SETELAH petani cengkeh terbungkuk-bungkuk ditimpa harga yang kelewat rendah, kini banyak pihak yang katanya siap membantu mereka. Uluran tangan pertama datang dari Grup Humpuss, yang membentuk PT Bina Reksa Perdana (BRP) di tahun 1988. BRP sengaja didirikan, terutama untuk membantu PT Kerta Niaga dalam menyangga harga cengkeh. Dengan kehadiran BRP di arena transaksi cengkeh, diharapkan nasib petani bisa tertolong. Tapi, ada yang terjadi? Belum sampai dua tahun BRP beroper- asi, muncul keluhan dari para konsumen cengkeh terbesar. Siapa lagi, kalau bukan pabrik-pabrik rokok. Kasarnya, para pengusaha rokok itu menganggap BRP tidak layak sebagai penyangga harga cengkeh. Selain dinilai tidak memiliki ke- pentingan langsung, BRP mereka pastikan menekan harga cengkeh -- yang memang sudah rendah itu. Setidaknya, itulah yang bisa dimonitor dari satu sumber di Gappri (Gabungan Pengusaha Pabrik Rokok Indonesia). Selanjutnya, bulan lalu Gappri mengajukan sebuah usul kepada Pemerintah. Mereka, para pengusaha pabrik rokok itu, berniat mendirikan sebuah badan usaha yang juga bertujuan menyangga harga cengkeh. Caranya? Ketua Gappri, Y.P. Sugiharto Prayogo, mengatakan bahwa perusahaan itu akan dimodali oleh beberapa pabrik rokok. Fungsinya: melakukan pembelian cengkeh apabila harganya jatuh di bawah harga dasar, yang Rp 6.500 per kilo. Tapi, jika harga si emas hitam sama dengan harga dasar yang ditetapkan Pemerintah, atau bahkan di atasnya, perusahaan bentukan Gappri ini tidak akan melakukan pembelian. Artinya, para petani bebas menjual hasil produksinya kepada siapa saja yang berani membayar lebih mahal. Tampaknya, misi yang dibebankan Gappri kepada calon perusahaan penyangga itu cukup mulia: yakni mengangkat nasib petani cengkeh, yang selama ini diimpit harga Rp 3.000 - Rp 3.500 per kilo. Tapi rupanya Gappri harus bersabar karena usul yang canggih itu sampai sekarang belum mendapat tanggapan dari pemerintah. Bahkan menurut sebuah sumber di Departemen Perdagangan, usul tersebut telah dipetieskan. Sugiharto sendiri berkomentar, "Karena tidak ada tanggapan, kami pun menganggap usul itu telah ditolak." Kalau itu benar, timbullah satu tanda tanya besar. Belum lama berselang, ketika nama BRP mengorbit pada awal tahun ini, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kumhal Djamil, pernah berucap, "Swasta mana pun, asal punya SIUP, boleh melakukah cengkeh." Maksudnya? Ya, tak lain agar Pemerintah tak perlu repot-repot lagi menyediakan dana untuk pengendalian harga cengkeh. Dan sebegitu jauh, sikap Pemerintah agaknya tidak menyimpang dari apa yang dikatakan Kumhal. Bukankah, katanya, swasta mana saja boleh melakukan cengkeh, asalkan punya SIUP? Nah, persyaratan satu itulah yang agaknya belum dipenuhi Gappri. Sebaliknya, gelagat mendiamkan usul Gappri bisa saja tidak lantaran soal SIUP itu. Bisa juga karena pelbagai alasan lain, yang membuat Menteri Perdagangan Arifin Siregar lebih suka tidak banyak bicara. Memang, ada yang meragukan peran BRP akan menaikkan gengsi petani cengkeh. Menurut sebuah laporan dari Trade Promotion Board di Singapura, selama ini BRP telah memanfaatkan salah satu mitranya di Sulawesi (PT Sinar Utara Agung) untuk melakukan pembelian cengkeh dengan harga Rp 2.500 - Rp 3.000 per kilo. Kabarnya, dari operasi itu Sinar Utara kini memiliki stok cengkeh Zanzibar hingga 4.000 ton. Benarkah? Inilah yang harus dibuktikan lebih dahulu. Bukan hanya BRP yang tahun ini menurut presiden komisarisnya Tommy Hutomo Mandala Putra, menyediakan dana Rp 1,5 trilyun untuk memborong cengkeh -- yang kelak bisa dituduh sebagai penyebab jatuhnya harga cengkeh. Tapi juga pabrik rokok itu sendiri. Konon, melalui beberapa kaki tangannya, para konglomerat kretek ini pun melakukan pembelian cengkeh di berbagai lumbung, dengan harga yang sangat miring. Budi Kusumah, Bambang Aji, Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini