Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK terlihat lagi tumpukan karung beras di gudang milik CV Kusuma Food Indonesia. Tempat penyimpanan barang yang terletak di Sentra Industri Pergudangan Elang Laut di Jalan Kamal Muara VII Blok I Nomor 1, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, itu sudah berganti berisi makanan ringan impor asal Jepang.
Pada Januari lalu, gudang itu berisi ribuan karung beras asal Vietnam dan disegel Direktorat Bea dan Cukai karena menyalahi izin masuk. Menurut Apiau, sang penjaga gudang, beras itu sudah dipindahkan. "Entah ke mana. Pokoknya sekarang saya cuma jaga snack ini," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Kusuma Food Indonesia ramai dibicarakan setelah Bea dan Cukai Tanjung Priok menangkap 32 kontainer beras impor pada Januari lalu. Sebanyak 16 kontainer milik perusahaan ini, 16 yang lain kepunyaan CV Pangan Sejahtera dan PT Tri Mitra Makmur Lohata. Aparat menemukan indikasi pelanggaran karena terdapat ketidaksesuaian antara dokumen dan barang.
Penyidik Bea dan Cukai lalu mengusut kasus importasi beras itu sejak Februari lalu. Pada 5 Juni, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menyatakan berkas perkara penyidikan telah lengkap alias P21. "Dokumen dan barang bukti secepatnya kami limpahkan. Kami sudah berkoordinasi dengan penyidik Bea-Cukai," kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Utara Imran Yusuf, Rabu pekan lalu. Targetnya, pekan depan sidang bisa dimulai, dan rampung pada akhir Juli.
Imran menjelaskan, penyidik telah menetapkan Kusuma Food Indonesia sebagai tersangka. Importir beras ini sebenarnya mengantongi kuota izin impor beras dari pemerintah. Masalahnya, beras yang diimpor tidak sesuai dengan dokumennya. "Di dokumen tercantum Thai Hom Mali, yang masuk beras premium non-Thai Hom Mali," katanya. Beras jenis ini semestinya hanya untuk restoran, hotel, dan supermarket, tapi beredar di pasar induk beras Cipinang, Jakarta Timur.
Pejabat yang mengetahui proses penyidikan perkara itu mengatakan, dalam surat rekomendasi Kementerian Pertanian, secara spesifik disebutkan beras yang diizinkan masuk adalah Thai Hom Mali. Tapi surat persetujuan impor yang diterbitkan Kementerian Perdagangan sedikit bergeser menjadi: beras wangi/fragrant rice/Thai Hom Mali. "Thai Hom Mali pasti beras wangi, tapi beras wangi ada macam-macam, bukan cuma Thai Hom Mali," ujarnya.
Bukan hanya itu, hasil uji laboratorium menemukan beras yang didatangkan Kusuma Food mengandung amilosa lebih besar dari 19 persen, sehingga tak bisa dikategorikan sebagai beras Thai Hom Mali. Syarat kadar amilosa beras jenis ini adalah 12-19 persen. "Kami yakin ada penyimpangan," kata Imran.
Imran mengatakan tersangka dijerat dengan pasal pidana pemalsuan dokumen pemberitahuan impor barang. Ancamannya pidana penjara maksimal delapan tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Seorang penyidik mengatakan dalam pemeriksaan terendus bahwa indikasi penyimpangan itu dilakukan secara sistemik oleh institusi. Karena itu, penyidikan mendalam dilanjutkan untuk membuktikan kemungkinan keterlibatan surveyor dan pejabat Kementerian Perdagangan. Pekan ini sejumlah karyawan Kementerian Perdagangan akan dipanggil Kejaksaan.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengaku belum mengetahui rencana pemanggilan tersebut. Tapi secara prinsip ia tak keberatan. "Itu bisa saja. Apalagi kalau sudah P21, artinya tindak kriminal. Mesti kita berantas. Ini komitmen saya," kata Lutfi kepada Ridho Jun Prasetyo dari Tempo.
Apiau, si penjaga gudang, pun mengaku pernah mendengar kasus ini. "Saya dengar ada yang sering dipanggil ke kejaksaan soal beras," ujarnya. Sambil memencet-mencet tombol telepon seluler, ia lantas berkata bahwa bosnya, Felix, jarang datang. "Sedang di luar kota, tak bisa ditemui."
Retno Sulistyowati, Istman, Pingit Aria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo