Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bara Kontrak Terminal Kontainer

R.J. Lino berkeras melanjutkan kontrak pengelolaan JICT dengan Hutchison. Menteri Jonan mengancam membatalkannya dan mencabut izin Pelindo II.

13 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Acara makan siang di Hutchison House di Harcourt Road 10, Hong Kong, pada Kamis pekan keempat Juni lalu menandai babak akhir negosiasi antara Richard Joost Lino dan Kin Ning Fok. Direktur Utama PT Pelindo II dan Managing Director Hutchison Whampoa Limited itu menyelesaikan pembicaraan bernilai sekitar US$ 3 miliar atau setara dengan Rp 39 triliun—dengan hitungan kurs Rp 13 ribu per dolar.

Turut hadir dalam pertemuan itu, antara lain, Direktur Keuangan Pelindo II Orias Petrus Moedak. "Itu pertemuan finalisasi amendemen kontrak. Kami sepakat semuanya sudah beres," kata Lino, 8 Juli lalu.

Hutchison Whampoa adalah induk dari Hutchison Port Holdings (HPH), perusahaan milik konglomerat terkaya di Hong Kong, Li Ka-shing. Sejak Maret 1999, perusahaan itu menjadi pengelola terminal kontainer terbesar di Indonesia, yang berlokasi di Pelabuhan Tanjung Priok. Di dalam PT Jakarta International Container Terminal (JICT) itu, mereka berkongsi dengan PT Pelindo II. Komposisi sahamnya adalah 51 persen milik Hutchison; 48,9 persen milik Pelindo II; dan 0,10 persen milik Koperasi Pegawai Maritim.

Kontrak itu baru akan berakhir pada 2019. Tapi, dengan alasan demi kepastian investasi, jauh-jauh hari Pelindo II sudah menawarkan perpanjangan kontrak kepada Hutchison. Agustus tahun lalu, Pelindo bahkan mengumumkan telah mencapai kesepakatan untuk memperpanjang kerja sama dengan Hutchison hingga 2039. Kesepakatan itu mereka tuangkan dalam amendemen kontrak tertanggal 5 Agustus 2014.

Sejak itulah kontroversi merebak. Banyak pihak menolak perpanjangan itu dengan berbagai argumen. Di antara para penolak itu adalah Serikat Pekerja JICT. Mereka mengatakan kerja sama dengan perusahaan asing itu tak diperlukan lagi dan lebih baik dikelola sendiri oleh perusahaan nasional.

Tapi R.J. Lino cukup percaya diri ketika Kamis siang itu berbicara dengan Kin Ning Fok atau yang akrab disapa Canning. Sebab, surat persetujuan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, sebagai pemegang saham Pelindo II, sudah keluar pada 9 Juni lalu. "Menteri BUMN sudah setuju," ujar Lino.

Tapi keluarnya persetujuan itu tak membuat masalah otomatis tuntas. Ketika Lino bersulang dengan Canning pada Kamis siang itu, di Jakarta, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan buru-buru menyurati Rini. Jonan mengingatkan koleganya itu tentang surat yang diteken Menteri Perhubungan terdahulu, E.E. Mangindaan, yang terbit pada 18 September 2014. Isinya: Pelindo II harus mendapatkan konsesi pengelolaan pelabuhan dulu sebelum memperpanjang kontrak Hutchison.

Di sinilah persoalannya. Menurut Jonan, hingga kini Pelindo tak pernah mengurus izin yang diperlukan itu. "Kalau nanti ditemukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pelayaran, amendemen kontrak itu kami batalkan," ucap Jonan, 7 Juli lalu.

Serikat Pekerja juga mempersoalkan nilai perpanjangan kontrak, yang mereka anggap terlalu rendah. Mereka membandingkannya dengan saat JICT diprivatisasi pada 1999. Ketika itu, Hutchison melalui Grosbeak Pte Ltd menggelontorkan US$ 215 juta demi 51 persen saham JICT, dengan harga per lembar saham dipatok Rp 500. Dalam amendemen kontrak yang baru, Pelindo mendapat pembayaran di muka alias upfront fee US$ 215 juta dari Hutchison buat 49 persen saham JICT. "Padahal kapasitas peti kemasnya berkembang pesat," ujar Ketua Serikat Pekerja JICT Nova Sofyan Hakim.

Rendahnya nilai JICT ini juga disampaikan Financial Research Institute (FRI), konsultan independen yang ditunjuk Dewan Komisaris Pelindo II, enam bulan setelah Lino meneken amendemen perpanjangan kontrak dengan Hutchison. Dewan Komisaris saat itu dipimpin Luky Eko Wuryanto—kini Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian. Mereka menugasi FRI memeriksa proses valuasi PT JICT yang digarap Deutsche Bank.

Dari Deutsche Bank, FRI mendapat konfirmasi bahwa asumsi biaya sewa JICT seharusnya US$ 106,7 juta per tahun, bukan US$ 85 juta, seperti tertulis dalam amendemen kontrak 5 Agustus 2014. Bank itu juga merevisi valuasi nilai wajar saham PT JICT, dari semula US$ 639 juta menjadi US$ 833 juta.

FRI kemudian memverifikasi lagi nilai itu dan mendapatkan angka wajar saham JICT sebesar US$ 854,3 juta. Dengan tawaran upfront fee sebesar US$ 215 juta dari Hutchison, seharusnya kepemilikan sahamnya hanya 25,2 persen, bukan 49 persen.

Berbekal temuan tersebut, Luky mengirim surat ke direksi Pelindo II pada 23 Maret 2015. Isinya agar Lino bernegosiasi ulang dengan HPH untuk merevisi besaran upfront fee atau porsi saham Hutchison di JICT.

Tapi Lino menolak. "Saya tidak bisa terima. Konsultan tidak jelas itu," kata Lino. Dia dan Luky kemudian sepakat menunjuk konsultan baru, yang dianggap lebih bonafide, yakni Bahana Securities. Direktur Keuangan Pelindo II Orias Petrus Moedak sempat tujuh tahun menjabat direktur di BUMN jasa keuangan itu. "Saya dan Luky sepakat, apa pun rekomendasi Bahana kami ikuti. Dengan segenap implikasinya," Lino menegaskan.

Pada 27 April lalu, verifikasi Bahana keluar. Ternyata mereka mendukung hitungan Deutsche Bank. Dalam dokumen valuasi Bahana yang diperoleh Tempo, FRI dianggap melakukan kalkulasi dobel. Sehari kemudian, Dewan Komisaris Pelindo II mengeluarkan surat rekomendasi dan menyetujui verifikasi Bahana.

Ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, 9 Juli lalu, Luky enggan menceritakan lagi perdebatan soal temuan FRI tersebut. "Itu (mengikuti apa pun rekomendasi Bahana) pernyataan Pak Lino, bukan pernyataan saya," ujarnya. Luky juga tak mau menjelaskan pendapatnya atas hasil verifikasi Bahana.

Menteri BUMN sebelum Rini, Dahlan Iskan, juga sempat ragu terhadap nilai yang wajar untuk JICT. Pada 10 Oktober 2014, Dahlan membalas surat Lino tertanggal 5 Agustus 2014, yang meminta persetujuan atas amendemen kontrak dengan Hutchison. Oleh Dahlan, seperti diceritakan Dwijanti Tjahjaningsih, yang saat itu menjabat deputi di Kementerian BUMN, permohonan Lino tak disetujui. Alasannya karena belum ada rekomendasi dari Dewan Komisaris. Dahlan juga meminta Lino menenderkan kontrak pengelolaan JICT ketimbang langsung memperpanjang kontrak Hutchison.

"Bukan permintaan Pak Dahlan, tapi peraturan menterinya memang seperti itu," ucap Dwijanti. Kebetulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menginstruksikan agar tak ada pengambilan keputusan strategis selama masa transisi pemerintahannya ke Presiden Joko Widodo.

Jauh sebelumnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga pernah mengingatkan Lino terkait dengan penunjukan langsung Hutchison. Dalam laporan pemeriksaan 6 November 2012, Lino diminta mengkaji secara hukum masalah ini. Sebab, pada 1999, Hutchison ditetapkan sebagai mitra Pelindo II melalui proses lelang.

Lagi-lagi Lino menampik jika dituding main tunjuk langsung. Dia bercerita, setelah meneken amendemen dengan Hutchison, ia menyodorkan dokumen itu ke PSA Singapura, DB World Dubai, APM Terminals Maersk Belanda, dan China Merchants Group. Lino mengklaim tak satu pun dari para operator pelabuhan besar itu sanggup memberi tawaran lebih baik. Dia mengatakan sengaja melakukan tender tertutup setelah ada tawaran Hutchison dengan alasan etika. "Tidak sopan langsung main tender. Saya mesti permisi dulu pada Hutchison."

* * * *

DI luar soal kalkulasi, urusan konsesi atau hak pengelolaan terminal juga jadi ganjalan. Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok Wahyu Widayat pernah menyurati Lino, Agustus tahun lalu. Menurut Undang-Undang Pelayaran, kata dia, jelas ditegaskan bahwa Pelindo II harus mengantongi izin konsesi lebih dulu sebelum menyepakati amendemen kontrak dengan Hutchison. Lino mengaku sempat ngotot-ngototan dengan Kementerian Perhubungan gara-gara peringatan Wahyu ini.

Merasa buntu, Lino mengambil jalan memutar dengan meminta pendapat hukum dari Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung. Menurut Lino, JICT dan Tanjung Priok secara keseluruhan merupakan aset yang dimiliki Pelindo II sebelum Undang-Undang Pelayaran terbit pada 2008. "Kejaksaan Agung merekomendasikan: kami tak perlu minta konsesi ke Kementerian Perhubungan," ujar Lino.

Seorang pegawai Pelindo II yang tahu proses perpanjangan kontrak dengan Hutchison mengatakan fatwa Kejaksaan Agung yang disebut Lino itu tak pernah ada. "Kejaksaan belum pernah keluarkan opini," kata sumber itu. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana mengaku belum pernah mendengar Kejaksaan Agung memberi opini itu. "Harus saya cek dulu," ujarnya.

Bagi Jonan, kalaupun ada fatwa atau pendapat hukum, tarafnya tetap tidak lebih tinggi dari Undang-Undang Pelayaran. Apalagi, kata dia, kewajiban konsesi juga sudah termaktub dalam Peraturan Pemerintah tentang Kepelabuhanan, yang terbit pada 2009. Atas dasar itu pula Jonan menyurati Menteri BUMN Rini Soemarno pada 25 Juni lalu.

Alih-alih menjawab surat Jonan, sepekan kemudian, Rini justru menyurati Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Dalam suratnya, Rini berharap agar Peraturan Pemerintah tentang Kepelabuhanan itu direvisi. "Perlu menjadi kesepakatan pemerintah bahwa PT Pelabuhan Indonesia I-IV tetap mengelola pelabuhannya, yang telah ada sebelum Undang-Undang Pelayaran berdasarkan Pasal 344, dan tidak dengan pola konsesi," Rini menulis.

Rini sedang di Eropa saat hendak dimintai penjelasan. Melalui asisten pribadinya, Riza Permadi, Rini minta soal ini ditanyakan kepada Sekretaris Menteri BUMN Imam Apriyanto Putro. Tapi Imam, yang juga turut dalam rombongan ke Eropa, tak merespons pertanyaan Tempo yang dilayangkan lewat pesan pendek dan panggilan telepon.

Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang Komunikasi Publik Hadi M. Juraid memastikan Menteri Jonan sudah tahu surat Rini bertanggal 29 Juni itu. Hadi mengakui memang ada rencana revisi Peraturan Pemerintah Kepelabuhanan, tapi baru sekadar usul. Draf revisi juga dikatakan belum ada. "Biar saja semua yang memberi persetujuan itu diperiksa," ucap Jonan.

Khairul Anam


Jalan Memutar Menuju Perpanjangan

PROSES perpanjangan kontrak pengelolaan PT Jakarta International Container Terminal (JICT) di Tanjung Priok oleh Hutchison berjalan tak mudah. Berikut ini beberapa catatannya.

2012

  • Juli: Pelindo II meminta detail proposal nonbinding sebagai pertimbangan dalam proses perpanjangan konsesi.

    2013

  • 1 Juli: Pelindo II menunjuk Deutsche Bank sebagai financial advisor perpanjangan kontrak.

    2014

  • 5 Agustus: Pelindo II menandatangani amendemen kontrak perpanjangan dengan Hutchison. Syarat dan ketentuannya:
    - Upfront fee US$ 200 juta untuk kepemilikan 49 persen saham Hutchison di JICT dan US$ 50 juta untuk KSO TPK Koja.
    - Biaya rental terminal JICT US$ 85 juta per tahun. Adapun TPK Koja US$ 35 juta.
    - Penghapusan kewajiban membayar ongkos technical know how.
    - Terminal II JICT dikelola oleh Pelindo II buat terminal domestik.
    - Penghapusan kewajiban pembayaran kepada Hutchison di akhir kontrak US$ 58 juta.
  • 18 September: Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan menyurati Menteri BUMN Dahlan Iskan agar Pelindo II harus mendapat konsesi sebelum memperpanjang kontrak dengan Hutchison.
  • 10 Oktober: Menteri BUMN menyurati Pelindo II agar melakukan tender.

    2015

  • 28 April: Dewan Komisaris mengeluarkan rekomendasi perpanjangan kontrak Hutchison.
  • 9 Juni: Menteri BUMN Rini Soemarno menyetujui amendemen kontrak.
  • 22 Juni: Hutchison sepakat menambah upfront fee untuk JICT menjadi US$ 215 juta.
  • 23 Juni: Direksi Pelindo II meminta pencairan biaya sewa per kuartal sebesar US$ 21,250 juta ke JICT.
  • 25 Juni: Menteri Perhubungan Ignasius Jonan berkirim surat ke Menteri BUMN agar Pelindo memenuhi kewajiban konsesi.
  • Awal Juli: Duit sewa terminal per kuartal cair.

    Berbagai Sumber


    Nilai Kerja Sama Pelindo II dengan Hutchison

    Isi perjanjian JICT (joint venture)TPK Koja (kerja sama operasi)
    Penerimaan uang mukaUS$ 215 jutaUS$ 50 juta
    Rental terminal per tahun (2015-2039)US$ 85 jutaUS$ 35 juta
    Rental fee selama 24 tahunUS$ 2,040 miliarUS$ 840 juta
    Penghasilan dari terminal II JICT
    dikelola sendiri oleh Pelindo II
    US$ 27 juta -
    Penghasilan dari dividen51 persen51 persen
    Pembayaran technical know how
    ke Hutchison di akhir perjanjian
    - -
    Pembayaran kepada mitra (Hutchison)
    di akhir periode perjanjian
    - -
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus