Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKONOMI Indonesia tengah menghadapi dua ancaman serius karena pandemi Covid-19. Pertama, ada perdarahan devisa karena modal asing beterbangan dari pasar finansial dalam negeri untuk mencari tempat aman. Kedua, konsumsi masyarakat merosot karena wabah. Bukannya tumbuh, ekonomi Indonesia tahun ini bisa mengerut.
Masalah pertama, kaburnya dana investasi portofolio asing, sebetulnya tidak hanya menimpa Indonesia. Pasar negara-negara berkembang lain terkena pukulan serupa. Kali ini, nilai investasi yang kabur dari negara berkembang bahkan jauh lebih besar daripada kejadian serupa dalam krisis 2008. Tapi negara pengekspor komoditas seperti Indonesia terancam pukulan ganda. Sebab, keluarnya devisa dalam jumlah amat besar berbarengan dengan merosotnya pemasukan devisa imbas jatuhnya harga komoditas.
Jika dihitung sejak awal tahun hingga pekan ketiga Maret, Bank Indonesia sudah membeli obligasi di pasar sekunder senilai Rp 168,2 triliun—sekitar US$ 10 miliar. Operasi pasar ini tentu menguras cadangan devisa BI karena investor asing pada akhirnya akan menukar rupiah dari penjualan obligasi itu dengan dolar Amerika Serikat untuk mereka bawa pulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untungnya, pada pengujung pekan lalu, ada gelagat perdarahan ini akan berhenti. Kepanikan investor agak mereda karena program stimulus ekonomi pemerintah Amerika senilai US$ 2 triliun disetujui Senat. Pasar berbalik optimistis dan harga saham, dari New York sampai Jakarta, langsung melonjak. Rupiah juga turut menguat di kisaran 16.200 per dolar. Namun ada baiknya investor mewaspadai euforia ini. Belum tentu perdarahan devisa di Indonesia mereda jika solusi masalah kedua, melambatnya ekonomi, belum tersedia.
Sudah saatnya pemerintah segera mengguyurkan stimulus baru dengan cara lebih radikal. Pemerintah kabarnya tengah menimbang opsi mengguyurkan stimulus fiskal berskala besar berupa bantuan langsung tunai. Untuk membiayainya, pemerintah menerbitkan obligasi baru, tapi tidak menjualnya ke pasar. Bank Indonesia yang membeli obligasi itu. Walhasil, nilai stimulus ini bisa signifikan agar ekonomi bergerak.
Agar langkah itu tidak melanggar batas defisit anggaran 3 persen terhadap produk domestik bruto sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pemerintah tentu harus menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Di sini memang ada kontroversi. Pencabutan batas ini bisa saja menjadi bumerang pada masa depan lantaran tak ada lagi rem bagi langkah politikus di Dewan Perwakilan Rakyat ataupun pemerintah untuk membuat negara berutang demi proyek-proyek raksasa yang bagus secara politis atau menguntungkan kroni tapi membebani ekonomi. Maka harus ada batas waktu pula untuk pencabutan batas defisit. Misalnya terbatas untuk tahun ini saja, sepanjang ada wabah.
Merumuskan stimulus yang efektif sebetulnya bukan perkara rumit. Pemerintah bisa menciptakan banyak aktivitas ekonomi yang punya daya ungkit besar, langsung berdampak pada masyarakat. Sayangnya, bukannya mempercepat eksekusi opsi yang masih dalam pertimbangan itu, pemerintah masih saja keliru mengambil kebijakan. Dalam keadaan genting begini, misalnya, keluar sinyal kuat bahwa pembangunan ibu kota baru masih berjalan sebagaimana rencana.
Yang lebih runyam lagi, pemerintah malah memunculkan stimulus simpang-siur tentang kelonggaran cicilan kredit kendaraan bagi pengemudi taksi dan ojek online, juga kredit usaha kecil-menengah, selama satu tahun ke depan. Apakah industri keuangan yang harus menanggung beban itu? Bagaimana jika justru tingkat kredit macet yang kini masih terkendali malah membesar dan mencekik perbankan?
Dari pengalaman yang sudah-sudah, semestinya pemerintah sadar bahwa hal terpenting dalam penanggulangan krisis adalah menjaga sekuat tenaga agar jangan sampai ledakan kredit macet memukul industri perbankan. Sebab, jika itu terjadi, bukan hanya dua soal tadi yang tengah mengancam Indonesia. Wabah Covid-19 bisa meledakkan krisis ala 1998 yang sungguh menakutkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo