Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi
Grup Bakrie

Berita Tempo Plus

Habis Terang, Terbitlah Gelap

Perjanjian jual-beli dua tambang batu bara Grup Bakrie senilai Rp 29 triliun berantakan. Ambisinya menjadi raksasa energi terancam.

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Habis Terang, Terbitlah Gelap
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEWI Fortuna rupanya tak sedang berpihak pada kera-jaan bisnis Grup Bakrie. Setelah be-lepotan banjir lumpur Sidoarjo menguras ratusan miliar ru-piah brankas Lapindo Brantas Inc., kini gi-liran kesepakatan megatransaksi penjualan dua perusahaan batu baranya kandas di tengah jalan.

Dua anak perusahaan PT Bumi Resources Tbk. yang semula bakal dilego itu adalah PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia. Dalam kesepakatan jual-beli yang ditandatangani pada 16 Maret lalu, keduanya—plus PT Indocoal, perusahaan yang menangani ekspor batu bara—akan dibeli oleh Renaissance Capital lewat PT Borneo Lumbung Energi seharga US$ 3,2 miliar.

Kesepakatan transaksi senilai hampir Rp 29 triliun ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara untuk tahun ini. Nilainya pun di atas penjualan saham PT HM Sampoerna Tbk. oleh Putera Sampoerna ke Philip Morris, pada April 2005, yang ”cuma” Rp 18,6 triliun. Namun, ”Kesepakatan itu sudah dibatalkan,” kata Geroad Jusuf, Sekretaris Per-usahaan Bumi, kepada Tempo, Kamis malam pekan lalu. Surat penjelasan pun sudah dikirimkannya ke Bursa Efek -Jakarta sore harinya.

Sebelum surat dibuat, siang hari-nya direksi Bumi melaporkan kesepakatan pembatalan transaksi itu dalam rapat dengar pendapat dengan direksi BEJ. Dalam siaran pers keesokan harinya, tak dijelaskan apa alasan penyebab pem-ba-talan itu. Hanya disebutkan keputus-an diambil berdasarkan kesepakatan -de-ngan Borneo.

Dijelaskan pula bahwa Bumi telah menerima sejumlah tawaran tidak resmi dari pembeli potensial lainnya, termasuk asing. ”Proposal mereka ditujukan untuk kepemilikan saham minoritas,” kata Geroad.

Keputusan pembatalan itu tampaknya lebih cepat dari rencana semula. Direktur Bumi, Eddie J. Sobari, ketika dihubungi Tempo, Rabu lalu, masih menyatakan keputusan final baru akan dibuat dalam rapat pemegang saham KPC, 30 Agustus mendatang.

KPC dan Arutmin sesungguhnya me-rupakan dua permata Bumi Resources. Produksi batu bara yang dihasilkan dua perusahaan tambang di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan ini tahun lalu mencapai 44,9 juta ton. Cadang-an batu bara KPC bahkan disebut-sebut salah satu yang terbesar di dunia. Namun, Bakrie memutuskan menjualnya dengan harapan mendulang keuntung-an berlipat ganda.

Dilihat dari kesepakatan nilai pen-jualan US$ 3,2 miliar dengan Borneo, Bakrie memang bakal ketiban rezeki nomplok. Keuntungan yang bakal diraupnya hampir lima kali lipat dari bia-ya pembelian kedua perusahaan itu, yang masing-masing hanya US$ 500 juta dan US$ 180 juta.

Tapi, apa mau dikata. Mimpi indah itu kini sementara harus dikubur. Hasratnya untuk menjadi raksasa energi di Asia Pasifik lewat sederet rencana ekspansi bisnisnya di bidang energi dan sumber daya alam pun sedikit-banyak bakal kedodoran. Belum lagi adanya kebutuhan dana untuk mengganti kerugian bencana lumpur Sidoarjo yang diperkirakan bakal menelan biaya sekitar US$ 100 juta (sekitar Rp 900 miliar).

u u u

SPEKULASI bakal terjadinya pembatalan transaksi ini sebetulnya sudah merebak sejak awal Juli lalu. Ketika itu, seperti diberitakan IFR Asia, tersiar kabar bahwa Renaissance Capital berkeinginan menegosiasikan ulang nilai transaksi. Gara-garanya, rapor keuang-an KPC dan Arutmin pada semester pertama tahun ini tak secerah yang diharapkan. Gambaran itu juga yang di-sampaikan Credit Suisse First Boston kepada para calon kreditor yang diajak-nya ikut mendanai Borneo dalam transaksi ini.

Menurut lembaga keuangan internasional itu, laba KPC dan Arutmin dalam setahun—di luar perhitungan bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi—diperkirakan cuma sekitar US$ 300 juta. Padahal, semula ditaksir bisa mencapai US$ 400 juta - 475 juta. ”Karena itulah, Renaissance menganggap nilai transaksi kelewat mahal,” kata sumber Tempo.

Keraguan para kreditor kian besar ketika arus kas Bumi Resources juga dikabarkan sedang payah. Seperti dilaporkan Financial Times, awal Agustus lalu, Bumi menunggak pembayaran ke sejumlah pemasok, termasuk PT Trakindo, distributor mesin Caterpillar di Indonesia. Geroad memang menampik kabar miring ini. ”Trakindo pun sudah membantah,” ujarnya. Tapi, bagaimana dengan para pemasok lainnya? ”Itu cuma persoalan pengaturan jadwal pembayaran saja,” katanya.

Menilik laporan keuangan Bumi per Maret lalu, tak bisa dimungkiri salah satu unit bisnis utama Grup Bakrie ini kini memang sedang dihadapkan pada persoalan bolong utangnya yang kian lebar. Jumlahnya kini mencapai US$ 1,6 miliar (sekitar Rp 14,4 triliun)—tak jauh beda dengan asetnya yang cuma US$ 1,87 miliar.

Beban ini kian berat karena utang jangka pendeknya terus membengkak. Per Maret lalu, nilainya sudah mencapai lebih dari separuhnya, yakni US$ 835 juta. Sedangkan aset lancarnya hanya US$ 597 juta.

Tanda-tanda bakal gagalnya ”superdeal” Bakrie ini kian kentara ketika dering alarm kembali nyaring dibu-nyikan CSFB, dua pekan lalu. Lewat surat elektronik yang dikirimkannya ke para calon kreditor, pada 17 Agustus lalu, disebutkan bahwa pihaknya sedang mengupayakan pencarian dana talang-an baru untuk menutup utang Indocoal dan Indocoal Finance senilai US$ 800 juta, yang jatuh tempo akhir bulan -depan.

Dalam surat elektronik itu, seperti dilansir IFR Asia (19 Agustus), CSFB menjelaskan dana ini akan digunakan seandainya, hingga akhir Agustus, Renaissance tak kunjung bisa mengumpulkan US$ 3,2 miliar untuk melunasi transaksi. ”Ini jelas sebuah pertanda bahwa akuisisi KPC dan Arutmin bakal batal,” kata seorang bankir investasi asing kepada Tempo. Benar-tidaknya spekulasi itu, Direktur CSFB Indonesia, Rizal Gozali, enggan berkomentar. ”Proses transaksi belum final,” katanya, Kamis siang pekan lalu.

Sejak kesepakatan awal transaksi- ini diteken, pertengahan Maret lalu, ba-nyak kalangan sesungguhnya sudah meragukan proses jual-beli bakal berjalan mulus. Munculnya nama Renaissance sebagai calon pembeli dalam transaksi raksasa ini mengundang sejumlah tanda tanya.

Renaissance memang tak cukup po-puler. Perusahaan investasi ini didirikan oleh Samin Tan setelah pengusaha berkebangsaan Malaysia ini tak lagi bekerja di Deloitte Touche Tohmatsu-. Kabarnya ia hengkang dari perusahaan keuangan internasional itu setelah namanya ikut ”terseret” kisruh tender penjualan PT Indomobil oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional, pada 2001. Saat itu Deloitte berperan sebagai penasihat keuangan BPPN.

Kedekatannya dengan keluarga Bakrie-lah yang kemudian membuatnya dipercaya menjadi calon pembeli KPC dan Arutmin. Apalagi ia pernah ikut membantu Grup Bakrie saat mengakuisisi 100 persen saham KPC dari Rio Tinto dan BP Plc., tiga tahun silam.

Persoalannya, untuk transaksi senilai US$ 3,2 miliar itu, tak sepeser pun dana dipunyai Renaissance. Pembiaya-an sepenuhnya mengandalkan kucuran dana investor dan kreditor yang dibagi dalam dua skema: pembiayaan pembelian saham senilai US$ 1,1 miliar, dan pembelian utang US$ 2,1 miliar.

Untuk pembelian saham, ia melirik sejumlah perusahaan internasional-, termasuk Farallon Capital (Amerika- Serikat) dan Marubeni Corporation (-Je-pang). Iming-imingnya, jika mereka mau menggelontorkan US$ 1,1 miliar, mereka akan mendapat jatah 49 persen saham. Sedangkan 51 persen sisanya di tangan Renaissance. ”Tawaran ini jelas tidak menarik,” kata seorang bankir investasi. ”Lain halnya kalau ditawari menguasai saham mayoritas.”

Skema kedua, menyangkut pencarian dana untuk pembelian utang, ternyata juga tak membuahkan hasil. Sejumlah lembaga pengelola investasi dan bank yang sudah didekati CSFB, termasuk UOB Bank, akhirnya mundur teratur. Gara-garanya, ya, itu tadi, adanya ber-bagai persoalan keuangan yang mem-belit Bumi dan tiga unit perusahaan batu -baranya itu. ”Reputasi Grup Bakrie sedang diuji,” kata bankir tadi.

Metta Dharmasaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus