Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan, Badan Pangan Nasional (Bapanas) I Gusti Ketut Astawa menanggapi soal kekecewaan petani ihwal batas atas harga pembelian pemerintah (HPP) beras dan gabah yang telah disepakati kemarin. Ketut mengklaim pemerintah justru menetapkan HPP tersebut untuk melindungi petani dan mengendalikan inflasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sejatinya kami ingin melindungi petani sendiri dalam rangka menjaga harga pada saat musim panen. Bulog juga harus menyerap untuk cadangan pangan, jadi sekaligus juga untuk menjaga agar harga wajar bagi petani, Bulog, dan semuanya," kata dia kepada Tempo, Rabu, 22 Februari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun harga batas atas gabah kering panen di tingkat petani ditetapkan sebesar Rp 4.550 per kilogram. Kemudian GKP tingkat penggilingan Rp 4.650 per kilogram, Gabah kering giling (GKG) tingkat penggilingan Rp 5.700 per kilogram, dan beras medium di gudang Perum Bulog Rp 9.000 per kilogram.
Kemudian harga batas bawah atau floor price pembelian gabah atau beras yang ditetapkan masih mengacu pada HPP beras berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020, yaitu GKP tingkat petani Rp 4.200 per kilogram, GKP tingkat penggilingan Rp 4.250 per kilogram, GKG tingkat penggilingan Rp 5.250 per kilogram, dan beras medium di gudang Perum Bulog Rp 8.300 per kilogram.
Ia menjelaskan pemerintah melalui Bapanas menetapkan batas atas harga pembelian karena kini gabah masih cenderung mahal. Ketut mengklaim, sebelum kesepakatan HPP dibuat harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani mencapai Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per kilogram.
Harga beras medium pun terus naik menembus Rp 12.000 per kilogram. Alternatif beras premium juga masih Melejit di angka Rp 13.000 sampai Rp 17.000 per kilogram. Artinya, ujar Ketut, ada kecenderungan kenaikan harga yang terus menerus tak karuan.
Di sisi lain, ia mengungkapkan stok di penggilingan padi kini sudah berkurang, baik di penggilingan kecil maupun besar. Kondisi itu akan mendorong terjadinya perebutan padi oleh perusahaan penggilingan padi besar dan penggilingan padi kecil. Persaingan itu pun akan membuat harga naik tanpa terkendali.
Ketut mencatat ada beberapa penggilingan padi besar yang bisa menguasai pasar apabila batas atas harga pembelian gabah dan beras tidak ditetapkan. "Kalau kami tidak kendalikan, maka penggilingan padi besar akan mendapatkan padi yang lebih banyak ketimbang penggilingan padi kecil, karena uangnya lebih banyak," ujarnya.
Sementara itu, ia mengaku sudah diwanti-wanti oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk mengendalikan inflasi. Seperti diketahui, beras adalah salah satu komoditas utama penyumbang inflasi.
Selain itu, Bapanas juga menetapkan batas bawah harga pembelian untuk mengantisipasi turunnya harga gabah dan beras pada puncak panen raya Maret hingga April nanti. Ketut menuturkan gabah sudah pasti turun ketika memasuki panen raya. Bahkan, kata dia, harganya bisa di bawah batas harga pembelian Bulog yang lalu, Rp 4.200 per kilogram.
Kondisi tersebut berbahaya bagi petani. Karena itu, ia berharap dengan disepakatinya besaran HPP gabah dan beras, maka harga di hulu atau tingkat petani terjaga dan harga beras di hilir bisa mencapai angka yang wajar atau terjangkau.
Sebelumnya, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai HPP beras dan gabah yang telah ditetapkan oleh Bapanas tak sesuai harapan petani karena masih terlalu rendah. Ia mengatakan besaran HPP tersebut tidak sesuai dengan biaya yang ditanggung oleh petani, seperti besaran upah tenaga kerja, sewa lahan, dan sewa peralatan.
Henry membeberkan upah tenaga kerja saat ini berkisar Rp 120 ribu sampai Rp 150 ribu per hari. Kemudian biaya sewa lahan yang berkisar Rp 3-4 juta per hektare. Biaya sewa peralatan sekitar Rp 400 ribu per hektare. Menurutnya, rata-rata petani memerlukan biaya Rp 1,5 juta ketika menyewa peralatan untuk seluruh lahan garapannya.
"Terus biaya panen belum dihitung rata rata Rp 3 juta per hektare, bahkan di lain daerah masih ada biaya angkut,” tutur Henry.
Menurut Henry, harga yang ditetapkan juga memberikan celah bagi korporasi besar untuk membeli hasil panen petani dengan harga yang murah. Selain itu, ia memperkirakan korporasi besar akan mengolah dan menjual beras dengan harga beras premium sehingga harganya pun melonjak di level konsumen.
Dia pun menilai HPP beras dan gabah ini tidak representatif karena petani tidak dilibatkan dalam perumusannya. Berdasarkan dokumen lembar kesepakatan yang diterima Tempo, Bapanas hanya melakukan rapat koordinasi dengan Perum Bulog, Satgas Pangan Polri, PT Food Station Tjipinang Jaya, Perkumpulan Penggilingan dan Pengusaha Beras Indonesia, dan sejumlah korporasi besar beras di Indonesia.
Perusahaan tersebut adalah PT Wilmar Padi Indonesia, PT Surya Pangan Semesta, PT Buyung Poetra Sembada Tbk, PT Belitang Panen Raya, dan Menata Citra Selaras.
Pilihan Editor: Jatuh Bangun Merpati yang Kini Disuntik Mati Presiden Jokowi