Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak dua bulan lalu, kedua tangan Dian Haryati, 27 tahun, terutama pada jempol dan telunjuk, kerap kesemutan. Padahal tangan karyawan perusahaan riset di Jakarta itu tak sedang tertindih atau tertekuk. Ada kalanya ia juga merasa jari-jarinya kaku dan susah digerakkan, sehingga tak bisa memegang barang. Derita itu dirasakan Dian semakin parah saat petang.
Dari dokterlah Dian mengetahui nyeri itu sebagai gejala neuropati atau gangguan pada saraf tepi. Penyebabnya, jemari Dian selama ini terlalu "lengket" dengan telepon seluler, sehingga aliran darah di tangannya tidak lancar. "Saking seringnya mengetik dan main game di ponsel dan komputer, saya divonis terkena carpal tunnel syndrome, salah satu jenis neuropati," katanya pada Selasa siang pekan lalu.
Penelitian yang digelar perusahaan farmasi Merck Indonesia pada awal tahun ini menyuguhkan hasil mengejutkan. Neuropati, yang lumrahnya hinggap pada mereka yang berusia di atas 40 tahun, kini mulai mendera anak muda seperti Dian. Dari survei Merck pula diketahui satu dari dua orang di kota besar Indonesia mengalami gejala neuropati, seperti kebas dan kesemutan. Adapun satu dari empat orang merasakan gejala neuropati pertama pada umur 26-30 tahun.
Gerakan berulang atau repetitif banyak jadi faktor pemicunya. Misalnya sering mengetik dengan ponsel, tablet pintar, dan komputer; mengendarai kendaraan bermotor; duduk dalam waktu lima-tujuh; memakai sepatu hak tinggi; serta aktivitas dengan gerakan berulang, seperti mencuci, memasak, dan menyapu. Dari sederet musabab itu, terlalu "mesra" dengan gadget paling sering jadi pemantik neuropati.
Yang disayangkan, kata Moh Hasan Machfoed, dokter spesialis saraf Universitas Airlangga, Surabaya, tak banyak orang Indonesia paham dengan neuropati. "Survei pada 2012 menyebutkan 90 persen masyarakat Indonesia belum pernah mendengar istilah neuropati. Selama ini banyak orang masih mengasosiasikan neuropati dengan stroke, gangguan kejiwaan, dan rematik," ujarnya saat ditemui dua pekan lalu di Jakarta.
Neuropati adalah istilah yang merujuk pada kerusakan saraf tepi karena penyakit, trauma pada saraf, atau bisa jadi karena komplikasi penyakit sistemik. Pada tahap lebih lanjut, penyakit ini dapat mengenai saraf sensorik, motorik, otonom, ataupun kombinasi ketiganya. Mereka yang rentan mengalami neuropati adalah orang berusia tua, penderita diabetes dan darah tinggi, perokok, pengkonsumsi alkohol, pengidap penyakit pembuluh darah dan kanker, orang yang terpapar bahan kimia, serta mereka yang melakoni gaya hidup berisiko.
Jumlah penderita neuropati diperkirakan semakin meningkat. Kendati belum ada data pasti prevalensi gangguan ini di Indonesia, menurut dokter spesialis saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Manfaluthy Hakim, lima tahun belakangan semakin banyak pasiennya yang berusia muda mengeluh kesemutan, pegal, kram, kebas atau mati rasa, kaku, merasa terbakar, dan lemah anggota gerak.
Setelah diperiksa lebih lanjut, mereka mengalami trauma berulang pada saraf tepi. "Saat Anda masih bisa refleks ketika kaki disentuh, itu pertanda bagus. Namun, pada pasien neuropati, refleks mereka berkurang karena daya konduksi atau transfer sarafnya hilang," kata Manfaluthy, yang juga Ketua Kelompok Studi Neurofisiologi dan Saraf Tepi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Pusat, saat ditemui pada Selasa malam pekan lalu.
Neuropati tidak menyusup di tubuh begitu saja. Pada awalnya penderita neuropati akan mengalami gangguan sensorik, seperti kesemutan yang tiba-tiba, sampai akhirnya mati rasa pada bagian tubuh yang mengalami trauma saraf. Pada pasien dengan carpal tunnel syndrome, misalnya, akan terasa kesemutan pada bagian jempol serta jari telunjuk dan tengah.
Jika gejala itu tak lekas diobati, pasien akan mengalami gangguan saraf motorik, seperti rambut rontok dan kelemahan anggota gerak. "Gangguan saraf tepi memiliki akibat sangat luas pada tubuh yang sering tidak kita sadari," kata Manfaluthy. "Kecenderungannya selama ini masyarakat lebih tahu model gadget terakhir, tapi pemahaman terhadap tubuhnya sendiri malah kurang."
Parahnya, Manfaluthy melanjutkan, pada tahap lanjut atau sekitar sepuluh tahun, neuropati bisa menyebabkan terganggunya saraf otonom yang berefek ke sekujur tubuh. Gangguan saraf otonom ini, kata Manfaluthy, bisa menyebabkan impotensi dan kelumpuhan. "Impotensinya tidak bisa disembuhkan. Enggak bisa diapa-apain lagi," ujarnya.
Neuropati bukannya tak bisa dicegah. Gangguan saraf ini bisa dihindari dengan mengkonsumsi vitamin neurotropik serta memperbanyak asupan sayur dan kacang-kacangan yang kaya vitamin B1, B6, dan B12. Aktivitas menggunakan gadget pun harus dikurangi. Setiap satu-dua jam, misalnya, mereka yang banyak duduk di depan komputer saat bekerja disarankan melakukan peregangan selama satu-dua menit. Pun mengetik serta bermain game di ponsel dan tablet pintar mesti diselingi istirahat setiap sepuluh menit sekali.
Sedangkan pasien dengan riwayat diabetes atau berkadar gula darah tinggi mesti lebih waspada. Sebab, neuropati adalah salah satu komplikasi tertinggi dari diabetes, selain retinopati atau gangguan pada mata dan nefropati atau gangguan pada ginjal. Dokter spesialis penyakit dalam Tri Juli Edi Tarigan menyebutkan 38 persen pasien diabetes tipe 2 mengidap neuropati. Data itu diambil dari pengamatan terhadap 160 pasien Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada 2011.
Menurut Tri Juli, yang bisa dilakukan pasien dengan riwayat diabetes untuk mencegah neuropati adalah dengan rajin mengontrol kadar gula darah sedini mungkin. Apalagi diabetes diketahui mulai bertandang pada anak usia belasan tahun. "Hanya dengan pengendalian gula darah sejak awal, neuropati dan komplikasi mikrovaskuler bisa dicegah," ujarnya saat ditemui di Fakultas Kedokteran UI pada Rabu sore pekan lalu.
Manfaluthy mengimbau mereka yang merasakan gejala neuropati, seperti kesemutan dan kebas, mendadak segera memeriksakan diri ke dokter. "Saat masuk tahap ringan, orang biasanya enggak terlalu ngeh karena memang gejalanya tidak terlalu mengganggu. Saat pemeriksaan awal dokter pun mungkin tidak ada kelainan signifikan, karenanya mesti dicek secara holistik," ujarnya.
Kecenderungan selama ini, Manfaluthy menambahkan, banyak pasien abai dan memberi pengobatan ngawur pada bagian tubuh yang bermasalah. Misalnya dengan pemberian balsam atau pijat karena mengira yang mereka alami sebagai gejala rematik. Walhasil, nyeri akibat neuropati yang mencabik bagian tubuh tertentu pun tak kunjung minggat karena salah obat.
Isma Savitri
Gangguan saraf neuropati
Neuropati adalah istilah yang merujuk pada kerusakan saraf tepi karena penyakit, trauma pada saraf, atau bisa jadi karena komplikasi penyakit sistemik.
Mencegah Neuropati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo