Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOLKATA beberapa tahun lalu adalah kota di India yang tak dilirik investor. Namun, si-tua-si berubah setelah pemerintah Negara Bagian Benggala Ba-rat—dengan bimbingan Singapura—berbenah dan menerapkan liberalisasi eko-nomi. Ibarat gadis remaja yang ranum, Kolkata kini jadi incaran para investor dari berbagai negara.
Lahan pertanian, yang dulu mendo-minasi kota, kini disulap menjadi kawasan ekonomi khusus, pusat teknologi informasi, perdagangan, dan pusat investasi asing. Berbagai nama besar pebisnis dunia membenamkan dana un-tuk membangun berbagai proyek properti di sini. Beberapa di antara me-reka adalah Grup Salim asal Indonesia, Emaar Group dari Dubai, dan Lee Kim Tah Holdings dari Singapura.
India, Cina, dan Vietnam memang te-lah berubah. Mereka berlomba mene-rapkan sistem ekonomi terbuka dan membuat kawasan ekonomi khusus de-ngan berbagai insentif untuk menjaring investor luar negeri. Kebijakan itu rupanya tak sia-sia. Perekonomian tumbuh luar biasa dan berkelanjutan.
Para pengembang dari berbagai ne-gara berdatangan. Mereka tergoda oleh besarnya permintaan rumah tinggal, perkantoran, dan jasa, seiring dengan tingginya pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut. Pengusaha properti asal Indonesia termasuk yang cukup agresif melakukan ekspansi ke sana.
Di Cina, misalnya. Sejumlah grup bisnis asal Indonesia, seperti Salim, Sinar Mas, dan Lippo, telah memiliki peru-sahaan atau divisi yang bergerak di bidang properti. Hantaman krisis ekonomi pada 1997 tak membuat para konglo-merat itu bangkrut. Mereka justru semakin berkibar di negara lain.
Grup Salim, misalnya, membeli 49 persen saham Cosco Property Co. Ltd. pada 2002—perusahaan yang kemudian diubah namanya menjadi Cosco Salim Group Co. Ltd. Untuk membeli saham BUMN Cina itu, Anthoni Salim ber-sa-ma ayahnya, Liem Sioe Liong, mendirikan perusahaan di British Virgin Islands yang diberi nama Indonesian Company Success Medal International Limited.
Dengan bendera Cosco Salim Group, mereka dikenal sukses mengembang-kan berbagai proyek, seperti Cosco Liangwan City di Shanghai dan Asian Forum Center di Boao, Hainan. Menurut kantor berita Xinhua, konglomerat yang dekat dengan keluarga Cendana itu berniat meningkatkan investasi properti di ne-gara yang memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata 9 persen per tahun itu.
Selain jaya di Cina, Salim juga ber-kibar di India. Bersama Grup Ciputra dan Universal Success dari India, Salim kini mengembangkan Kolkata West International City seluas 158 hektare di Kolkata. Dengan total investasi sekitar US$ 330 juta, mereka akan membangun perumahan, apartemen, pusat belanja, perkantoran, sarana pendidikan, rumah sakit, hingga hiburan.
Grup Sinar Mas tak mau ketinggal-an. Grup bisnis yang dikendalikan oleh Eka Tjipta Widjaja ini malah melangkah lebih awal. Pada 1993, untuk memenuhi tingginya permintaan apartemen dan perkantoran, mereka membangun Bund Center di Shanghai. Bund adalah proyek prestisius untuk perhotelan, perkan-tor-an, dan apartemen dengan ketinggi-an 50 lantai. Tahun 2002, proyek itu di-resmikan.
”Shanghai adalah pusat bisnis dan pelabuhan dagang utama di Cina,” ujar Frankle Widjaja, Presiden Direktur Shanghai Golden Bund Real Estate Co. Ltd. Dengan Bund Center, putra Eka T-jipta ini siap menghadapi target Shanghai menjadi pusat keuangan dan perdagangan dunia 2010.
Selain Beijing dan Guangzhou, Shang-hai kini menjadi kota metropolitan terpenting di Cina. Di sana, bangunan pro-perti tumbuh menjamur. Wajah kota pun terus berubah karena gedung-gedung baru selalu bermunculan. ”Bahkan ada anekdot, setiap hari muncul satu gedung baru di Shanghai,” ujar Direktur Grup Sinar Mas, Gandi Sulis-tiyan-to, yang berkunjung ke Shanghai dua b-ulan sekali.
Gandi mengakui Grup Sinar Mas termasuk salah satu pengusaha asal Indonesia yang mengembangkan sayap bisnis properti di Shanghai. Namun, dia mengingatkan bahwa proyek properti di sana juga dibiayai oleh bank-bank dari Cina. Mereka tidak mengandalkan dana dari perbankan di Indonesia. ”Manajemennya juga berbeda,” ujar Gandi.
Selain Cina dan India, Vietnam juga menjadi sasaran ekspansi pengusaha pro-perti asal Indonesia. Grup Ciputra malah sudah jauh-jauh hari melebarkan sayap ke Vietnam. Diawali dengan membangun Hotel Horison berbintang lima 12 tahun lalu, Ciputra kemudian membangun Hanoi International City.
”Proyek-proyek itu sedang menyongsong masa depan yang cerah karena permintaan properti terus melonjak,” ujar Ciputra kepada Tempo pekan lalu. ”Saat ini, kami mulai membangun ko-ta-kota baru di Vietnam.”
Namun, Ciputra bukan cuma terpaku di Vietnam dan India. Dia sudah a-ncang-ancang untuk ekspansi ke negara lain. Ciputra, misalnya, sudah melakukan survei ke Cina, Malaysia, Kamboja, Pakistan, Uni Emirat Arab, Qatar, Li-b-ya, dan Nigeria. ”Ada peluang bisnis di sana. Apalagi, mereka punya minyak. Setidaknya kami bisa memperoleh satu proyek dalam setahun,” kata Ciputra.
Kendati begitu, ekspansi para peng-usaha Indonesia ke mancanegara, tak bisa dimungkiri, telah menuai kritik sejumlah kalangan. Para politisi menilai langkah mereka tidak nasionalistik. Sebaliknya, kalangan pengusaha dan praktisi properti melihatnya sebagai hal wajar. ”Itu pertimbangan bisnis. Mereka ingin memperbesar pasar,” ujar Budhi Gozali, Wakil Presiden Direktur Coldwell Banker Property Indonesia.
Bagi Ciputra, ekspansi ke negara lain bukan sekadar bernilai bisnis, namun juga citra. Dalam pandangannya, langkah ekspansi para taipan asal Indonesia justru membanggakan. Apalagi jika mereka menggunakan sumber daya Indonesia, konsultan, kontraktor, dan pro-duk-produk Indonesia. Mereka bukan jago kandang.
”Saya senang dengan kiprah peng-usaha nasional yang menggunakan na-ma Indonesia di luar negeri,” kata Ci-putra. Dia membandingkan dengan per-usahaan Singapura, Malaysia, Filipi-na, dan Thailand yang berekspansi ke Indonesia. ”Jangan lupa, sampai saat ini hampir 200 perusahaan Malaysia sudah berusaha di negara kita.”
Menanam uang di negeri orang, kampung sendiri dilupakan jangan. Be-tapa-pun, lebih menguntungkan bagi Indo-ne-sia jika pengusaha besar itu me-ngem-bangkan bisnisnya di sini. Bersa-ma para investor asing, mereka bisa mendongkrak pertumbuhan eko-nomi sehingga mengurangi pengangguran yang menjadi beban besar negara. ”Namun, itu sangat bergantung pada ke-bijakan investasi pemerintah,” ujar Budhi Gozali.
Untuk itu, Budhi menyarankan agar pemerintah terus membenahi iklim investasi supaya lebih kondusif, seperti memangkas birokrasi dan mengubah peraturan agraria. Orang asing diizin-kan memiliki apartemen, bukan seka-dar menyewa untuk jangka waktu tertentu. Itu dilakukan di Singapura, Malaysia, Australia, dan negara lainnya.
Malaysia malah memiliki ga-gasan cerdik. Negara ini menyediakan 1 juta hunian bagi calon pembeli properti asal Cina. Para pembeli properti de-ngan minimum harga tertentu bisa memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Meski bukan surat bukti warga negara, de-ngan identitas itu para pendatang akan mendapat kemudahan tinggal, ke-luar-masuk negara, dan membeli produk tertentu seperti mobil. ”Jika itu dilakukan, pembangunan properti di Indonesia akan booming,” kata Ciputra.
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo