Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyatakan beras dan rokok kretek filter merupakan dua komoditas yang paling berkontribusi terhadap kemiskinan. Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan data mencatat temuan ini baik di perkotaan maupun perdesaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data year on year pada September 2017 mencatat, beras menyumbang 18,8 persen terhadap garis kemiskinan di perkotaan. Sedangkan di perdesaan, bahan makanan pokok ini menyumbang 24,52 persen terhadap garis kemiskinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yang paling penting menjaga harga beras untuk masyarakat perdesaan, karena sumbangannya besar," kata Bambang di kantornya, Jakarta pada Selasa, 9 Januari 2018.
Adapun rokok kretek filter sama-sama menempati posisi kedua setelah beras. Rokok kretek filter menyumbang 9,98 persen kemiskinan masyarakat perkotaan dan 10,70 persen kemiskinan masyarakat perdesaan. Bambang berujar, bukan berarti masyarakat bisa meminta pemerintah menurunkan harga rokok, tetapi tidak merokok sebab barang tersebut dapat menyebabkan kemiskinan. "Selain beras, rokok juga bisa membuat orang miskin," kata Bambang.
Selain kedua barang tersebut, kemiskinan di perkotaan juga disumbang oleh telur ayam ras (3,63 persen), daging ayam ras (3,36 persen), mie instan (2,24 persen), dan daging sapi (5,71 persen). Sedangkan kemiskinan di perdesaan disumbang oleh gula pasir (2,95 persen), telur ayam ras (3,18 persen), mie instan (2,11), dan daging sapi (2,83 persen).
Bappenas menemukan bahwa konsumsi daging sapi baik di perkotaan maupun perdesaan baru menjadi tren sejak 2016. "Baru muncul September 2016, di sinilah ada perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Mungkin karena perbaikan income dan kesadaran perbaikan gizi," ujar Bambang.
Selain itu Bappenas menyatakan indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap/P1) dan keparahan kemiskinan (poverty severity index/P2) naik pada September 2017. P1 dan P2 naik kendati tingkat kemiskinan mengalami penurunan.
"P1 meningkat 0,05 persen secara year on year menjadi 1,79 persen dan P2 meningkat 0,02 persen menjadi 0,46 pada September 2017," kata Bambang.
Bambang mengatakan, peningkatan P1 menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung menjauhi garis kemiskinan. Hal ini mengindikasikan semakin besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengangkat orang keluar dari kemiskinan. Adapun peningkatan P2 menunjukkan bahwa ketimpangan di antara penduduk miskin semakin melebar. "Sehingga ketepatan sasaran program-program dalam menjangkau terutama penduduk termiskin semakin diperlukan," ujar Bambang.
Bambang memaparkan, peningkatan P1 dan P2 ini terjadi akibat peningkatan inflasi padi dan umbi-umbian yang cukup tinggi dibandingkan inflasi umum, bahkan pada periode yang sama 2016. Inflasi indeks harga makanan terjadi lantaran menurunnya pasokan gabah kering dan adanya hama wereng cokelat yang melanda setidaknya 30 kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Inflasi di daerah perkotaan terjadi akibat upah buruh bangunan secara riil mengalami penurunan karena peningkatan inflasi padi dan umbi-umbian pada daya beli kelompok termiskin ini. Selain itu, inflasi yang berdampak pada peningkatan P1 dan P2 ini juga tersebab masih tingginya kontribusi beras terhadap garis kemiskinan.
"Di perkotaan kontribusi beras terhadap kemiskinan sebesar 18,8 persen, sedangkan di perdesaan mencapai 24,52 persen," kata Bambang.
Angka P1 dan P2 dilaporkan meningkat kendati tingkat kemiskinan turun. Bappenas mengumumkan tingkat kemiskinan pada September 2017 sebesar 10,12 persen. Angka ini turun sebesar 0,58 persen dibandingkan September tahun sebelumnya. Adapun jumlah penduduk miskin dilaporkan berkurang sebanyak 1,18 juta jiwa dalam satu tahun.