Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dugaan korupsi Askrindo mencuat di tengah upaya perusahaan menambah jaminan kredit dalam pemulihan ekonomi nasional.
Modus komisi buat agen senilai ratusan miliar rupiah yang sebagian diduga kembali dibagi-bagi buat direksi Askrindo.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara menyatakan kasus ini sedang diperiksa oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
CARA Anton Fadjar Siregar menikmati hidup agak tergambar dari sejumlah unggahan foto di akun Instagram dan Facebook miliknya. Di luar kegiatan seremoni perusahaan, Direktur Operasional Ritel PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) alias Askrindo itu kerap bermain sepak bola. Pria 54 tahun itu juga beberapa kali mengabadikan momen kegiatannya bersama komunitas pengguna Harley-Davidson.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anton melaporkan kegemarannya akan sepeda motor gede alias moge dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Pada 2017, ketika baru diangkat sebagai anggota direksi Askrindo, mantan Kepala Divisi Bisnis Usaha Kecil PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk ini sudah punya Harley-Davidson Fat Boy keluaran 1998 senilai Rp 250 juta. Belakangan, dalam laporan 2019, moge Anton tercatat bertambah dua unit, Harley-Davidson FXR dan Springer senilai total Rp 425 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam LHKPN terakhir itu, harta Anton memang bertambah menjadi Rp 7,85 miliar dari hanya Rp 3,07 miliar dua tahun sebelumnya. Tambahan terbesar berupa tanah dan bangunan yang kini tak hanya berada di Medan, tapi juga di Jakarta Selatan.
Nama Anton mencuat dalam hasil audit dengan tujuan tertentu untuk PT Askrindo Mitra Utama (AMU), anak usaha Askrindo. Dikerjakan sejak Juli 2020, audit itu menguak dugaan korupsi masif di Askrindo, perusahaan asuransi milik negara yang bisnisnya banyak bertumpu pada subsidi pemerintah dalam program kredit usaha rakyat (KUR).
Pada 2018, imbal jasa penjaminan KUR Askrindo mencapai Rp 1,6 triliun, lebih besar dari pendapatan premi asuransi kredit umum yang sebesar Rp 1,4 triliun. Selain mengandalkan KUR, Askrindo kerap mendapat penyertaan modal negara. Pada 2020, perusahaan yang kini berada di bawah holding badan usaha milik negara sektor perasuransian dan penjaminan, Indonesia Financial Group, ini mendapat penyertaan modal negara Rp 3 triliun. Duit ini digunakan untuk menambah porsi jaminan kreditnya dan mendukung program pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi Covid-19.
Di tengah besarnya amanah tersebut, diam-diam Askrindo menyimpan persoalan tata kelola perusahaan. Dugaan korupsi mencuat. Direksi perusahaan diduga menggunakan AMU untuk menampung biaya komisi agen asuransi. Sebagian dari Rp 155 miliar komisi yang diperoleh AMU dari induknya itu ditengarai kembali ke sejumlah penghuni lantai 8 Graha Askrindo—ruang direksi. Setoran dana ini juga diduga mengalir jauh sampai ke kantor-kantor wilayah serta cabang Askrindo.
Anton Fadjar salah satu yang diduga kecipratan fulus pada 2019. Nilainya ditengarai mencapai US$ 538 ribu atau sekitar Rp 7,7 miliar dengan kurs Rp 14.400. “Penyerahan uang salah satunya terjadi di Masjid Al-Hidayah dekat TPU Tanah Kusir,” kata seorang pejabat di lingkungan Askrindo yang mengetahui detail pemeriksaan kasus ini di kalangan internal perseroan. Dia membacakan laporan komite audit dan Dewan Komisaris Askrindo tertanggal 22 Desember 2020, yang dokumennya diperoleh Tempo.
Bukan hanya nama Anton yang disebut dalam dokumen itu, tapi juga sederet nama direktur lain dan mantan anggota direksi Askrindo.
Dihubungi sejak Rabu, 3 Maret lalu, Anton belum menjawab sejumlah pertanyaan Tempo tentang temuan ini. “Saya mohon izin untuk berdiskusi dengan institusi dulu agar nanti ditentukan bagian yang berwenang untuk menjawab,” tutur Anton lewat pesan singkat, Jumat, 5 Maret lalu. Beberapa pejabat Askrindo yang namanya disebut-sebut dalam karut-marut pengelolaan biaya komisi agen ini pun bungkam, enggan berkomentar.
Yang jelas, laporan kasus dugaan korupsi ini juga telah diterima oleh Indonesia Financial Group, wakil pemerintah sebagai pemegang saham seri B Askrindo. Direktur Utama Indonesia Financial Group Robertus Bilitea enggan memaparkan detail langkah yang diambil timnya atas masalah di Askrindo. “Saat ini sedang dilakukan audit pendalaman menggunakan auditor independen,” ujar Robertus saat ditemui di Jakarta, Jumat, 5 Maret lalu.
•••
BAU dugaan korupsi di Askrindo mulai menyengat setelah audit laporan keuangan perseroan pada tahun buku 2019 tak kunjung beres. Hingga kini, PricewaterhouseCoopers belum berhasil merampungkan audit tersebut. Gara-garanya, kantor akuntan publik RSM International yang memeriksa laporan keuangan PT Askrindo Mitra Utama telah mengeluarkan opini disclaimer terhadap biaya operasional sebesar Rp 155 miliar di anak usaha Askrindo tersebut pada 2019.
Bersamaan dengan itu, Indonesia Financial Group, yang ditunjuk sebagai holding BUMN perasuransian dan penjaminan sejak Maret 2020, menerima surat kaleng berisi dugaan korupsi di tubuh AMU. Merespons surat dan opini disclaimer, Indonesia Financial Group memerintahkan Satuan Kerja Audit Internal Askrindo menelisik persoalan ini.
Satuan Kerja Audit Internal tak menemukan apa pun dalam audit dengan tujuan tertentu tersebut. Hingga November 2020, satuan kerja itu bahkan telah meminta perpanjangan waktu sampai empat kali.
Belakangan, audit dari Dewan Komisaris Askrindo—yang berjalan beriringan dengan audit Satuan Kerja sejak Juli 2020—menemukan sejumlah anggota tim satuan kerja tersebut malah menerima honor yang jumlahnya tak seberapa, Rp 12,5 juta. Duit ini ditengarai diberikan ketika Satuan Kerja Audit Internal menggelar kickoff meeting audit—tahap awal pemeriksaan—bersama manajemen AMU pada 20 Juli 2020. Pemeriksaan komite audit yang didorong Dewan Komisaris Askrindo inilah yang justru membuka tabir latar belakang disclaimer dan surat kaleng tersebut.
Hulu perkaranya berada di beban biaya komisi agen asuransi Askrindo yang mencapai Rp 463 miliar pada 2019. Sebanyak Rp 195,9 miliar di antaranya ditujukan untuk PT AMU. Perusahaan agen asuransi swasta ini diakuisisi Askrindo pada 2014.
Berkantor di rumah kantor Puri Mutiara, Kemayoran, Jakarta Pusat, perusahaan ini bertindak sebagai agen penjual produk asuransi penjaminan yang dimiliki sang induk. Tercatat mengantongi komisi besar dari Askrindo, AMU rupanya hanya menghasilkan laba Rp 8,98 miliar pada 2019.
Audit memelototi biaya operasional AMU yang mencapai Rp 155 miliar. Caranya dengan memeriksa tiga biaya operasional terbesar perusahaan sebagai contoh uji petik, yaitu produksi fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) alias penjaminan kredit kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kontrak bank garansi, dan produk penjaminan kredit konsumtif.
Dari pemeriksaan itu, biaya operasional riil perusahaan diketahui cuma Rp 52,4 miliar. Artinya, jika pendapatan komisi tersebut dipotong biaya operasional riil dan laba, masih ada sisa Rp 134,575 miliar. Duit segede ini meninggalkan tanda tanya besar: ke mana perginya?
Seorang pejabat yang mengetahui detail pelaksanaan audit itu mengungkapkan, tim pemeriksa menemukan catatan aliran dana ke direksi Askrindo dalam buku AMU. “Keterangannya: ‘Untuk lantai 8’,” kata sumber ini. “Jumlahnya banyak.” Lantai 8 yang dimaksudkan adalah ruang direksi di Graha Askrindo di Kemayoran. Kedok lain: AMU diduga membukukan biaya produksi fiktif berupa perjalanan dinas ke luar negeri. Untuk menjalankan trik ini, AMU bekerja sama dengan perusahaan perjalanan.
Sepintas, skema ini mirip dengan kasus korupsi yang menjerat mantan Direktur Utama PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) alias Jasindo, Budi Tjahjono. Ketika kasus Jasindo terungkap pada 2017, Budi sedang memimpin Askrindo. Belakangan, pada 2019, pengadilan memvonis Budi tujuh tahun penjara.
Melihat modus pengembalian komisi seperti itu, audit sempat melirik keberadaan PT Penas Prima Utama. Penas merupakan perusahaan yang didirikan para pensiunan pegawai Askrindo. Baru disahkan berdiri pada 1 Agustus 2018, seperti tercantum dalam akta perusahaan, Penas menerima sebagian dari total Rp 267 miliar yang dibayarkan Askrindo sebagai komisi untuk agen non-anak perusahaan pada 2019.
Kantor PT Penas Prima Utama, perusahaan agen asuransi bikinan pensiunan Askrindo, di Kemayoran, Jakarta Pusat. Tempo/Khairul Anam
Sejumlah nama pejabat lawas Askrindo tercatat sebagai pemegang saham dan anggota direksi Penas. Sulaeman, pemegang saham sekaligus komisaris Penas, tercatat pernah menjabat Kepala Divisi Keuangan dan Investasi Askrindo. Puji Santoso, pemegang saham yang juga Direktur Penas, pernah menjadi Kepala Bagian Analisa Pengendalian Risiko Operasi Askrindo. Nyoman Sulendra, pemegang saham Penas, pernah menjabat Direktur Utama AMU. Empat pensiunan Askrindo lain kini juga menjadi pemegang saham dan pengurus Penas, yaitu Abdul Rachman, Chumaedi, Agus Nugroho, dan Legawa.
Namun, karena Penas berstatus swasta, audit tak mampu menjangkau perusahaan yang berkantor di sebuah rumah toko di lantai 1 Mega Glodok Kemayoran tersebut. Pada Kamis sore, 4 Maret lalu, markas Penas bisa dibilang satu-satunya kantor yang masih buka di deret Blok A9. Dua pria sedang duduk-duduk di kursi depan pintu kantor. Kantor Penas satu lantai dengan firma kecil yang banyak bercokol di mal pusat elektronik dan otomotif itu.
Audit hanya menemukan dokumen perjanjian kerja sama antara Askrindo dan Penas periode 2 Januari 2020-2 Januari 2021. Dalam perjanjian itu, untuk setiap 15 persen komisi dari jumlah premi asuransi kredit menengah dan kecil serta kontrak bank garansi, Penas hanya kebagian 2 persen. Sisanya menjadi cashback ke kantor cabang Askrindo. Adapun untuk setiap 20 persen komisi dari premi surety bond, Penas hanya mendapat 5 persen. Sisanya lagi-lagi kembali ke kantor cabang.
Ketika dihubungi pada Jumat, 5 Maret lalu, Puji Santoso menyatakan belum bisa menjawab pertanyaan Tempo. Dia mengatakan harus berdiskusi dulu dengan pengurus lain. Tapi dia menegaskan bahwa Penas adalah perusahaan swasta. “Sementara AMU adalah anak usaha Askrindo, yang semua bisnisnya dari Askrindo. Tolong Anda luruskan permasalahan ini,” ucap Puji lewat pesan WhatsApp.
Abdul Rachman, yang namanya tercantum sebagai pengurus dalam dokumen perjanjian kerja sama alias PKS dengan Askrindo, menyatakan sudah lama tidak bekerja di Penas. “Bahkan saya sendiri sudah dikeluarkan dari Penas,” ujar Abdul, yang juga masih tercatat sebagai salah satu pemegang saham Penas. Sulaeman juga membantah jika disebut sebagai pengurus Penas ataupun pensiunan Askrindo ketika Tempo menghubunginya di nomor telepon yang tercatat dalam dokumen kontrak kerja sama.
Direktur Utama Askrindo yang baru ditunjuk pada Juli 2020, Dedi Sunardi, lewat jawaban tertulis membantah adanya pembagian komisi dalam perjanjian kerja dengan Penas. “Dalam setiap PKS keagenan, termasuk PKS dengan Penas, tidak ada kesepakatan mengenai pembagian komisi,” ucap Dedi, Sabtu, 6 Maret lalu.
•••
KEMBALI ke urusan komisi untuk PT Askrindo Mitra Utama, tim audit mencatat hasil pemeriksaan berupa wawancara yang menggambarkan peristiwa pada sekitar Oktober 2019. Dua Alphard parkir bersebelahan di halaman Masjid Al-Hidayah, Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Anton Fadjar Siregar dan Wahyu Wisambodo, pemilik dua mobil tersebut, mengawasi sopir masing-masing dari beranda masjid.
Tas dari mobil Wahyu kemudian berpindah ke mobil Anton. Setelah memastikan pemindahan tas itu beres, Anton dan Wahyu masuk ke masjid dan bersembahyang bersama. Wahyu kini tak lagi menjabat Direktur Keuangan PT AMU.
Pada hari itu, tertuang dalam temuan audit, Wahyu menyerahkan duit kontan dalam pecahan dolar senilai US$ 160 ribu atau sekitar Rp 2,3 miliar kepada Anton. Wahyu sebelumnya menyerahkan duit kepada Firman Berahima, Direktur Kepatuhan dan Sumber Daya Manusia Askrindo 2016-2020. Tapi, beberapa hari kemudian, Firman meminta Wahyu menyerahkan duit itu kepada Anton.
Direktur Operasional Ritel Askrindo Anton Fadjar Siregar. askrindo.co.id
Sepanjang April 2019-Juli 2020, Anton diduga menerima kickback atas komisi agen sampai US$ 538 ribu. Anton sempat mengembalikan US$ 250 ribu kepada Wahyu setelah mendengar kabar tersiar bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mulai menyigi dugaan korupsi di Askrindo pada Oktober 2019. Belakangan, duit itu diduga diminta lagi pada Maret 2020.
Dalam proses klarifikasi audit, Anton menyatakan menerima uang itu di Masjid Al-Hidayah. Namun, seingat dia, jumlahnya US$ 180 ribu. Rencananya, duit tersebut digunakan untuk “mengurus” KPK. Skenario itu disebut sebagai kesepakatan antara Anton dan Firman Berahima.
Sementara itu, Firman diduga menerima kickback senilai US$ 405 ribu sejak April 2019. Lagi-lagi Wahyu Wisambodo yang menjadi juru setornya. Firman, seperti tertuang dalam dokumen audit, antara lain ditengarai menerima US$ 140 ribu dari Wahyu pada April 2019. Firman juga disinyalir meminta Wahyu mengantarkan US$ 35 ribu ke kantornya menjelang Lebaran pada Mei 2020.
Menurut pengakuan Wahyu, tim audit mencatat, tindakan ini selalu dilaporkan kepada Komisaris Utama AMU ketika mendapat panggilan dari lantai 8 Graha Askrindo. Dolar-dolar itu dibeli dari gerai penukaran valuta asing di Menteng, Jakarta Pusat.
Dari pengakuan Wahyu kepada tim audit pula terungkap bahwa Firman-lah yang diduga mengatur kickback komisi agen itu sejak awal 2019. Pada Februari 2019, Askrindo berhasil menjual premi penjaminan kredit FLPP dengan komisi sebesar 10 persen. Firman diduga menginstruksikan komisi itu dibagi-bagi: 3 persen buat AMU, 4 persen untuk Firman, dan 3 persen bagi pemimpin wilayah.
Dalam proses audit, Anton juga menyatakan bahwa Firman, Dwi Agus Sumarsono, dan Muhammad Shaifie Zein pernah mendatanginya pada Maret 2019. Dwi saat ini masih menjabat Direktur Operasional Komersil Askrindo. Sedangkan Shaifie telah dicopot dari jabatan Direktur Teknik Askrindo. Pertemuan itu membahas rencana pengeluaran biaya komisi FLPP. Kepada tim pemeriksa, Anton menyatakan bahwa dia diyakinkan oleh tiga koleganya di Dewan Direksi Askrindo tersebut bahwa komisi adalah hal yang wajar dalam industri asuransi.
Anton, yang tak bisa mengelak dalam audit, mengembalikan sebagian uang yang diduga telah ia terima sebesar US$ 529 ribu atau sekitar Rp 7,6 miliar. Masih dalam bentuk dolar, duit pengembalian itu kini terbungkus kresek merah dan tersimpan di brankas PT AMU.
Firman, yang diduga mendalangi pengaturan komisi agen dan kickback tersebut, belum merespons permintaan klarifikasi Tempo. Surat permohonan wawancara yang dikirim ke kantor PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah di gedung Primagraha Persada, Sawah Besar, Jakarta Pusat, belum berbalas. “Oh, surat buat Pak Firman,” kata Rahmat Hidayat, petugas pengamanan gedung yang menerima surat Tempo. Firman saat ini masih menjabat komisaris Askrindo Syariah, satu dari tiga anak perusahaan Askrindo.
Seperti Anton, Dwi Agus Sumarsono belum bersedia berkomentar. “Izin saya mendiskusikan dengan manajemen,” tutur Dwi lewat pesan WhatsApp, Jumat, 5 Maret lalu.
Adapun Shaifie pada Sabtu, 6 Maret, mengatakan, "Saya tidak ingat spesifik ada pertemuan itu. Saya sudah keluar sejak Juli 2020 dan belum dimintai keterangan soal ini." Sedangkan Wahyu Wisambodo mengaku sedang sakit ketika dihubungi Tempo pada Kamis, 4 Maret.
Menurut Robertus Bilitea, pemberian komisi bagi agen asuransi sebetulnya diperbolehkan. Ada tiga peraturan yang mengatur: Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah; POJK Nomor 70/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi; serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship. “Tapi karyawan perusahaan asuransi tidak boleh menerima komisi,” ucap Robertus. Hanya agen nonkaryawan yang boleh menerimanya.
Seseorang yang mengetahui audit tersebut menuturkan, klausul itulah yang diduga memicu manajemen Askrindo merawat AMU. “Agar komisi bisa keluar ke AMU dan balik ke manajemen,” kata sumber itu. Padahal, menurut audit awal, yang bergerilya menjual premi kepada perbankan dan lembaga pembiayaan sebetulnya adalah pegawai Askrindo, bukan AMU.
Direktur Utama Askrindo Dedi Sunardi menjelaskan, selama ini pegawai di unit pemasaran Askrindo bertugas memasarkan produk Askrindo. “Sementara AMU merupakan salah satu agen yang memiliki perjanjian kerja sama dengan Askrindo, yang dapat memasarkan produk asuransi Askrindo,” ujar Dedi lewat jawaban tertulis, Sabtu, 6 Maret lalu.
Menurut Dedi, terdapat 341 agen asuransi yang bekerja sama dengan Askrindo. Sebanyak 38 di antaranya berbadan hukum, termasuk AMU. Sisanya adalah 303 agen perorangan yang sudah terdaftar di Asosiasi Asuransi Umum Indonesia.
Pada 22 Desember 2020, dokumen audit yang membuka dugaan korupsi di Askrindo itu telah sampai di meja Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo. Kartika menjamin permasalahan Askrindo sudah masuk radar Kementerian BUMN. “Ini sedang diaudit investigasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,” tutur Tiko—panggilan Kartika—lewat pesan WhatsApp, Jumat, 5 Maret lalu. “Kalau terang benderang keterlibatannya, akan kami proses.”
KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTYOWATI, AISHA SAIDRA
Catatan Redaksi, Senin, 8 Maret 2021, pukul 15.34 WIB:
Manajemen PT Penas Prima Utama, memberikan jawaban tentang hubungan bisnisnya sebagai agen Askrindo, terutama soal pendapatan yang diperoleh perseroan. Menurut Direktur Penas, Puji Santoso, pendapatan bruto Penas pada 2019 hanya Rp 4,2 miliar. Dengan harga pokok operasional sebesar Rp 3,79 miliar, maka pendapatan bersih hanya Rp 422 juta. Pada tahun yang sama, laba sebelum pajak Penas sekitar Rp 13,3 juta. "Mengenai cashback ke cabang tidak ada, kami bekerja sama dengan agen lain, dan atau pihak pemberi bisnis," kata Puji Santoso, Senin, 8 Maret 2021.
(Redaksi memperbaiki sebagian dari paragraf ke-21. Sebelumnya disebutkan Penas berhasil membukukan pendapatan komisi agen dari Askrindo sebesar Rp 267 miliar pada 2019. Kalimat ini dikoreksi, "Penas menerima sebagian dari total Rp 267 miliar yang dibayarkan Askrindo sebagai komisi untuk agen non-anak perusahaan pada 2019.")
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo