Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berharap Efek Bursa CPO

Bursa berjangka dianggap belum bisa membentuk acuan harga mandiri untuk CPO Indonesia.

25 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas bongkar muat minyak mentah kelapa sawit (CPO) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Dok. TEMPO/Dasril Roszandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peluncuran bursa komoditas sawit dalam waktu dekat diperkirakan belum akan mempengaruhi harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

  • Pembentukan bursa dinilai lebih mengarah pada transparansi harga di kalangan pelaku CPO, dari petani sampai perusahaan.

  • Bursa CPO ini diharapkan bisa menyisir semua potensi pendapatan negara dari CPO yang sempat hilang karena “pasar gelap” ataupun aliran ekspor lain yang tidak tercatat negara.

JAKARTA – Peluncuran bursa komoditas sawit dalam waktu dekat diperkirakan belum akan mempengaruhi harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Pergerakan harga CPO dinilai masih dipengaruhi faktor global, seperti permintaan dari kelompok negara di kawasan tertentu, kondisi ekonomi makro, serta regulasi pemerintah di lokasi tujuan ekspor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengatakan fluktuasi harga tidak bisa diredam dengan skema pasar berjangka mandiri. "Pembentukan bursa ini lebih mengarah pada transparansi harga di kalangan pelaku CPO, dari petani sampai perusahaan," ucapnya kepada Tempo, kemarin, 24 September 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sebelumnya menargetkan semua komoditas CPO berkode ekspor HS 15.111.000 dikirim melalui bursa berjangka. Skema yang diatur dengan peraturan Menteri Perdagangan ini sempat diwacanakan meluncur pada Juli 2023, tapi masih tertunda. Bursa berjangka ini awalnya juga akan dipakai untuk produk turunan CPO, tapi batal karena pemerintah memilih ikut praktik di negara lain.

Josua mengatakan bursa berjangka memang dirancang untuk mendongkrak transparansi harga dan data perdagangan CPO yang selama ini sering dibina secara bilateral. Pemerintah pun menargetkan bursa CPO Indonesia bisa menguntungkan rantai pasok sawit dari hulu sampai hilir. Penerimaan negara diharapkan meningkat dari perpajakan ekspor komoditas. Belakangan, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan ingin agar bursa itu menjadi referensi harga CPO lokal sehingga Indonesia tidak terus-terusan mengikuti acuan bursa Rotterdam dan Malaysia seperti sekarang.

Menurut Josua, harga CPO masih akan mengikuti acuan lama di tengah gejolak perekonomian dunia. Eksportir sawit dari Indonesia juga masih menghadapi tantangan Undang-Undang Anti-Deforestasi atau European Union Free Products Deforestation Regulation (EUDR) sebelum menembus pasar Eropa. "Masih banyak sentimen negatif terhadap harga komoditas, termasuk CPO."

Senada dengan Josua, Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengatakan bursa berjangka itu sebatas difungsikan untuk transparansi ekspor CPO yang volumenya sedang meningkat. Dia menuturkan bursa berjangka buatan Bappebti tidak membentuk pasar fisik CPO. "Ini modelnya tidak jauh dari pasar lelang. Tak ada kaitannya dengan referensi harga."

Meski begitu, kata Ibrahim, bursa CPO ini bisa menyisir semua potensi pendapatan negara dari CPO yang sempat hilang karena "pasar gelap" ataupun aliran ekspor lain yang tidak tercatat negara. Hal ini penting, mengingat volume ekspor CPO tengah merangkak naik secara tahunan, dari 55 ribu ton pada April 2022 menjadi 65 ribu pada April lalu.

Bursa berjangka pun dinilai bisa mengerek transparansi keuangan perusahaan sawit dan produk turunannya, terutama emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. "Selain data dari keterbukaan (informasi) di pasar saham, investor bisa mengecek kinerja emiten lewat bursa berjangka CPO karena seharusnya berisi rekap ekspor-impor."

Kepala Riset Praus Capital, Alfred Nainggolan, masih optimistis rencana bursa CPO Indonesia sedikit demi sedikit bisa mempengaruhi acuan harga minyak mentah global. Setidaknya, menurut dia, pengembangan program ini diperhatikan pelaku pasar asing. "Namun banyak juga kejadian bursa yang dibentuk tidak berhasil membentuk pasar seperti yang diinginkan," ucapnya.

Bongkar-muat tandan buah segar sawit di Desa Blang Dalam Babahrot, Aceh. ANTARA/Irwansyah Putra

Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan bursa berjangka, Alfred meneruskan, antara lain keberhasilan sosialisasi kepada pelaku usaha; kelengkapan infrastruktur, seperti regulasi, teknologi, dan lembaga penunjang; serta likuiditas dari pasar yang ada.

Adapun Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menuturkan harga CPO dunia sedang bergerak di angka US$ 740-700 per ton. Harga ini dianggap aman bagi pasar karena masih jauh di atas ongkos rata-rata produksi sawit di Indonesia.

Produksi CPO saat ini terus meningkat. Pada semester I 2023, produksi CPO 16 persen lebih tinggi dari periode yang sama pada tahun lalu. Harga CPO di pasar dunia bergerak di US$ 740-800 per ton. Ini jauh di atas biaya produksi rata-rata perusahaan sawit di Indonesia. Namun produksi CPO bisa saja terganjal oleh kekeringan akibat El Nino.

"Tapi kekhawatiran itu (penurunan produksi) tidak terbukti sehingga harga tetap tertahan di atas US$ 700 per ton," kata Fabby. "Permintaan juga masih tinggi, yang terbaru dari Cina."

Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko sebelumnya memastikan bahwa skema ekspor CPO belum banyak berubah pada awal peluncuran bursa berjangka. Eksportir masih harus memenuhi aturan wajib pasok di dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) agar bisa mengantongi persetujuan ekspor. Dia yakin harga acuan CPO bisa dibentuk ketika bursa diluncurkan. "Harapannya, harga referensi bisa ditetapkan pada akhir tahun setelah adanya price discovery."

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, mengatakan harga CPO dari Indonesia masih ditentukan suplai dan permintaan minyak nabati lain. Bursa berjangka tak mempengaruhi harga tersebut lantaran bersifat sukarela atau voluntary. "Minyak sawit pangsa pasarnya 33 persen. Artinya, minyak nabati lain 67 persen," kata dia. "Harga CPO tidak berdiri sendiri, jadi masih akan berjalan seperti mekanisme selama ini."

YOHANES PASKALIS | CAESAR AKBAR | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus