NIAT Astra mencari pinjaman di luar negeri tentu tak akan terkait dengan yang belakangan ini populer disebut-sebut sebagai country risk (risiko negeri). Risiko ini biasanya menjadi patokan perhitungan pemilik dana di luar negeri untuk menanamkan modal atau memberikan pinjaman ke Indonesia. Menurut Bank Dunia, premi country risk (PCR) Indonesia bisa dihitung dengan melihat perbandingan antara suku bunga deposito dolar AS pada bank-bank komersial di Indonesia dan suku bunga deposito dolar bank-bank di luar negeri. Pada tahun 1987-1988 -- ketika Pemerintah baru saja melakukan devaluasi rupiah -- PCR Indonesia naik cukup tinggi. Pada tahun 1989-1990 -- ketika Pemerintah sudah berhasil menstabilkan neraca transaksi berjalan -- premi tersebut menjadi sangat rendah. Tapi, sejak tahun 1991, country risk Indonesia naik tajam (lihat tabel). Akibat PCR Indonesia yang tinggi tersebut, sejak bulan Oktober 1992, Pemerintah (tim PKLN -- Pinjaman Komersial Luar Negeri) telah melarang perusahaan-perusahaan Indonesia mengambil kredit luar negeri senilai US$ 20 juta ke atas dengan suku bunga 1,87% di atas LIBOR. Adapun kenaikan country risk Indonesia pada tahun 1991 berbarengan dengan berbagai masalah darurat dalam sektor keuangan, terutama akibat ekonomi yang terlalu panas (overheated) serta kegagalan dua perusahaan Indonesia (Bentoel dan Mantrust) membayar pinjaman luar negeri mereka. Menurut Bank Dunia, untuk menurunkan country risk-nya, Indonesia perlu waktu. Itu bergantung pada kebijaksanaan Pemerintah dalam mengendalikan jumlah uang beredar dan perkreditan. Juga apakah kebijaksanaan itu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan inflasi yang stabil. Agar country risk turun, Pemerintah harus menciptakan iklim yang stabil bagi para investor, termasuk sistem keuangan yang efisien dan sehat. Rating keuangan negara biasanya juga dinilai dari yang paling bagus, yakni AAA atau triple A (seperti Swiss), lalu triple A minus (AAA-), double A plus (AA+), double A (AA), double A minus (AA-), single A plus (A+), single A (A), single A minus (A-), triple B plus (BBB+), triple B (BBB), triple B minus (BBB-), dan seterusnya sampai C minus (C-). Rating Indonesia yang terakhir, kabarnya, adalah triple B minus. Ini berarti, semua perusahaan Indonesia yang hendak meminjam dari luar negeri tak akan mungkin mendapatkan fasilitas pinjaman dalam kategori di atas BBB minus. "Kalaupun Astra, misalnya, mendapat rating A, fasilitas kredit luar negerinya akan tetap di bawah triple B minus," kata Direktur Keuangan Astra, Rini P. Soewandi. Dikatakannya, kini rating Astra sedang dinilai dalam prosedur memasuki pasar modal New York. "Sistem akuntansi mereka sangat ketat, berbeda dengan sistem akuntansi di Eropa," ujar Rini. Ia memberi contoh perusahaan Daimler Benz (Mercedes dari Jerman) ketika mencoba masuk Wall Street. Dalam laporan keuangannya, Daimler Benz mempunyai laba. Tapi, setelah diaudit oleh akuntan Wall Street, perusahaan itu ternyata merugi US$ 450 ribu. Menurut Wayne Forrest, Ketua Kamar Dagang Amerika-Indonesia di New York, peraturan bursa Wall Street mengharuskan memberikan banyak informasi (disclosure). "Prosedurnya juga makan waktu lama. Bisa sampai setahun," kata Forrest kepada wartawan TEMPO Bambang Harymurti. Tapi Astra tidak khawatir. Seperti kata Rini, dewasa ini sudah ada beberapa perusahaan AS yang bersedia melakukan rating sekaligus mengaudit keuangan Astra menurut standar AS, di antaranya Chase Manhattan Bank dan Merryl Linch.Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini