THE bank is not the money, but the people. Ini salah satu pedoman kerja Abdulgani, bekas direktur utama Bank Duta, yang sejak dua pekan lalu terus menghindar dari wartawan. Sampai Ahad baru lalu, bankir yang terkenal serba necis dengan rambut memutih di sisi kedua pelipisnya itu tetap mengelak. Istrinya Irama Sofia, menyambut TEMPO di ujung telepon, dengan suara memelas. "Tampaknya Bapak belum bersedia diwawancarai, mohon maaflah. Kayaknya sulit.... Kalau nggak yang nggak. Barangkali dia tahu apa yang terbaik dia lakukan." Sampai meledaknya krisis Bank Duta, 4 September silam, bagi Abdulgani, hidup ini tampak cerah, setidaknya itulah yang tercermin dari perilakunya sehari-hari, di kantor pusat Bank Duta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, di lingkungan para bankir di Perbanas, di kalangan ISEI, ataupun di depan para mahasiswa Stekpi (Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Indonesia) di kampusnya yang luas dan nyaman di Kalibata, Jakarta Selatan. Yang pasti, dalam banyak resepsi, Gani, demikian panggilan akrabnya, akan tampil dengan senyum simpatik, busana rapi berselera tinggi, dan siap berdialog dengan luwes. "Ia pandai bertanam tebu di bibir," ujar seorang bankir yang telah lama mengenalnya. "Ia berbakat menjadi PR (public relations)," tutur rekannya yang lain. Apa pun alasan mereka, Gani adalah pribadi yang menyenangkan, setidaknya hampir bagi setiap orang yang mengenalnya, terutama bagi sejumlah sahabat karibnya. Agaknya, mereka juga yang silih berganti berkunjung ke rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta, sepanjang pekan lalu manakala Gani sedang menjalani hari-hari kelabu, selepas ia diberhentikan dari jabatan sebagai direktur utama Bank Duta. Sesudah krisis Bank Duta, beberapa rekan bankir di antaranya Winarto Soemarto -- kini ditunjuk menjabat sebagai direktur utama Bank Duta -- tetap menyatakan bahwa Abdulgani adalah bankir yang excellent, yang jempolan. Berbeda dengan Dicky Iskandar Di Nata -- bekas wakil direktur utama Bank Duta yang kini ditahan oleh Kejaksaan Agung -- Gani dalam meniti karier tidaklah mulai dari jenjang paling bawah. Setelah lulus dari FE-UI (1969) -- dengan skripsi mengenai policy moneter pemerintah dan implementasinya -- ia diterima bekerja di Bank Expor Impor (Bank Exim). Tapi sebelum itu Gani sempat memperkaya ilmu perbankan di The Stonier Graduate School of Banking, New Jersey, dan menjalani job training di People Bank of Washington, Seattle, keduanya di AS. Ternyata, Bank Exim harus segera ditinggalkan oleh Gani karena ia dipinjam oleh Bank Dharma Ekonomi (akhir 1971) untuk meneliti kondisi bank itu yang agak payah. Selepas tugas ini, rupanya diperlukan seorang pemimpin yang tepat, hingga Bank Dharma Ekonomi menawarkan lowongan itu pada Gani. Pemuda kelahiran Bukittinggi 14 Maret 1943 ini bingung, apakah kembali saja ke Bank Expor Impor atau dengan berani menjalani suatu masa depan yang belum pasti di Bank Duta Ekonomi. Pilihan jatuh pada yang terakhir, sesuai dengan saran Omar Abdalla -- terakhir bekas direktur utama Bank Bumi Daya -- satu dari tiga tokoh yang menurut Gani amat berpengaruh dalam hidupnya (dua yang lain adalah bekas Menko Ekuin Ali Wardhana dan bekas direktur utama Bank Exim, J. Ismail). Kisah tentang bagaimana Gani menumbuhkan Bank Duta Ekonomi, yang kini lebih dikenal sebagai Bank Duta, agaknya umum diketahui. Dengan hanya 14 tenaga yang belum sangat terampil, ia membesarkan bank itu hingga berbiak menjadi 52 cabang, total aktiva Rp 2,6 trilyun (per Juni 1990), dan karyawan 2.450 orang. Ini adalah sebuah kisah sukses yang, bila tidak diguncang "gempa valas", boleh jadi akan terus berlanjut sebagai kisah sukses. Dan di balik sukses Bank Duta itu, Gani ternyata banyak dibantu oleh Nazif, bekas direktur eksekutif yang sebelumnya telah "menimba ilmu" di Citibank, dan kini adalah seorang staf ahli di kantor Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura. Di mana letak kekeliruan Gani? Mungkin tidak di mana-mana. Sudah dikatakannya, "The bank is not the money, but the people." Yang patut dipertanyakan ialah, kesalahan itu apakah ada pada para dealer Bank Duta, para direksi, para komisaris, atau yang lain-lain. Sampai Senin malam pekan ini, sepulang dari pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Abdulgani tetap tidak terjangkau. Pagi ia berangkat dari rumah dengan BMW merah yang langsung meluncur dari garasi, sore ia pulang dengan Baby Benz abu-abu metalik, yang juga segera, hup, menghilang di balik pintu garasi. Adapun posisi direktur utama Bank Duta memang telah lama diincar banyak orang. Ada calon-calon tak bermutu yang dikirim dari atas, dan ada calon potensial seperti Dicky Iskandar Di Nata. Pada tahun 1988, Dicky sudah dijanjikan untuk menggantikan Gani, sedangkan yang terakhir ini tak pasti akan ditempatkan di mana. Karena suatu hal, calon "putra mahkota" itu kandas di jalan menuju "singgasana". Sialnya pula, bersama kejatuhannya, Dicky menyeret yang lain-lain, tak terkecuali Gani. Mungkin untuk waktu yang lama, Gani tidak akan bisa lagi melewatkan pagi yang tenang, seraya memandang koleksi lukisannya satu per satu. Dan mungkin juga untuk sementara, ia tidak sepenuhnya bisa mengamat-amati benda antik kesayangannya, berupa porselen, barang emas dan perunggu. Ada teman dekatnya mengatakan, seluruh koleksi lukisan dan barang antik itu nilainya lebih dari satu milyar rupiah. Keterangan itu agaknya tak terlalu berlebihan mengingat dalam koleksi ini ada lukisan Affandi, Le Mayeur, dan juga Monet. "Koleksi saya barangkali yang terbesar di Indonesia," kata Gani, setahun silam. Tapi kini ia tidak mau bicara tentang apa pun, khususnya tentang posisi puncak di Bank Duta, yang hampir bisa dikatakan mirip benda koleksi juga. IS, laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini