PT Astra International Inc. tampak menggebu. Wakil Presiden Komisaris Prajogo Pangestu dan Toyota Motor Corp. seakan memacu manajemen Astra agar tidak merasa mapan dan terlena. Semangat mereka malah seperti digelorakan demi terus memompa perusahaan raksasa ini. Langkah pertama adalah memperbesar permodalan. Pada akhir tahun lalu, para pemegang saham sepakat meningkatkan jumlah saham dari Rp 242 miliar menjadi Rp 242 triliun -- membengkak 10 kali lipat. Bayangkan. Dengan modal dasar Rp 300 miliar, aset Astra pada akhir September 1993 sudah mencapai Rp 5 triliun lebih. Jika modalnya diperbesar 10 kali lipat, asetnya tentu menggelembung menjadi Rp 50 triliun. Upaya peningkatan modal Astra tadi akan dilakukan secara bertahap. Pada Januari tahun ini, Astra menjual sekitar 48 juta saham bernilai Rp 670 miliar. Jika ditambah dengan laba modal yang sudah disetor plus laba ditahan, modalnya pada akhir Februari mendatang akan mencapai Rp 2 triliun. Di mata para bankir, ini berarti ASTRA mampu menarik pinjaman tiga kali lipat lebih besar atau sekitar Rp 6 triliun. Dalam posisi di atas angin ini, direksi Astra sudah bergerak cepat. Pekan lalu mereka mengumumkan hendak mencari pinjaman tak kurang dari Rp 1 triliun. Astra hendak menjual obligasi sebesar Rp 250 miliar di bursa Jakarta dan US$ 350 juta (Rp 740 miliar) di bursa internasional. Langkah Astra jelas mendahului rencana Pemerintah yang baru gembar-gembor menerjunkan BUMN-BUMN di pasar modal internasional. Untuk menjual obligasi US$ 350 juta, Astra memilih bursa yang paling bergengsi, yakni New York Stock Exchange, yang populer disebut Wall Street. Upaya ini sekaligus merupakan usaha mengglobalkan konglomerat yang dijuluki (oleh pakar) sebagai jago kandang ini. Mengapa Astra begitu bernafsu menambah modal serta utangnya? Direktur Keuangan Astra, Rini Mariani Sumarno Soewandi, terus terang mengatakan bahwa sasaran Astra adalah memperkuat keuangan perusahaan. Selain itu, Astra juga hendak melakukan sejumlah investasi. Diakuinya, tiga tahun terakhir ini, kondisi keuangan Astra dirasakan pincang. Soalnya, 72% pinjaman Astra bersifat jangka pendek. Dengan penjualan saham baru serta obligasi, komposisi utang jangka pendek Astra akan turun menjadi sekitar 45%. Direksi Astra membantah kalau upaya restrukturisasi keuangan ini disebut sebagai reaksi terhadap kritik bahwa Astra adalah konglomerat kropos. "Orang bisa memberikan definisi sendiri- sendiri. Astra adalah perusahaan yang membangun industri yang membutuhkan teknologi yang umumnya belum ada di Indonesia," ujar Rini, lulusan Wellesley College, Massachusetts, AS. Untuk produksi mobil, dibutuhkan sekitar 3.000 komponen, demikian menurut General Manager Public Relations Astra, Tatit Palgunadi. Sedangkan suplai dari dalam negeri baru meliputi 600 komponen. Demi mengimbangi pemakaian devisa, Astra mencoba mengekspor komponen dan melebarkan sayap ke industri agrobisnis dan perkayuan. "Dewasa ini kami sudah mengekspor mesin 5 K (mesin Toyota Kijang) ke Jepang," ungkap Rini. Selain itu, Astra juga sudah mengekspor sepeda motor Honda serta mobil Daihatsu dan Kijang. Tapi berapa nilai ekspornya tak terungkap. Hanya, dari agrobisnis dan perkayuan, Rini mengatakan, Astra meraih devisa sekitar US$ 400 juta pada tahun 1993. Dan tahun ini ditargetkan US$ 600 juta. Lalu, mengapa Astra harus dibebani utang-utang jangka pendek? Menurut Rini, itu karena pada tahun 1991 -- ketika pasar mobil menggebu-gebu -- Astra telanjur melakukan perluasan dan investasi baru. Sialnya, ketika itu kasus kredit macet Bentoel meledak, yang disusul dengan krisis Bank Summa. Para kreditur Astra lalu enggan memberikan pinjaman yang berjangka relatif lebih panjang (lihat boks). "Kami terpaksa mengambil pinjaman jangka pendek," Rini menjelaskan. Akibatnya terasa pada tahun 1992 dan 1993. Ketika itu, omzet menurun (terutama otomotif), sedangkan Astra harus membayar biaya bunga yang besar. Maka, laba pun merosot tajam (tahun 1992 dan 1993). Dengan menjual obligasi berjangka panjang ini (5 tahun) di Jakarta serta obligasi di New York (diharapkan bisa berjangka 7-10 tahun), direksi Astra berharap akan lebih leluasa memutar dananya. Apalagi, beban bunga obligasi relatif murah. Obligasi Astra akan diberi kupon bunga 2% di atas suku bunga deposito enam bulan dari bank-bank pemerintah, yang sekarang berkisar 11%. Berarti, biaya pinjaman Astra ini nantinya hanya sekitar 13%, sementara suku bunga pinjaman komersial kini berkisar 18-20%. Pembayaran kupon itu tiga bulan sekali, sehingga cash flow Astra akan lebih encer. Rencana Astra ini disambut para investor dengan sangat antusias. Obligasi sebesar Rp 250 miliar itu bisa dipastikan akan habis. Kadarisman, penasihat Yayasan Dana Pensiun PT Krakatau Steel yang juga Ketua Asosiasi Dana Pensiun, berpendapat, bunga 2% di atas suku bunga deposito enam bulan bank pemerintah cukup menarik. "Apalagi BNI jadi wali amanat untuk obligasi ini," ujar Kadarisman. Tak urung ada yang khawatir, pesanan atas obligasi Astra akan melebihi penawaran, seperti yang diutarakan oleh Kitty Twijsel dari PT Tata Sekuritas Maju. Tapi apa pun risikonya nanti, yang penting Astra sudah lebih dulu memanfaatkan peluang untuk go international. Seperti diketahui, persyaratan untuk terjun ke bursa di luar negeri cukup berat, dan bila Astra mampu melaksanakannya, tentu ini akan menggugah perusahaan lain untuk bersiap-siap lebih cepat. Garuda Indonesia atau PT Telkom, misalnya.Max Wangkar, Dwi S. Irawanto, dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini