Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Baik Untuk Kesehatan Maupun Devisa

Pemerintah sedang menggalakkan ekspor non migas termasuk kopra atau minyak kelapa, tapi bahan baku kelapa semakin tidak mencukupi, maka pabrik minyak goreng mengalihkannya ke kelapa sawit. (eb)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GENGSI kopra mendadak naik lagi. Bukan karena harga di dalam negeri mengalami kenaikan, tapi dalam suasana menggalakkan ekspor non minyak dan gas (migas), kini kopra mendapat perhatian khusus pemerintah. "Kita akan meningkatkan ekspor komoditi tradisional seperti karet, jagung, gaplek dan kopra," kata Menteri Perdagangan & Koperasi Radius Prawiro di depan seminar ekspor non migas di Hotel Borobudur Jakarta pekan lalu. Apakah ini impian di siang bolong? Belakangan ini untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri akan minyak goreng pemerintah malah mengimpor minyak kelapa. Selama tahun 1978 impor ini berjumlah 81.938 ton dan dari Januari s/d Mei lalu sebanyak 16.160 ton. Jadi, apakah mungkin ? "Mungkin," jawab M.S. Djahir, 60 tahun, Ketua I Induk Koperasi Kopra Indonesia (IKKI). Namun dia berpendapat, ekspor itu bisa dilaksanakan dalam jangka panjang jika ada bantuan serius dari pemerintah untuk peremajaan tanaman kelapa. Dan yang diekspor bukanlah kopra tapi berupa minyak kelapa. "Kalau kopra yang diekspor, maka 132 pabrik minyak kelapa (PMK) di Jawa maupun yang di Sulawesi akan gulung tikar semua," ujarnya. Pendapat ini tampaknya benar. Selain harga minyak kelapa memang lebih tinggi dan menghasilkan nilai tambah juga akan memberi hidup kepada PMK di Jawa yang selama ini mendapat bahan baku dari Indonesia bagian Timur itu. Namun dalam tahun-tahun mendatang hasil kopra Indonesia diperkirakan akan terus turun. Minimal tidak bakal mencukupi seluruh kebutuhan dalam negeri. Pemenuhan kebutuhan minyak goreng hanya pada minyak kelapa memang tidak sesuai lagi. Krisis kopra beberapa tahun berselang cukup pahit dirasakan oleh PMK. Tahun 1977 harga kopra pernah mencapai Rp 500 sekilo. Tahun lalu misalnya, dunia pabrik minyak kelapa di Jawa kembali megap-megap. Tapi matinya 5 PMK di Surabaya seperti diberitakan koran belum lama ini dibantah oleh kalangan Deperdagkop dan Perindustrian. "Itu tidak benar sama sekali," kata Suyono, Kepala Dinas Perindustrian Surabaya kepada Dahlan Iskan dari TEMPO. Menurut Suyono, sekarang ini tak ada problim lagi mengenai bahan baku PMK. Semua pabrik minyak goreng maupun pabrik minyak kelapa di Suraaya tetap berproduksi. Bahkan belakangan ini harga kopra terus menerus turun dari Rp 270 per kg (Januari 1979) menjadi Rp 254 per kg pada awal Juli lalu. Dan harga ini diperkirakan masih bisa turun lagi mengingat di daerah produksi (Sulawesi Utara, Tengah dan Tenggara serta Maluku) sudah sekitar Rp 200 per kg. Menurut suatu sumber di Deperdagkop pulau Jawa membutuhkan minyak goreng sebesar 343 ribu ton setahun. Sedang pengadaan minyak kelapa diperkirakan hanya sebanyak 233 ribu ton ekwivalen minyak goreng. Kekurangan sekitar 120 ribu ton harus ditutup dengan impor. Pemecahan lain: mendorong pabrik minyak goreng PMG) menggunakan minyak kelapa sawit. Untuk mendapatkannya PMG diberi jatah Deperdagkop. Langkah yang ditempuh Deperdagkop tampaknya mendapat dukungan penuh dari Departemen Pertanian yang membawahi PNP/PTP kelapa sawit di Sumatera Utara. Masalah lain: PMK yang ada sekarang umumnya sudah tua. Tidak efisien karena rendemennya rendah hanya sekitar 56%. Rendemen yang baik adalah sekitar 68%. Asal Ada Uang Sampai kini sudah 99 PMG di seluruh Indonesia yang pindah memakai bahan baku kelapa sawit. Di Jawa Timur baru 3 pabrik yang pindah haluan. Kurangnya minat ini di samping karena harga kopra yang turun juga disebabkan selera konsumen. "Pasarannya masih sulit," ujar Marwoso, Direktur CV Palma yang memprodusir minyak goreng kelapa sawit. Palma mulai menggunakan minyak kelapa sawit ini Januari lalu. Belum semua mesinnya meminum minyak kelapa sawit, sebagian besar produksinya masih tetap minyak kelapa. Jatah minyak kelapa sawit yang diambilnya haru 900 ton dari keseluruhan alokasi 15.000 ton. Lain dengan Adidjaja Suwarsa, direktur PT Uvocrine Indonesia. Uvocrine yang menghasilkan minyak goreng cap Rose telah setahun memproduksi minyak goreng dan margarine untuk biskuit dan roti. Pada mulanya hanya menggunakan 100 ton minyak kelapa sawit sebulan, kini meningkat menjadi 400 ton. "Bahan baku lancar dan lebih murah dari minyak kelapa. "Asal ada uang, minyak kelapa sawit tersedia dan tak ada problim," katanya. Harga produknya pun lebih murah, Rp 6500 per kaleng isi 16 kg dibanding Rp 8500 kalau dari minyak kelapa. Lebih lagi, kata A. Suwatsa, selain rasanya gurih, minyak kelapa sawit baik bagi kesehatan karena menghindarkan penyempitan pembuluh darah, atau yang lebih dikenal dengan penyakit cholesterol. Penggantian ke bahan baku kelapa sawit juga diperkirakan akan menghasilkan kelebihan produksi 30 ribu ton, yang kalau diekspor akan menghasilkan devisa US$ 40 juta. Sedang kalau tetap dipakai bahan baku kelapa, impor minyak kelapa akan menyedot devisa sekitar US$ 170 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus