Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Peracik Jamu Spesialti

Jony Yuwono mengubah cara penyajian jamu menjadi lebih modern. Mengikuti resep Jokowi.

28 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jony Yuwono meracik jamu seperti kopi, ada spesialti dan new wave.

  • Jony mengikuti resep Presiden Joko Widodo.

  • Resepnya pernah ditawarkan ke pemlik kafe Suwe Ora Jamu.

WABAH Covid-19 membuka peluang baru bagi kafe Acaraki. Gara-gara kebijakan jaga jarak fisik (physical distancing), sebagian pelanggan meminta kedai jamu yang berbasis di Kota Tua dan Kemang, Jakarta, tersebut membuat campuran gerusan jahe, kunyit, dan temu lawak dalam kemasan yang bisa diseduh di rumah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gabungan tiga rempah tersebut mereka namai JKT 1681. Racikan ini menjadi salah satu menu jamu di Acaraki, kafe jamu yang didirikan Jony Yuwono pada pertengahan 2018. JKT 1681 adalah campuran jamu yang mereka jiplak dari resep yang dibagikan Presiden Joko Widodo di akun Instagram-nya pada Juli 2019. Jokowi mengaku meminum ramuan itu setiap hari selama 17-18 tahun demi menjaga kesehatan. “Kami coba racik, ternyata enak,” kata Jony, Selasa, 24 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Racikan tersebut mendadak menjadi primadona sejak penyakit yang diakibatkan virus corona jenis baru itu mewabah di Indonesia pada awal Maret lalu. “Penjualannya sampai tiga kali lipat sebelumnya,” ucap Ridho Putra Gunawan, salah seorang anggota staf Acaraki, Kamis, 26 Maret lalu. Jamu itu belakangan populer setelah guru besar biologi molekuler dari Universitas Airlangga, Surabaya, C. A. Nidom, mengatakan empon-empon yang mengandung kurkumin dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan mencegah kerusakan paru-paru akibat virus corona.

Jony, 35 tahun, memasukkan JKT 1681 sebagai salah satu menu jamu spesialti di Acaraki. Spesialti, dia menerangkan, berarti pelanggan yang datang langsung ke kafe bisa mengeksplorasi rasa dari bahan dasar jamu sesuai dengan permintaan. Untuk menikmati jamu beras kencur, misalnya, konsumen bisa memilih memakai beras putih, beras merah, atau beras hitam. Adapun kencur bisa dipilih dari Wonogiri, Jawa Tengah; Lampung; atau Makassar.

Pelanggan juga dapat memilih teknik penyajian. Ada pour-over dengan V60 alias saring yang menghasilkan rasa ringan tapi beraroma kental. Ada pula metode tubruk dengan French press yang menciptakan rasa sedang serta teknik manual espresso yang membuat rasa jamu lebih pekat. “Prinsipnya seperti kopi spesialti,” ujar Jony.

Selain menyediakan menu spesialti, Jony bereksperimen dengan menyuguhkan jamu new wave yang cara penyajiannya mirip dengan kopi kekinian. Kunyit atau beras kencur dicampur dengan bahan lain, seperti soda, krimer, susu, madu, dan lemon, atau disajikan bersama es krim. Berbagai teknik ini ia terapkan demi memperkenalkan potensi jamu sebagai minuman yang tak ketinggalan zaman.

 

•••

JONY Yuwono sebenarnya punya trauma dengan jamu. Ia sering dikejar-kejar ibunya agar menenggak minuman herbal tersebut ketika masih bocah. Ibunya akan menutup hidungnya, lalu mencekokinya. Ia baru terlepas dari kewajiban minum ramuan pahit itu ketika melanjutkan studi ke sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di Singapura. 

Setelah lulus menjadi sarjana niaga dari McMaster University, Kanada, pada 2006, Jony mengambil program magister di Schulich School of Business di York University, Kanada, dan tamat tiga tahun kemudian. Kemudian ia bekerja sebagai asisten manajer lapangan di Vector Marketing, perusahaan pemasaran yang berbasis di New York, Amerika Serikat.

Ia juga pernah bekerja sebagai analis keuangan di perusahaan penyedia produk nirkabel di Kanada, Wireless Trade Group, dan perusahaan konstruksi China, Communication and Construction Company. Selepas dari sana, Jony menambatkan kariernya sebagai peneliti di perusahaan konsultan, Boston Consulting Group.

Saat perusahaan ayahnya, PT Sinde Budi Sentosa, bersengketa dengan kongsi bisnis dari Singapura, Wen Ken Drug Co Pte Ltd, ia meminta dimasukkan ke Sinde pada 2011. Dua perusahaan tersebut memperkarakan hak cipta, antara lain lukisan badak dalam kemasan produk larutan penyegar. “Kapan lagi saya bisa belajar, ikut menangani masalah sebesar ini,” tuturnya.

Jony kemudian didapuk menjadi Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Jamu yang mengomandoi bidang pendidikan dan riset pada 2015. Ia merasa harus kembali belajar tentang jamu karena tanggung jawabnya itu. Dari yang ia baca, “jamu” berasal dari bahasa Jawa, jampi, yang berarti doa, dan usodo, yang bermakna kesehatan.

Seperti doa yang dilantunkan saban hari, jamu merupakan ramuan yang ditenggak rutin untuk menjaga kebugaran badan. Olahan bahan tanaman itu diracik oleh acaraki, yang berarti pembuat jamu dalam bahasa Sanskerta. Namun, belakangan, banyak iklan jamu yang justru menjanjikan kesehatan dengan cara instan.

Jony lalu melakukan survei kecil-kecilan tentang jamu dengan menanyai orang di sekelilingnya. Semua orang yang ia tanyai mengaku tahu apa itu jamu. Sebagian besar dari mereka pun sepakat bahwa jamu menyehatkan badan. Namun, ketika ia bertanya apakah mereka meminum jamu dalam sebulan terakhir, semuanya menggeleng. Kebanyakan, kata dia, ogah menenggak jamu lantaran rasanya pahit. “Tapi kopi juga pahit. Kenapa orang masih minum kopi?” ujar Jony, penasaran.

Kawannya yang pencinta kopi tak sepakat dengan Jony. Menurut sang kawan, kopi tak cuma mengeluarkan rasa pahit, tapi juga aroma, misalnya wangi buah atau bunga, sesuai dengan asal biji kopi tersebut. Aroma itu akan keluar kalau kopi diseduh dan diminum dengan cara tepat. Sedangkan jika kopi digodok, rasa yang muncul hanya pahit. Dari situ Jony berpikir, bisa jadi rasa jamu juga pahit karena diproses dengan cara digodok.

 

Beras Kencur Saring di Kafe Acaraki./Dok. Acaraki

Ia kemudian menjajal meracik jamu seperti kopi. Ketika hari libur tiba, ia meluangkan waktu ke pasar, membeli kencur, mengirisnya tipis-tipis, dan menjemurnya. Tapi berkali-kali percobaannya gagal karena panas yang tak konsisten. Ketika menggunakan oven, kencur irisannya malah gosong. “Ulang lagi prosesnya dari awal,” ucap Jony, tergelak.

Ketika akhirnya ia berhasil membuat kencur bubuk, tantangan selanjutnya adalah menyeduh. Berkali-kali ia gagal karena salah teknik penyeduhan. “Ayah yang menyemangati saya untuk tak menyerah,” ujarnya.

Setelah akhirnya berhasil, Jony menyodorkan ramuan tersebut kepada Nova Dewi Setiabudi, pemilik kafe Suwe Ora Jamu. Ia ingin cara penyajian jamu tersebut bisa dimasukkan ke menu Suwe Ora Jamu agar anak muda lebih melirik minuman herbal tersebut. Namun Nova mengatakan ia tak akan mengambil resep tersebut. “Sejak awal saya ingin menyajikan jamu yang seperti mbok-mbok jamu. Proses yang disodorkan Jony berbeda,” tutur Nova. Ia kemudian mendorong Jony membuka warung sendiri karena, menurut dia, idenya unik.

Jony akhirnya membuka Acaraki setelah melewati eksperimen hampir empat tahun. Ia mendatangkan beberapa barista dari luar Jakarta. Ridho Putra Gunawan, salah satu acaraki pertama yang bekerja di kafe itu, bercerita bahwa tugas pertamanya adalah membuat bubuk jamu, seperti yang dilakukan Jony pertama kali. Ia pun berkali-kali gagal seperti Jony. “Dia ingin kami punya semangat yang sama,” kata Ridho.

Secara hitungan ekonomi, dia melanjutkan, Acaraki belum memberikan keuntungan. Namun bosnya berpesan, tugas mereka saat ini adalah membuat masyarakat kembali melirik jamu. “Supaya masyarakat kembali mempercayai jamu,” ujar Ridho.

NUR ALFIYAH


CATATAN KOREKSI:
Artikel ini diubah pada Senin, 30 Maret 2020 untuk memperbaiki akurasinya. Dengan ini kesalahan diperbaiki. Redaksi mohon maaf.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus