Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
G20 mengusulkan penempatan FIF di Bank Dunia untuk mengatasi pandemi di masa mendatang.
Skema pendanaan baru untuk mengatasi kesenjangan negara maju dan berkembang.
Gubernur BI meminta G20 mendorong kebijakan moneter terintegrasi.
JAKARTA – Menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 menyelesaikan pertemuan Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) ke-2 di Washington, Amerika Serikat, pada 20 April waktu setempat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan salah satu butir kesepakatan pertemuan G20 di Washington adalah pembentukan mekanisme keuangan baru untuk mengatasi kesenjangan pembiayaan negara maju dan berkembang, termasuk untuk pencegahan dan penanganan dampak pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Sri, skema dana perantara keuangan atau financial intermediary fund (FIF) ini akan ditempatkan di Bank Dunia. “Ini adalah opsi paling efektif untuk mekanisme keuangan baru,” kata dia, seperti dikutip dari situs web Kementerian Keuangan, kemarin. Sri mengatakan Indonesia, selaku pemegang presidensi G2O tahun 2022, akan memulai proses pendirian FIF hingga mengawal diskusi seputar isu tata kelola dan pengaturan operasionalnya. Dia berharap FIF dapat selesai sebelum pertemuan tingkat menteri kesehatan G20 pada Juni mendatang. “Hal tersebut menjadi salah satu manfaat nyata dari presidensi G20 Indonesia,” ujar dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sri mengklaim Indonesia menerima dukungan penuh dari anggota G20 untuk memegang presidensi dengan agenda utama “Recover Together, Recover Stronger”. Dalam pertemuan di Washington, anggota G20 menyampaikan kekhawatiran akan tekanan inflasi sebagai dampak krisis akibat pandemi Covid-19 serta konflik antara Rusia dan Ukraina. Kondisi ini akan membuat bank sentral negara maju menaikkan kebijakan suku bunga sehingga menyebabkan pengetatan likuiditas global yang lebih cepat dari perkiraan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan Finance Ministers and Central Bank Governors G20 di Jakarta, 18 Februari 2022. Mast Irham / Pool via REUTERS
FIF merupakan skema pendanaan yang memanfaatkan berbagai sumber daya publik dan swasta untuk mendukung inisiatif internasional. Skema FIF memungkinkan negara-negara yang tergabung dalam komunitas internasional memberikan respons berupa pembiayaan jika terjadi suatu kasus atau krisis yang berdampak secara global. Bank Dunia selama ini menjadi penyalur FIF melalui berbagai cara.
Dana untuk penanganan pandemi pernah dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Roma, Italia, pada Oktober tahun lalu. Saat itu negara-negara G20 membentuk skema pandemic preparedness and response (PPR). Teknis pendanaan ini sedianya disepakati dalam presidensi G20 Indonesia yang berlangsung pada tahun ini. Untuk mewujudkan skema tersebut, anggota G20 akan membentuk Joint Finance and Health Task Force (JFHTF).
Dalam pertemuan tingkat deputi menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Bali, Desember 2021, dana penanganan pandemi diperkirakan mencapai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 215 triliun per tahun. Dana tersebut akan dipakai untuk membangun sistem kesehatan di negara berkembang, termasuk untuk pembelian vaksin dan obat. Namun, dalam pertemuan di Bali, penasihat senior Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Bruce Aylward, mendorong G20 menyediakan dana hingga US$ 23 miliar per tahun untuk menutup kesenjangan pendanaan pandemi. “Ini merupakan hal mendesak yang harus ditangani G20 di bawah presidensi Indonesia,” kata Aylward saat itu.
Selain membicarakan dana penanganan pandemi, pertemuan G20 di Washington membahas pentingnya kebijakan moneter terintegrasi untuk mendorong pemulihan ekonomi yang seimbang. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan G20 harus mendorong setiap negara untuk tidak hanya mementingkan pemulihan ekonomi di dalam negeri, tapi juga mempertimbangkan dampaknya pada negara lain. Karena itu, kata dia, kebijakan moneter yang terintegrasi sangat diperlukan, terutama oleh negara-negara berkembang. “Karena arus modal berdampak tidak hanya pada stabilitas moneter, tapi juga pada stabilitas sistem keuangan,” ujar Perry.
FERY FIRMANSYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo