Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Arus dolar jangka pendek

Indonesia diserbu arus dolar yang menderas sejak pertengahan tahun lalu. tapi, karena sifatnya jangka pendek, dikhawatirkan bisa menimbulkan dampak inflasi. apa upaya BI?

5 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDAHULUI banjir Citarum, di negeri ini terjadi banjir dolar. Hal itu sudah menggejala sejak pertengahan tahun lalu. Dampaknya: suku bunga kredit turun. Tapi otoritas moneter sibuk menyuplai rupiah di pasar uang. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi? Tidak seorang pun bisa memastikan, mengapa investor asing begitu bersemangat memarkir dolar mereka di Indonesia. Data mingguan Bank Indonesia menunjukkan, hingga November 1993, dolar yang dihimpun bank- bank nyaris mencapai US$ 15 miliar. Dana itu diduga berasal dari para fund-manager, yang mengelola dana pensiun. Bila dibandingkan dengan posisi triwulan III 1992, berarti ada kenaikan sebesar US$ 3,5 miliar atau sekitar Rp 7 triliun. Hal ini sudah disinggung Gubernur Bank Indonesia (BI), Soedradjad Djiwandono, ketika memberi sambutan dalam acara Pertemuan Tahunan Perbankan, dua pekan lalu. Aliran dana masuk tersebut, menurut Soedradjad, terutama berupa dana jangka pendek. "Arus dolar ini dapat menambah cadangan devisa resmi Bank Indonesia," katanya. Seperti diketahui, cadangan kita hingga Desember lalu ada US$ 12 miliar lebih -- cukup membiayai impor nonmigas selama 5 bulan. Ada yang menduga derasnya arus mata uang Amerika itu antara lain karena tingginya suku bunga deposito dolar di Indonesia. Ini mungkin ada benarnya. Mendepositokan uang di luar negeri, kendati dalam valuta asing yang kuat, belum tentu memberikan keuntungan seperti beberapa tahun silam. Bagaimana tidak? Bunga deposito dolar yang ditawarkan di sini 2% - 3% lebih tinggi dari bunga di luar negeri yang hanya 3% setahun. Tapi ada pula yang berpendapat, gelombang itu muncul karena besarnya perbedaan antara bunga (interest differential) deposito rupiah dan dolar. Dengan tingkat bunga disini 8% - 11% setahun, berarti interset differential-nya bisa 5% - 8% setahun. Menurut Wayan Pugeg, Direktur BDN, dana yang ditempatkan dalam deposito valas, umumnya berasal dari investor yang ingin aman dari risiko perubahan nilai tukar. Sementara yang mencari tingginya suku bunga, mereka tanamkan dalam tabungan (12%) atau deposito berjangka (8% - 11%). "Di BDN tak ada lonjakan dana valuta asing. Karena mereka lebih suka memilih rupiah," kata Pugeg. Selain dalam deposito, banyak pula dolar yang diparkir dalam instrumen SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Sampai akhir tahun lalu, posisi SBI mencapai puncak tertingginya, Rp 23 triliun lebih. Ini mengherankan. Soalnya, sejak Maret 1993 suku bunga SBI sudah turun dari 12,7% setahun menjadi sekitar 11% pada bulan Desember. Namun, seorang pejabat di Departemen Keuangan menyebutkan, arus dana dari luar negeri itu berupa modal portfolio untuk membeli saham di pasar modal. "Dulu banyak di parkir di SBI. Tapi kini mereka beralih ke saham," katanya. Ia benar. Pada Juni 1992, misalnya, saham yang berpindah tangan ke investor asing mencapai Rp 405 miliar. Tapi, tiga bulan kemudian, transaksi per bulannya sudah mencapai lebih dari dua kali lipat. Menurut Soedradjad, sepanjang 1993, modal asing yang diputar dalam perdagangan saham secara neto sekitar Rp 3,8 triliun. Menurut Soedradjad, ini lantaran price earning ratio (PER) saham relatif rendah (dibatasi maksimum 15 kali). Sementara itu, menurut Pugeg, masuknya dolar ke Indonesia sejalan dengan meningkatnya kepercayaan terhadap rupiah. "Tapi biasanya pertama kali mereka akan melihat keamanan dari dananya (country risk)," kata Wayan. Dan Indonesia, menurut Bank Dunia, terhitung aman. Agak mengherankan memang, di tengah ketatnya persaingan, Indonesia masih dilirik oleh investor asing. Tapi pejabat Departemen Keuangan yang tak bersedia disebut namanya itu memandang gejala ini sebagai biasa-biasa saja. "Untuk menebar risiko, biasanya mereka menebar uangnya di mana-mana," ujarnya. Maksudnya, dengan meningkatnya investasi asing di RRC dan Vietnam, Indonesia ikut terangkat walau cuma sebagai bemper. Namun, gara-gara banjir, BI pun pusing. Arus dolar yang masuk begitu deras, hingga isi lemari besi BI nyaris seperti dikuras. Untuk mengimbanginya, BI tak dapat tidak harus menyediakan rupiah. Nah, jika rupiah itu lebih besar dari permintaan, dampaknya bisa menyebabkan inflasi (ditandai kenaikan harga- harga). Kalau BI tak sigap, ada pengamat mengkhawatirkan, ekonomi kita bisa overheated lagi. Benar, BI selalu menarik kembali rupiah lewat SBI. Namun, tak mustahil terjadi kebocoran juga. Untuk bunga SBI, setiap bulan sedikitnya BI mengeluarkan Rp 220 miliar. Belum lagi jika dolar yang sifatnya jangka pendek itu tiba-tiba ditarik kembali. Lalu, apa siasat BI? "Karena instrumen satu-satunya hanya itu, there is no choice," Soedradjad menegaskan. Apa boleh buat, BI jadi sangat direpotkan. Tapi harus diakui segi positifnya, paling tidak dari segi pembiayaan yang lebih murah. Pekan lalu, Bank BNI menurunkan lagi bunga kreditnya menjadi 15% setahun. "Ini yang kedua sejak November lalu," kata Dirut Bank BNI, Winarto Soemarto. Kalau dihitung-hitung, banjir dolar ini membawa dampak positif lebih banyak ketimbang negatifnya. Ini tak lain karena arus dolar mengharuskan pemerintah untuk mempertahankan iklim yang nyaman bagi dana dari luar -- jadi, berarti nyaman juga bagi dunia usaha di sini.Bambang Aji dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum