GENGSI kopra mendadak naik lagi. Bukan karena harga di dalam
negeri mengalami kenaikan, tapi dalam suasana menggalakkan
ekspor non minyak dan gas (migas), kini kopra mendapat perhatian
khusus pemerintah. "Kita akan meningkatkan ekspor komoditi
tradisional seperti karet, jagung, gaplek dan kopra," kata
Menteri Perdagangan & Koperasi Radius Prawiro di depan seminar
ekspor non migas di Hotel Borobudur Jakarta pekan lalu. Apakah
ini impian di siang bolong? Belakangan ini untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri akan minyak goreng pemerintah malah
mengimpor minyak kelapa. Selama tahun 1978 impor ini berjumlah
81.938 ton dan dari Januari s/d Mei lalu sebanyak 16.160 ton.
Jadi, apakah mungkin ?
"Mungkin," jawab M.S. Djahir, 60 tahun, Ketua I Induk Koperasi
Kopra Indonesia (IKKI). Namun dia berpendapat, ekspor itu bisa
dilaksanakan dalam jangka panjang jika ada bantuan serius dari
pemerintah untuk peremajaan tanaman kelapa. Dan yang diekspor
bukanlah kopra tapi berupa minyak kelapa. "Kalau kopra yang
diekspor, maka 132 pabrik minyak kelapa (PMK) di Jawa maupun
yang di Sulawesi akan gulung tikar semua," ujarnya. Pendapat ini
tampaknya benar. Selain harga minyak kelapa memang lebih tinggi
dan menghasilkan nilai tambah juga akan memberi hidup kepada PMK
di Jawa yang selama ini mendapat bahan baku dari Indonesia
bagian Timur itu. Namun dalam tahun-tahun mendatang hasil kopra
Indonesia diperkirakan akan terus turun. Minimal tidak bakal
mencukupi seluruh kebutuhan dalam negeri.
Pemenuhan kebutuhan minyak goreng hanya pada minyak kelapa
memang tidak sesuai lagi. Krisis kopra beberapa tahun berselang
cukup pahit dirasakan oleh PMK. Tahun 1977 harga kopra pernah
mencapai Rp 500 sekilo. Tahun lalu misalnya, dunia pabrik minyak
kelapa di Jawa kembali megap-megap. Tapi matinya 5 PMK di
Surabaya seperti diberitakan koran belum lama ini dibantah oleh
kalangan Deperdagkop dan Perindustrian. "Itu tidak benar sama
sekali," kata Suyono, Kepala Dinas Perindustrian Surabaya kepada
Dahlan Iskan dari TEMPO. Menurut Suyono, sekarang ini tak ada
problim lagi mengenai bahan baku PMK. Semua pabrik minyak goreng
maupun pabrik minyak kelapa di Suraaya tetap berproduksi.
Bahkan belakangan ini harga kopra terus menerus turun dari Rp
270 per kg (Januari 1979) menjadi Rp 254 per kg pada awal Juli
lalu. Dan harga ini diperkirakan masih bisa turun lagi mengingat
di daerah produksi (Sulawesi Utara, Tengah dan Tenggara serta
Maluku) sudah sekitar Rp 200 per kg.
Menurut suatu sumber di Deperdagkop pulau Jawa membutuhkan
minyak goreng sebesar 343 ribu ton setahun. Sedang pengadaan
minyak kelapa diperkirakan hanya sebanyak 233 ribu ton ekwivalen
minyak goreng. Kekurangan sekitar 120 ribu ton harus ditutup
dengan impor. Pemecahan lain: mendorong pabrik minyak goreng
PMG) menggunakan minyak kelapa sawit.
Untuk mendapatkannya PMG diberi jatah Deperdagkop. Langkah yang
ditempuh Deperdagkop tampaknya mendapat dukungan penuh dari
Departemen Pertanian yang membawahi PNP/PTP kelapa sawit di
Sumatera Utara. Masalah lain: PMK yang ada sekarang umumnya
sudah tua. Tidak efisien karena rendemennya rendah hanya
sekitar 56%. Rendemen yang baik adalah sekitar 68%.
Asal Ada Uang
Sampai kini sudah 99 PMG di seluruh Indonesia yang pindah
memakai bahan baku kelapa sawit. Di Jawa Timur baru 3
pabrik yang pindah haluan. Kurangnya minat ini di samping karena
harga kopra yang turun juga disebabkan selera konsumen.
"Pasarannya masih sulit," ujar Marwoso, Direktur CV Palma yang
memprodusir minyak goreng kelapa sawit. Palma mulai menggunakan
minyak kelapa sawit ini Januari lalu. Belum semua mesinnya
meminum minyak kelapa sawit, sebagian besar produksinya masih
tetap minyak kelapa. Jatah minyak kelapa sawit yang diambilnya
haru 900 ton dari keseluruhan alokasi 15.000 ton.
Lain dengan Adidjaja Suwarsa, direktur PT Uvocrine Indonesia.
Uvocrine yang menghasilkan minyak goreng cap Rose telah setahun
memproduksi minyak goreng dan margarine untuk biskuit dan roti.
Pada mulanya hanya menggunakan 100 ton minyak kelapa sawit
sebulan, kini meningkat menjadi 400 ton. "Bahan baku lancar dan
lebih murah dari minyak kelapa. "Asal ada uang, minyak kelapa
sawit tersedia dan tak ada problim," katanya. Harga produknya
pun lebih murah, Rp 6500 per kaleng isi 16 kg dibanding Rp 8500
kalau dari minyak kelapa. Lebih lagi, kata A. Suwatsa, selain
rasanya gurih, minyak kelapa sawit baik bagi kesehatan karena
menghindarkan penyempitan pembuluh darah, atau yang lebih
dikenal dengan penyakit cholesterol.
Penggantian ke bahan baku kelapa sawit juga diperkirakan akan
menghasilkan kelebihan produksi 30 ribu ton, yang kalau diekspor
akan menghasilkan devisa US$ 40 juta. Sedang kalau tetap dipakai
bahan baku kelapa, impor minyak kelapa akan menyedot devisa
sekitar US$ 170 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini