Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Aturan Telekomunikasi Berpotensi Minim Masukan Publik

Ombudsman RI meminta pemerintah membentuk lembaga pengganti BRTI.

1 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perawatan pada menara Base Transceiver Station (BTS) di kawasan Cipinang, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Bubarnya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dikhawatirkan bakal membuat penyusunan regulasi di bidang telekomunikasi berjalan sepihak dan minim partisipasi publik. Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Masyarakat Telematika Indonesia, Nonot Harsono, mengatakan BRTI, yang beranggotakan perwakilan masyarakat dari bidang ekonomi, hukum, dan industri telekomunikasi, layak menjadi pengimbang regulator.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kalau bubar, fungsi pengawalan kebijakan berlangsung tanpa perwakilan masyarakat dan industri,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembaga yang dibubarkan Presiden Joko Widodo bersama sembilan organisasi non-struktural lainnya itu dibentuk pada Juli 2003 atas perintah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Keanggotaan dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pun membuat Indonesia harus mematuhi salah satu perjanjian dagang, yaitu pembentukan regulator telekomunikasi independen.

Meski strukturnya diisi pejabat dari tiga direktorat jenderal di Kementerian Komunikasi dan Informatika, BRTI masih menjadi wadah perwakilan masyarakat dengan adanya Komite Regulasi Telekomunikasi. Menurut Nonot, slot enam anggota Komite Regulasi bisa ikut menyumbangkan ide dalam perumusan aturan di bidang telekomunikasi.

“Pengambilan keputusan masih wewenang Kementerian. Tapi, tanpa wakil masyarakat, penyerapan pendapat publik dalam rancangan aturan hanya berupa konsultasi,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Information and Communication Technology Institute, Heru Sutadi, memprotes pembubaran BRTI yang dianggapnya sudah membawa dampak positif bagi industri telekomunikasi. Salah satunya adalah soal penetapan tarif layanan interkoneksi. Ia menuturkan, pada 2005, tarif interkoneksi Indonesia termahal kedua setelah Selandia Baru di kawasan Asia-Pasifik.

“Tapi seiring perjalanan, kita masuk negara dengan tarif termurah dan semakin terjangkau,” tuturnya, kemarin.

BRTI yang awalnya berada di bawah Kementerian Perhubungan, Heru menyebutkan, berhasil mengatur standar layanan telekomunikasi di saat lalu lintas padat. Operator lokal kini terbiasa menghadapi lonjakan jumlah penggunaan data pada hari-hari besar, seperti Lebaran dan tahun baru, termasuk saat bencana alam.

“Jangkauan layanan pun dipaksa masuk daerah terpencil. Bahkan konsep Palapa Ring juga awalnya digodok BRTI,” ia mengatakan.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, meminta pemerintah memperjelas keperluan pembubaran sebuah lembaga non-struktural. Menurut dia, penghapusan seharusnya didahului dengan penjajakan dan dialog bersama anggota lembaga terkait. “Alasannya dipertajam, jangan semata-mata efisiensi anggaran.”

Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, berpendapat bahwa posisi independen BRTI yang berbasis UU Telekomunikasi tak bisa sembarang digeser ke Kementerian Komunikasi. Dia menyarankan pembentukan unit kerja khusus di bawah Kementerian untuk melanjutkan tugas pokok BRTI. “Pikirkan substitusi lembaga ini, jangan sampai tak sesuai dengan undang-undang. Kan diminta harus independen.” ucapnya.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengungkapkan, alasan pembubaran BRTI sama dengan lembaga lain yang dihapus lewat Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2020. Pemerintah, kata dia, ingin menyederhanakan jumlah lembaga negara. Ia menjamin pembubaran lembaga tidak dilakukan secara serta-merta. “Ada masa transisi, biasanya satu tahun.”

Johnny juga memastikan independensi pemerintah dalam penyusunan regulasi telekomunikasi kelak. Dia pun mengklaim pembubaran BRTI tidak menyalahi aturan internasional karena fungsinya masih dipegang Kementerian Komunikasi. “Kedudukan independent regulatory body berbeda-beda, ada yang badan tersendiri, ada juga berupa kementerian seperti di Jepang,” ucapnya kepada Tempo.

Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi BRTI periode 2018-2022, Setyardi Widodo, menolak berkomentar mengenai kebijakan tersebut. Ia beralasan baru mengetahui ihwal pembubaran lembaganya pada Ahad siang lalu. Widodo merupakan anggota BRTI dari unsur masyarakat. “Mohon maklum. Untuk pengaturannya, dapat ditanyakan ke Kementerian Komunikasi,” tuturnya.

 

FRANCISCA CHRISTY ROSANA | GHOIDA RAHMAH | YOHANES PASKALIS


10

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus