untuk pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 13,5–28 persen untuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pemerintah berencana menaikkan tarif tersebut sekitar 10 persen. Adapun kenaikan tarif royalti mineral bervariasi sesuai jenis komoditas, seperti bijih tembaga yang naik dari 5 persen menjadi hingga 17 persen, nickel matte dari 2 persen menjadi 6,5 persen, dan feronikel dari 2 persen menjadi 7 persen.

Meski lebih tinggi dari Australia yang menerapkan tarif royalti batubara 7–15 persen dan China 2–10 persen, Fathul menekankan bahwa metode penambangan di kedua negara tersebut mayoritas menggunakan tipe underground mining dengan biaya lebih tinggi, yaitu 20 persen di Australia dan 60 persen di China.

Di sisi lain, Aspebindo menilai tarif royalti nikel Indonesia sepadan dengan negara-negara lain. Australia menerapkan tarif 5–7,5 persen untuk nikel olahan, Filipina sebesar 5 persen ditambah pajak ekspor, Chile dengan sistem hybrid 1 persen ad valorem ditambah pajak laba progresif 8–26 persen, dan Amerika Serikat sebesar 3–5 persen tergantung kebijakan negara bagian.

“Indonesia berada pada posisi strategis dalam suplai dan penentuan harga komoditas global, baik sebagai eksportir terbesar steam coal maupun pemilik cadangan nikel terbesar di dunia. Hal ini sejalan dengan ambisi hilirisasi pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah sebelum ekspor,” tutur Fathul.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus