Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Diteken pun Tetap Molor

DPR menolak rancangan undang-undang perpajakan yang dikirim ulang Menteri Keuangan. Jauh meleset dari target.

17 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESTA kemenangan itu tampaknya harus ditunda. Perjuangan gerilya tiga tahun para pengusaha dalam mewujudkan rancangan undang-undang perpajakan, yang sudah lolos dari tangan pemerintah pada awal Juni lalu, rupanya terhadang di Senayan. Para wakil rakyat menolak membahasnya.

Alasannya, seperti dikemukakan Ke-tua Panitia Kerja RUU ini di DPR RI, Max Moein, Rabu pekan lalu, adalah ditabraknya prosedur ketatanega-raan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. ”Kami anggap revisi itu tak ada,” anggota Komisi Keuangan dan Perbankan, Dradjad Wibowo, menambahkan.

Pangkal soalnya adalah surat pengantar RUU dari Sri Mulyani. Sebagai pembantu presiden, Sri Mulyani dianggap tak layak menganulir tiga bundel RUU yang dikirim Presiden Yudhoyono ke DPR, 31 Agustus tahun lalu. ”Bagaimana mungkin surat Presiden bisa dibatalkan menterinya?” ujar Max.

Sebaliknya, Menteri Keuangan me-nga-takan telah berkonsultasi dengan Presi-den -dan Menteri- Sekretaris Negara -soal kemungkinan mengajukan surat atau amanat presiden yang baru sebagai peng-antar RUU itu. ”Kami punya target tahun depan undang-undang pajak yang baru sudah bisa dijalankan,” katanya. Karena itu, apa pun yang diinginkan DPR akan dipenuhinya. ”Yang penting, DPR melanjutkan pembahasan.”

Prosedur administrasi ketatanegara-an ini memang akan langsung beres bila Presiden bersedia ”menutup” khi-laf yang dilakukan Sri Mulyani dengan meneken surat baru. Tapi, banyak yang curiga, penolakan DPR sebenarnya jauh lebih dalam dan menyangkut pula soal-soal substansi dari revisi yang diajukan.

Sejak awal, aroma kepentingan kelompok bisnis seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Asosiasi Peng-usaha Indonesia (Apindo) memang kuat dalam butir-butir revisi yang disampaikan Menteri Keuangan. Ketua Umum Apindo, Sofjan Wanandi, menilai revisi itu sudah mengakomodasi 70-80 persen kepentingan pengusaha.

Karena itu pula Ketua Umum Kadin, Mohamad S. Hidayat, sempat menyanjung Sri Mulyani dan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution. Para penerbit dan pengelola reksa dana adalah salah satu pihak yang turut merayakan revisi itu, karena usulan pajak atas dividen reksa dana sebesar 15 persen dicabut. Penurunan tarif pajak penghasilan secara bertahap juga disambut gembira.

Tuntutan pengusaha agar posisi wajib pajak dan aparat dibuat lebih setara, juga dipenuhi. Antara lain dengan pe-negasan di Pasal 36A: aparat pajak yang menyalahgunakan wewenangnya seperti memeras dan memperkaya diri diancam dengan ketentuan pidana (KUHP) dan pasal-pasal Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ini berbeda dengan rancangan lama, yang hanya menyediakan kemungkin-an sanksi melalui mekanisme internal Departemen Keuangan. Beberapa kewenangan aparat yang di-anggap berlebihan pun diperlunak.

Yang terpenting adalah keten-tuan yang mengatur soal dispute settlement atau perselisihan atas nilai pajak. Dalam revisi itu, wajib pajak tak lagi diharuskan membayar sesuai ketetapan sepihak aparat, tapi cukup sebanyak nilai yang disetujuinya. Setelah itu baru ke pengadilan.

Sofjan Wanandi menilai penolakan DPR karena alasan prosedural itu sebenarnya tak perlu. ”Itu kan karena mereka ingin menunjukkan eksistensi saja,” ujarnya.

Melesetnya target itu memang hampir bisa dipastikan. Karena itu, bahkan untuk sekadar diminta komentarnya pun Max Moein tak bersedia, sepanjang itu menyangkut substansi perubahan itu. ”Bagaimana mau komentar?” katanya. ”Terima saja belum.”

Tapi ia menuding molornya target itu sebagai kesalahan pemerintah sendiri. ”Ini untuk pertama kalinya dalam sejarah,” katanya soal penarikan dan revisi RUU itu. Efeknya, jelas, panjang. Proses yang sudah melaju harus kembali ke titik nol lagi.

Panitia Khusus, kata Max, juga harus mengulang rangkaian sosialisasi RUU itu ke daerah-daerah, seperti yang sebelumnya mereka lakukan dengan rancangan lama. ”Dulu ke sepuluh kota,” ujarnya. ”Dan anggaran DPR untuk itu tak ada lagi.” Max bahkan tak yakin RUU ini akan rampung dibahas hingga akhir tahun depan.

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus