Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Lingkaran Setan Pengerem Pertumbuhan  

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

 

24 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sinyal Pasar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI tahun ini baru berjalan satu kuartal, sudah waktunya investor mencermati perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2021. Perkembangan belakangan ini membuat banyak lembaga mulai realistis, menurunkan ekspektasi dalam menyusun proyeksi. Pemulihan ekonomi Indonesia agaknya tidak akan berjalan secepat perkiraan sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada awal April lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga setengah persen, dari 4,8 persen menjadi 4,3 persen. Padahal pada saat yang sama IMF justru memproyeksikan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Bank Indonesia pekan lalu juga ikut menurunkan estimasinya, meski tak seagresif IMF. BI kini memperkirakan pertumbuhan 4,1-5,1 persen, turun 0,2 persen dari perkiraan sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa data selama kuartal I 2021 sebetulnya menunjukkan ekonomi mulai bergulir. Namun pemulihan itu sepertinya belum selaju dengan harapan. Satu indikator penting di industri perbankan malah menunjukkan ekonomi kita masih tercekik kelesuan. Per Maret 2021, penyaluran kredit perbankan mengalami kontraksi 4,13 persen jika dibandingkan dengan posisi per Maret tahun lalu.

Kredit perbankan merupakan darah perekonomian. Turunnya tingkat penyaluran kredit setahun terakhir dapat menjadi salah satu petunjuk bahwa aktivitas ekonomi lebih lesu ketimbang tahun lalu. Upaya BI menjaga bunga tetap rendah—rapat Dewan Gubernur BI pekan lalu menahan suku bunga rujukan sebesar 3,5 persen—belum mampu membuat dunia usaha bergerak lebih cepat.

Bunga sudah sedemikian rendah, kredit tak juga mengucur. Situasi perbankan secara umum juga masih sehat. Rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio per Februari 2021 masih sebesar 24,5 persen, amat jauh di atas batas aman 8 persen. Jadi apa yang menyebabkan kredit bank tidak tumbuh?

Muncullah perdebatan dan saling tuding, antara politikus, bank sentral, dan para bankir. Politikus umumnya menilai keengganan bankir mengambil risiko sebagai biang keladi rendahnya tingkat penyaluran kredit. Sebaliknya, bankir berkilah bahwa lemahnya ekonomi yang tecermin pada rendahnya permintaan dari dunia usaha merupakan sebab utamanya.

Dua hal ini sama-sama ada benarnya. Bankir memang cenderung bermain aman karena risiko kredit macet kian meningkat.

Data per Februari 2021 menunjukkan rasio kredit bermasalah memang masih 3,2 persen, sangat aman di bawah batas 5 persen. Namun indikator lain, yakni loan at risk, terus meningkat, sudah mencapai kisaran 25 persen. Sesuai dengan namanya, kredit kategori ini sewaktu-waktu bisa jatuh ke kategori kredit bermasalah akibat lesunya bisnis. Kesimpulannya, bankir bermain aman karena memang di sisi permintaan juga ada masalah. Ada kelesuan luar biasa di mana-mana.

Dan pemerintah sebetulnya juga punya andil. Bankir bisa menahan penyaluran kredit karena punya alternatif untuk mencari untung, menyalurkan likuiditasnya ke obligasi pemerintah. Dua tahun terakhir, pemerintah sangat agresif menerbitkan obligasi demi menambal defisit anggaran, masing-masing lebih dari Rp 1.000 triliun. Pemerintah memberi imbalan kupon cukup tinggi untuk obligasi itu yang membuat bank tetap untung. Maka, daripada menempuh risiko besar memberikan pinjaman kepada bisnis yang masih merana, bankir memilih sambil ongkang-ongkang kaki tetap menangguk laba dengan menempatkan dananya di obligasi pemerintah.

Fenomena ini tampak jelas pada data kepemilikan obligasi pemerintah. Sebelum pandemi, per 3 Februari 2020, perbankan nasional hanya menempatkan Rp 746 triliun di obligasi pemerintah. Tepat pada Hari Kartini tahun ini, posisinya sudah Rp 1.592 triliun, melonjak lebih dari dua kali lipat dalam 13 bulan.

Sungguh ironis. Pemerintah berutang besar karena ingin memulihkan ekonomi. Namun, nyatanya, utang itu juga mengerem pertumbuhan. Kupon tinggi obligasi pemerintah malah menjadi insentif bagi perbankan untuk tidak menyalurkan kredit. Pemulihan ekonomi tak akan melaju kencang jika lingkaran setan ini tak segera terpecahkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus