Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Kawasan Industri Batang di Jawa Tengah ditargetkan menjadi contoh kawasan industri ramah lingkungan. Direktur Utama PT Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB), Ngurah Wirawan, menyatakan bahwa kawasan yang dikelola perusahaan bakal turut mengusung konsep taman industri hijau alias eco-industrial park (EIP) yang sedang digeber Kementerian Perindustrian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan penerapan konsep itu, kata Wirawan, manajemen KITB pun bersikap selektif dalam menyaring industri yang akan menyewa lahan di Batang. Penyaringan dilakukan, salah satunya harus memenuhi syarat-syarat yang sesuai dengan konsep EIP. “Kami memilih secara ketat industri yang akan masuk, baik dari sisi bahan baku mereka, proses, produk akhir, maupun limbah yang dihasilkan,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengembangan kawasan industri Batang—yang dipopulerkan dengan nama Grand Batang City—saat ini masih terfokus di lahan fase pertama seluas 450 hektare yang biayanya mencapai Rp 165 triliun. Area pertama itu diklaim telah terjual sepenuhnya dalam dua tahun, padahal periode penjualannya sempat diperkirakan mencapai lima tahun.
KIT Batang ditargetkan menyerap total 282 ribu tenaga kerja setelah beroperasi secara penuh. Proyek strategis negara ini kerap ditonjolkan Badan Koordinasi Penanaman Modal saat melobi investor, terutama dengan adanya stimulus dalam bidang perizinan dan perpajakan yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2022.
Sampai kemarin, ujar Wirawan, sudah ada 13 entitas yang terikat perjanjian pemanfaatan tanah industri (PPTI) di Grand Batang City. Dari pemanfaatan 110 hektare lahan saja, sudah ada investasi senilai US$ 40 juta yang masuk. Jika sesuai dengan rencana, lahan fase pertama akan menjadi pusat sejumlah industri krusial, dari kimia, otomotif, tekstil, logistik, hingga teknologi komunikasi.
Menurut dia, manajemen masih akan mengeksekusi komitmen serupa dari 17 perusahaan potensial lainnya. Tanpa merincikan, dia membenarkan bahwa konsep EIP pun masuk dalam desain pengembangan lahan fase kedua, seluas 400 hektare. “Intinya, infrastruktur dan utilitas usaha yang dikembangkan sesuai dengan konsep ramah lingkungan dalam jangka panjang,” kata Wirawan.
Pembangunan salah satu pabrik di Kawasan Industri Terpadu Batang, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah, 3 Oktober 2022. BPMI Setpres/Rusman
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Eko S.A. Cahyanto, mengatakan, sebetulnya pemerintah belum mewajibkan penerapan netralitas karbon atau net zero emission dalam pengelompokan kawasan industri maupun untuk pengajuan proyek kawasan baru.
Meski begitu, dia menjanjikan konsep eco-industrial park akan dikembangkan dalam bisnis kawasan industri. “Jika pengembang kawasan industri ingin menerapkan EIP sebagai inisiatif, tentu kami persilakan,” kata Eko, kemarin.
Pemerintah belum berhenti memperluas titik kawasan industri baru di berbagai daerah. Dari data yang digalang Tempo hingga Mei lalu, sudah ada 126 lokasi kawasan industri seluas total 67.992 hektare yang dikembangkan. Besaran modal asing dan domestik yang masuk ke setiap area beragam, tapi jumlahnya bertambah dari waktu ke waktu. Sampai bulan tersebut, realisasi investasi yang masuk ke kawasan industri sudah mencapai Rp 21 triliun.
Angka itu masih akan bertambah karena Kementerian belum menghitung nilai yang masuk dari beberapa proyek kawasan baru. Kepada Tempo, Adie Rochmanto Pandiangan—bekas Direktur Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian yang kini mengisi kursi Direktur Industri Kulit dan Alas Kaki—sebelumnya menyebutkan baru sekitar 60 persen dari seluruh lahan milik 138 pemegang izin usaha kawasan industri (IUKI) yang sudah terisi oleh penyewa. Artinya, masih tersisa 29 ribu hektare tanah terbuka yang bisa dipakai investor baru.
Potensi lahan kosong itu terus dipromosikan oleh pemerintah di berbagai kesempatan, baik dalam diskusi bilateral maupun di pertemuan tingkat tinggi internasional. “Kami mencari minat investasi baru dari pameran seperti Hannover Messe atau acara kenegaraan seperti G20,” ucap dia.
Direktur Center of Economics and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, menyarankan agar persyaratan sosial lingkungan (environmental, social and governance/ESG) diperketat dalam negosiasi bisnis antara pengelola kawasan industri dan penyewa. “Konsep EIP belum didukung. Kriteria penyewa harus disusun agar sesuai ESG, baik itu pengolahan maupun sumber energi primernya.”
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo