BANK Duta boleh guncang. Tapi nasib 27,5 juta lembar sahamnya yang sekarang beredar di masyarakat tentulah harus jelas. Sejauh ini meluncurnya harga saham itu baru menukik sampai harga Rp 5.900. Boleh dikatakan, saham Bank Duta pekan ini bermain di sekitar Rp 6.050 per saham. Sedangkan secara umum, harga semua saham di Bursa Efek Jakarta memang melemah. Indeks Harga Saham Gabungan Senin pekan ini kembali menyelam jauh menjadi 521,114 -- titik terendah sejak Maret lalu. Kepercayaan orang pada saham bank yang tengah dilanda krisis ini tampaknya belum memudar. Ini pun sejalan dengan kepercayaan para nasabahnya. Paling tidak, belum terjadi serbuan orang ke Bank Duta, untuk menarik deposito atau tabungannya. Dan kenyataan ini pun mirip teka-teki yang tak terlalu gampang dipecahkan. Mirip teka-teki pula, apa yang terjadi Jumat pekan lalu. Lantai bursa dikagetkan dengan pembelian saham Bank Duta sebanyak 150.000 lembar, yang dibayar Rp 900 juta lebih. "Kami beli dengan kurs Rp 6.050," kata Direktur Keuangan Perum Astek, A. Djunaidi Ak., sang pembeli. Buat Astek, Rp 900 juta itu belum tergolong besar. Saat ini, investasi Astek di Bursa Jakarta mencapai Rp 240 milyar, dari seluruh dana investasinya yang mencapai Rp 800 milyar. Meskipun harga yang dibayar Djunaidi cukup rendah dibanding harga perdana Bank Duta yang Rp 8.000, langkah Astek ini dianggap banyak pihak sangat berani. Sebab, secara teoretis, jika kerugian Bank Duta yang disebut-sebut mencapai US$ 310 juta itu benar, berarti "modal sendiri" pemegang saham Bank Duta, ditambah seluruh nilai aktiva tetapnya, sudah terpotong habis. "Bahkan terhitung negatif," kata seorang bankir terkemuka. Namun, Djunaidi punya pertimbangan lain. Membeli saham di bursa Jakarta, menurut dia, tak bisa semata-mata berdasarkan analisa fundamental tentang kondisi perusahaan. Faktor manajemen, sentimen pasar, dan hubungan perusahaan itu dengan pemerintah juga diutamakannya. Ditambah satu faktor lagi yakni psikologi pasar. "Saya sudah kenal betul dengan dirut Bank Duta yang baru," tuturnya. Dan ia mengakui, pembelian itu adalah keputusannya sendiri, tanpa "telepon" atau perintah dari pihak mana pun. Langkah Astek jelas mengundang decak heran. Tak sedikit orang berpendapat bahwa perdagangan saham Bank Duta seharusnya segera dihentikan Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam), begitu krisis terjadi. Tapi ketua Bapepam berpendapat, perdagangan hanya bisa dihentikan jika perusahaan yang bersangkutan memintanya, atau harga sahamnya jatuh tak terkendali. "Nyatanya, harganya relatif stabil, pemegang saham mayoritas tetap bertanggung jawab, dan banknya jalan, kok," kata Marzuki Usman. Marzuki ada benarnya. Tapi apa masalahnya tidak jadi lain kalau jelas-jelas sudah dikatakan -- oleh bekas Komisaris Utama Bustanil Arifin -- bahwa kerugian akibat permainan valuta asing yang hampir mengambrukkan Bank Duta itu sudah terjadi sejak tahun lalu. Artinya, para penjamin emisi Bank Duta yang bertanggung jawab atas penjualan saham itu mestinya mengetahui adanya ketidakberesan yang bisa berakibat fatal. Nyatanya, "Kami sama sekali tidak melihat tanda-tanda itu," kata seorang direktur penjamin emisi yang ikut dalam proses go public Bank Duta. Maka, ia pun tampak berang. Menurut dia, perdagangan valuta asing itu tidak bisa terus dilakukan di luar pembukuan. "Perdagangan itu kan menimbulkan kewajiban pada bank, jadi harus ada catatannya," tuturnya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa ada data yang disembunyikan pada prospektus Bank Duta. Tentu saja ini bertentangan dengan prinsip full disclosure. Tentang ini, menurut Marzuki, Bapepam tidak bisa dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab. "Kalau ada investor yang merasa dirugikan, boleh saja menyewa pengacara dan menuntut perusahaan yang bersangkutan," katanya tegas. Marzuki tidak menyebut-nyebut penjamin emisi atau akuntan, yang ikut bertanggung jawab dalam proses go public. Dan sampai kini, belum ada penjelasan resmi dari emiten kepada pemilik saham -- tentang kerugian, misalnya. Juga suntikan dana yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas. Jika suntikan itu berupa pinjaman dari pemegang saham mayoritas yang biasanya tanpa bunga, ia tak akan berdampak pada komposisi permodalan. "Paling banter tidak ada dividen yang bisa dibagikan," kata seorang direktur perusahaan sekuritas. Jalan cerita akan menjadi lain jika suntikan dana itu dijadikan modal. Penyuntik dana baru tentu dianggap memiliki seratus persen saham Bank Duta. "Sebab, nilai saham lama sudah tidak ada lagi," kata bankir tadi. Semua tanda tanya di atas tampaknya belum akan terjawab dalam pekan-pekan ini. Paling tidak, sampai pemeriksaan Bank Indonesia dan Kejaksaan Agung tuntas. Atau setelah rapat umum pemegang saham awal Oktober depan. Yang agak mengkhawatirkan, apakah para pemegang saham Bank Duta cukup bersabar sehingga tidak terjadi rush penjualan besar-besaran. Nah, kalau itu terjadi, harga akan turun tajam. Untuk menanggulangi itu, seorang direktur penjamin emisi punya ide. "Suruh saja para penjamin emisi yang terlibat membeli kembali semua saham yang dilepas," usulnya ringan. Atau, "Serahkan tugas itu pada pemegang saham mayoritas," tutur yang lain. Bagaimana, Pak Marzuki? Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini