Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Surplus perdagangan April 2022 mencapai US$ 7,56 miliar.
Besarnya surplus perdagangan membuat ekonomi Indonesia tetap aman.
Larangan ekspor mengancam surplus perdagangan.
KEBERUNTUNGAN masih menyertai Indonesia. Harga komoditas yang terus bertahan tinggi membuat surplus perdagangan makin gendut. April lalu, Indonesia menikmati surplus perdagangan bulanan terbesar sepanjang sejarah, US$ 7,56 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surplus perdagangan inilah yang belakangan menjadi penyelamat ekonomi Indonesia. Salah satu indikatornya, nilai rupiah tetap stabil. Hingga akhir pekan lalu, kurs rupiah bertahan di level sekitar 14.600 per dolar Amerika Serikat ketika pasar finansial di seluruh dunia sedang gonjang-ganjing karena naiknya suku bunga The Federal Reserve.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan bunga The Fed sudah mendorong realokasi dana investasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dana investasi portofolio asing berbondong-bondong keluar dengan deras. Menurut catatan neraca pembayaran Bank Indonesia, antara Oktober 2021 dan Maret 2022, dana asing yang hengkang dari pasar finansial Indonesia sebesar US$ 7,96 miliar.
Keluarnya dolar dari Indonesia yang begitu deras seharusnya membuat nilai rupiah merosot tajam. Untunglah ada aliran dolar dari surplus perdagangan yang menjadi pengganjal. Walhasil, rupiah tak turun terlalu dalam.
Stabilnya rupiah juga memungkinkan Bank Indonesia tidak menaikkan bunga rujukan, tetap 3,5 persen. Suku bunga BI yang tetap rendah menambah peluang bagi ekonomi Indonesia untuk tumbuh lebih cepat.
Kesimpulannya, besarnya surplus perdagangan inilah yang membuat ekonomi Indonesia tetap aman. Meski pasar bergejolak, rupiah bertahan stabil dan ekonomi berpeluang tetap tumbuh sesuai dengan ekspektasi pemerintah.
Namun ada risiko yang bisa mengancam bantal penyelamat itu. Harga komoditas tentu tak akan tetap tinggi selamanya. Surplus perdagangan bisa lenyap sewaktu-waktu. Selalu ada siklus naik-turun harga komoditas.
Jika tiba waktunya, harga komoditas akan kembali normal. Salah satu penentunya adalah kondisi ekonomi global. Jika dunia benar-benar mengalami resesi tahun ini, harga komoditas tentu akan ikut melorot karena menurunnya permintaan.
Selain itu, lonjakan harga komoditas kali ini terpicu invasi Rusia ke Ukraina. Sekadar contoh, harga batu bara Indonesia pada Mei 2022 melampaui US$ 275 per ton karena konflik itu. Bandingkan dengan dua tahun lalu, saat harga batu bara cuma sekitar US$ 60 per ton.
Lompatan harga jelas membawa tambahan surplus yang luar biasa karena volume ekspor batu bara dari Indonesia amat besar. Tahun lalu, misalnya, ekspor mencapai 435 juta ton. Jika perang usai dan harga batu bara kembali normal, surplus ekstra ini bakal hilang.
Ada risiko lain yang mengancam surplus neraca perdagangan. Risiko yang terakhir ini sebetulnya sungguh sangat tidak perlu terjadi. Memasuki 2022, orientasi pemerintah tiba-tiba berubah: gemar mengadopsi kebijakan proteksionis. Atas nama upaya memenuhi kebutuhan domestik, pemerintah kian kerap memberlakukan larangan ekspor.
Pelarangan ekspor batu bara dan minyak sawit merupakan dua contoh kebijakan konyol pemerintah. Betul, ada kebutuhan domestik yang sudah seharusnya menjadi prioritas industri dalam negeri untuk dipenuhi ketimbang sepenuhnya memburu keuntungan dengan mengekspor. Namun, untuk memenuhi kebutuhan itu, tentu ada mekanisme lain ketimbang kebijakan larangan ekspor secara menyeluruh.
Toh, pada akhirnya kebijakan pelarangan ekspor tak selalu berhasil mencapai hasil yang diharapkan. Pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng, misalnya, awalnya ditetapkan dengan target mematok harga minyak goreng curah di pasar domestik tak lebih dari Rp 14 ribu per liter. Pemerintah akhirnya menyerah. Larangan ekspor minyak sawit dicabut kendati harga minyak goreng curah masih di atas Rp 17 ribu per liter.
Meski sudah terantuk pelarangan ekspor minyak sawit yang gagal mencapai tujuan, pemerintah melanjutkan kecenderungan melarang ekspor berbagai komoditas. Kini malah muncul ide melarang ekspor timah, bauksit, bahkan listrik dari pembangkit berbahan bakar ramah lingkungan.
Ketika penerimaan ekspor berperan amat penting sebagai penyelamat ekonomi, sepatutnya pemerintah berhati-hati. Melarang-larang ekspor hanya akan menambah risiko yang mengancam surplus perdagangan yang menjadi bantal penyelamat ekonomi Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo