Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA sepekan terhitung sejak Rabu, 18 Maret lalu, sebuah menu baru muncul di situs resmi pasar seni terbesar dunia, Art Basel. Berjudul Viewing Rooms, menu itu menampilkan semacam daftar nama galeri yang berpartisipasi dalam Art Basel Hong Kong 2020. Pada baris paling atas, misalnya, kita bisa melihat nama de Sarthe Gallery dari Hong Kong, Konrad Fischer Galerie (Jerman), dan Galerie Emanuel Layr (Austria). Ratusan nama galeri lain mengikuti. Ada satu foto dan sedikit keterangan ringkas tentang tiap galeri atau karya-karya yang mereka bawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila memencet pilihan Enter Room di bawah nama galeri, kita akan dibawa memasuki ruang virtual yang menampilkan informasi lebih jelas tentang galeri dan karya seni yang telah mereka kurasi. Tiap karya diolah secara digital agar terlihat seperti sedang dipamerkan di dinding putih sebuah galeri dengan kursi panjang di depannya. Bila kita klik foto karya yang tergantung di dinding, muncul beberapa foto tambahan yang menampakkan karya dari berbagai sisi dan dapat diperbesar beberapa kali tanpa mengurangi kualitas gambar. Tak lupa keterangan lengkap tentang seniman, ukuran karya, material, juga kisaran harga dicantumkan. Mereka yang tertarik membeli tinggal mengeklik opsi Sales Inquiry di bawah foto tiap karya untuk dapat terhubung langsung dengan galeri dan menyepakati pembelian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengunjung situs dapat berselancar sepuasnya melihat lebih dari 2.100 karya seni dari 235 galeri di seluruh dunia yang nilai totalnya mencapai US$ 270 juta. Ada kolom pencarian yang dibedakan berdasarkan nama galeri, nama seniman, dan kategori karya, seperti aliran, medium, serta kisaran harga.
Lapak digital ini adalah solusi cepat yang ditawarkan Art Basel Hong Kong setelah mereka mengumumkan pembatalan pameran fisik yang seharusnya digelar pada 19-21 Maret di Hong Kong Convention and Exhibition Centre. Pembicaraan tentang pembatalan Art Basel Hong Kong sebelumnya mengemuka selama beberapa waktu karena aksi pro-demokrasi sedang meletup di negara itu. Namun keputusan menghentikan acara akhirnya dipastikan pada awal Februari lalu, setelah wabah Covid-19 makin menyebar luas.
Keputusan itu tak hanya memukul penyelenggara Art Basel Hong Kong, yang mengembalikan 75 persen biaya sewa lokasi kepada tiap galeri peserta, tapi juga ekosistem seni Asia, yang menjadikan pasar seni ini sebagai wadah berjejaring. Art Basel, yang disebut-sebut sebagai pasar seni kontemporer terbesar dan terpenting di dunia, pertama kali digelar pada musim panas 1970 di Basel, Swiss. Saat ini, Art Basel digelar sepanjang tahun secara bergantian di Basel; Miami, Amerika Serikat; dan Hong Kong. Setiap edisi Art Basel melibatkan ratusan galeri dari seluruh dunia dan dikunjungi 80-90 ribu orang.
Patut diapresiasi bagaimana dalam waktu sebulan Art Basel Hong Kong dapat membangun infrastruktur digital untuk menggantikan format pameran fisiknya. Ini pertama kalinya pasar seni itu menjajal platform digital secara penuh. “Kami berharap dapat menginspirasi wacana tentang penggunaan sarana digital dalam ekosistem seni,” kata Direktur Global Art Basel Marc Spiegler dalam keterangan di situs mereka.
Seperti tradisi Art Basel, akses pertama terhadap karya-karya yang dipamerkan dalam online viewing room diberikan kepada anggota very important person (VIP). Dalam lapak digital ini, anggota VIP diberi keistimewaan dapat mengakses lebih dulu pada dua hari pertama. Akses baru dibuka untuk umum pada 20-25 Maret. Pengunjung umum bisa mengakses tanpa biaya, cukup dengan mendaftarkan alamat surat elektronik. Antusiasme terhadap platform digital ini terbilang tinggi, terbukti dengan terjadinya gangguan sistem selama 25 menit pada jam-jam awal akibat padatnya trafik. Sejumlah penjualan fantastis juga dicapai pada menit-menit pertama dengan lakunya lukisan cat minyak karya pelukis asal Afrika Selatan, Marlene Dumas, berjudul Like Don Quixote (2002) seharga US$ 2,9 juta yang dipamerkan galeri David Zwirner.
Dari Indonesia, ROH Projects menjadi salah satu galeri yang berpartisipasi dalam ruang pamer virtual ini. Galeri di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat, ini menampilkan sepuluh karya terpilih dari seniman representasi mereka, yaitu Aditya Novali, Arin Dwihartanto Sunaryo, Bagus Pandega, Faisal Habibi, Kei Imazu, Syagini Ratna Wulan, Syaiful Aulia Garibaldi, dan Uji “Hahan”' Handoko. Direktur ROH Projects Jun Tirtadji memuji tim Art Basel Hong Kong yang dapat memberikan solusi alternatif dalam waktu singkat. “Sehingga kini galeri dan seniman terhubung kepada khalayak dengan cara yang baru,” ucap Jun menjawab pertanyaan Tempo lewat surat elektronik.
Untuk persiapan transisi ke mode digital, ROH Projects diminta membuat tampilan yang sangat informatif dengan foto karya resolusi tinggi dan keterangan lengkap tentang karya. “Panitia sangat kooperatif dan memudahkan proses transisi ini,” ujar Jun.
Tampilan viewing room katya Jeff Koons berjudul Gazzing Ball./artbasel.com
Salah satu keuntungan dari sistem online ini adalah tiap galeri dapat selalu memperbarui karya yang mereka pamerkan. Karya yang sudah terjual bisa dengan mudah digantikan dengan judul-judul baru tanpa memusingkan ketersediaan ruang pameran. Selain itu, galeri-galeri kecil dapat memiliki posisi yang sama dengan mereka yang telah punya nama besar. Biasanya, koleksi galeri yang belum memiliki pamor dipamerkan secara berkelompok dan ditempatkan di bagian belakang lokasi pameran. Melalui platform digital ini, akses terhadap karya Jeff Koon berjudul Gazing Ball (Boticelli Primavera) senilai US$ 3 juta sama mudahnya dengan Black Prince 4.0 ciptaan Uji “Hahan” Handoko seharga US$ 10 ribu.
Selain itu, sistem ini dapat menyokong galeri-galeri yang belum mampu mengembangkan infrastruktur digital sendiri. Sistem online viewing room bukan hal yang betul-betul baru di dunia seni, tapi sejauh ini hanya galeri-galeri seni top yang mampu menggelarnya. Contohnya David Zwirner, yang telah mengembangkan platform ini sejak 2018 dan sampai sekarang terus memperbarui karya-karya yang ada di “ruang” itu. Maret tahun lalu, galeri Gagosian juga berhasil menjual lukisan Albert Oehlen seharga US$ 6 juta melalui viewing room semacam ini.
Kendati begitu, tentu terasa keterbatasan dari sekadar melihat foto karya lewat layar komputer. Ketika melihat Witnessing Pentang bikinan Bagus Pandega, salah satu karya yang diikutkan ROH Projects, misalnya. Pada foto hanya terlihat sebuah rangkaian yang terdiri atas lima panel foto sebelah mata, anggrek dalam pot, dan semacam instrumen musik di atas meja. Lalu ada kenop dan kabel berseliweran menghubungkan entah bagian apa dalam karya itu. Keterangan pada foto hanya menyebutkan materi apa yang digunakan dalam instalasi ini. Apa ia bisa berbunyi? Entahlah. Bagus mengatakan sistem online viewing ini tak berbeda dengan katalog online yang sudah biasa diluncurkan galeri atau penyelenggara pameran seni. “Padahal butuh pengalaman langsung agar suatu karya dapat menggugah,” tutur Bagus.
Jun menginginkan penggunaan platform digital ini hanya menjadi langkah sementara untuk mengantisipasi persebaran virus corona. Menurut dia, model art fair, yakni pengunjung dapat berkeliling dan mengalami langsung tiap karya seni dan membuka percakapan dengan para pengelola galeri serta seniman, sulit dipadani secara online. Direktur Asia Art Basel Adeline Ooi mengakui fasilitas online viewing room memang tak dapat menggantikan pengalaman melihat langsung karya seni. “Namun inisiatif ini dapat mendukung galeri-galeri dan seniman yang terkena dampak pembatalan pameran fisik kami,” katanya.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo