Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN para amil zakat pada hari ketiga Ramadan lalu itu berlangsung panas. Dihadiri 25 peserta dan berlangsung di kantor Lembaga Sosial Lampung Peduli, Bandar Lampung, rapat itu membahas perizinan lembaga zakat swasta di provinsi tersebut.
Tiga peserta dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Lampung menuding 15 lembaga amil swasta di wilayah itu belum berizin dan dilarang mengumpulkan dana. Protes amil atau petugas pengumpul dan pengelola zakat bentukan pemerintah itu dipicu iklan Forum Zakat (FOZ) Lampung beberapa hari sebelumnya. Iklan di koran lokal itu berisi ajakan agar masyarakat membayar zakat di lembaga resmi. Yang dimaksud resmi adalah 15 lembaga anggota FOZ, yakni wadah lembaga zakat yang berdiri di Jakarta sejak 18 tahun silam.
Ketua FOZ Lampung Juperta Panji Utama menolak tudingan Baznas bahwa mereka tak punya izin. Sebab, kata dia, setiap anggotanya telah berbadan hukum. "Iklan ini dipermasalahkan karena kami tidak memasang logo Baznas," ujarnya, 8 Juli lalu.
Panji bercerita, dalam rapat itu, Rita Linda, Kepala Seksi Pemberdayaan Zakat di Kantor Wilayah Kementerian Agama Lampung, sekaligus pengurus harian Baznas, ngotot meminta anggota FOZ menyerahkan bukti legalitas organisasi itu. Penolakan mereka itulah yang membuat rapat menegang pada sejam pertama. Pembicaraan berangsur-angsur cair setelah Panji menyampaikan permintaan maaf dan bersedia menyerahkan semua dokumen yang diminta.
Rita Linda enggan menjelaskan ihwal pertemuan itu. "Tidak ada ribut-ribut, damai saja. Itu mereka salah tulis. FOZ sudah minta maaf," ujarnya. Ia meminta anggota FOZ patuh terhadap aturan baru, yaitu melaporkan kegiatan pengumpulan zakat kepada Baznas provinsi.
Para anggota FOZ menepati janji mereka. Tapi, kata Panji, dia kaget oleh tanggapan Baznas Lampung, yang menilai izin lembaga para anggotanya sudah kedaluwarsa.
Mayoritas izin lembaga zakat swasta mengacu pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, yang menyebutkan lembaga amil zakat cukup berbadan hukum. Namun, setelah terbit aturan baru, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, lembaga amil zakat nasional diharuskan berbentuk organisasi masyarakat atau yayasan.
Ketua Umum FOZ Nur Effendi mengatakan 18 lembaga zakat swasta—yang berdiri sebelum terbitnya Undang-Undang Zakat Tahun 1999 dan lebih senior daripada Baznas—diberi waktu menyesuaikan diri. Batasnya November 2016: mereka harus melengkapi syarat-syarat administrasi. Menurut dia, Baznas Pusat tahu betul klausul ini. "Tidak ada keharusan melengkapi dan diserahkan sekarang."
Inilah yang membuat Panji heran, mengapa Baznas Lampung ngotot meminta dokumen legal saat ini. "Ini membuktikan antar-Baznas tidak terkonsolidasi," katanya.
Ribut-ribut pengelolaan dana zakat mencuat setelah terbit Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Aturan baru ini mengangkat derajat Baznas menjadi regulator sekaligus operator. Sebelumnya, Baznas sejajar dengan lembaga zakat lain, seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Pos Keadilan Peduli Umat, dan Baitul Mal Hidayatullah. Sebagian lembaga zakat swasta bahkan berdiri jauh sebelum Baznas.
Sebelum ada aturan baru, lembaga zakat termasuk Baznas berhimpun dalam wadah bernama Forum Zakat (FOZ). Lembaga ini berperan seperti Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas).
Istimewanya posisi Baznas membuat anggota FOZ mulai menaruh curiga. Dalam beberapa pertemuan, sebagian anggota ingin Baznas keluar dari FOZ. Ketua FOZ Nur Effendi mengatakan polemik itu berakhir setelah Baznas menyatakan keluar pada Musyawarah Nasional FOZ ke-7 di Bandung, Mei lalu. "Kami sekarang mengutamakan harmonisasi."
Nur Effendi mengatakan silang pendapat soal posisi Baznas bisa berakibat pada buruknya pengelolaan zakat. Padahal, mengacu pada riset Institut Pertanian Bogor, Bank Indonesia, dan Bank Pembangunan Islam (IDB), potensi zakat mencapai Rp 217 triliun pada 2015. Dari potensi itu, jumlah yang dapat dihimpun lembaga zakat mencapai Rp 3,4 triliun pada 2014. "Saya terus mengupayakan sinergi dengan Baznas agar potensi zakat bisa terhimpun," ujarnya.
Direktur Pelaksana Baznas Pusat Teten Kustiawan mengatakan aturan baru bertujuan memangkas jumlah lembaga amil zakat yang menjamur di masyarakat. Pengurangan lembaga amil partikelir diyakini bisa mengefektifkan pengelolaan zakat untuk mengurangi kemiskinan. "Kalau hanya dikelola seperti ini, nilai ratusan triliun itu hanya sekadar potensi."
Persoalannya tidak hanya menyangkut peran ganda Baznas sebagai regulator sekaligus operator. Beberapa anggota FOZ terancam tidak bisa mengelola dana zakatnya secara mandiri. Mereka mayoritas lembaga zakat milik badan usaha milik negara, seperti BRI, BNI, Mandiri, Pertamina, PLN, dan Garuda Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Zakat, lembaga amil BUMN itu hanya diberi pilihan sebagai unit pengumpul zakat dari Baznas. Melalui FOZ, mereka mengajukan uji materi kepada Mahkamah Agung pada April lalu. Tujuannya agar lembaga amil BUMN bisa dianggap sah sebagai lembaga amil zakat mandiri seperti halnya Baznas, Dompet Dhuafa, dan Rumah Zakat.
Kue zakat di BUMN memang menggiurkan. Yayasan Baitul Mal BRI, misalnya, mampu menghimpun Rp 4 miliar dana zakat per bulan atau sekitar Rp 48 miliar per tahun dari karyawannya. Adapun PLN mencapai Rp 400 juta per bulan. Tahun ini, dana di PLN dipastikan meningkat tajam karena gaji setiap pegawai muslim di perusahaan setrum itu akan dipotong 2,5 persen untuk zakat mulai Juli ini.
Nah, jika ikut aturan baru, ratusan miliar dana zakat di BUMN wajib diserahkan kepada Baznas untuk disalurkan. Inilah yang membuat pengurus lembaga zakat di BUMN kurang legawa.
Direktur Lembaga Zakat PLN Herry Hasanuddin mengatakan pihaknya masih menunggu hasil uji materi di Mahkamah Agung. Instansinya enggan menyerahkan dana kelolaan ke Baznas karena sistem lembaga amil pemerintah itu dinilai lemah. "Setiap bertanya kepada orang yang berbeda di Baznas, jawabannya selalu beragam," ujarnya.
Herry mengatakan selama ini dana kelolaan di PLN langsung disalurkan di daerah, sesuai dengan tempat zakat itu dibayarkan. Bila zakat berasal dari karyawan PLN Aceh, distribusinya juga di Aceh. Herry mengaku belum mendapat kepastian tentang hal ini dari Baznas.
Seorang pengurus zakat BUMN mengatakan keengganan menyerahkan dana ke Baznas disebabkan oleh rendahnya kepercayaan terhadap pengelolaan zakat oleh lembaga pemerintah. "Lembaga amil swasta dan BUMN itu lahir karena kecewa terhadap pengelolaan zakat pemerintah, sekarang malah diminta bergabung," ujarnya.
Direktur Pelaksana Baznas Pusat Teten Kustiawan mengakui belum cairnya hubungan Baznas dengan lembaga amil di BUMN. Belum ada amil BUMN yang bersedia menjadi unit pengumpul buat Baznas, meski sudah diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2014. Dia menduga hal itu lantaran mereka terlalu berfokus pada rebutan dana kelolaan. Padahal yang lebih diperlukan adalah program pengentasan orang miskin. Untuk urusan ini, mereka memerlukan daftar orang miskin yang tunggal. "Kalau diserahkan ke korporasi atau lembaga amil swasta, akan terjadi tumpang-tindih," katanya.
Ketua FOZ Nur Effendi berharap polemik antara amil BUMN dan Baznas bisa segera diakhiri. Saat ini, delapan calon komisioner Baznas yang disodorkan Presiden Joko Widodo sedang menjalani uji kelayakan di Dewan Perwakilan Rakyat. Komisioner yang berasal dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan praktisi amil akan menggantikan rezim Baznas sekarang. "Kami berharap komisioner Baznas yang baru bisa bersinergi dengan lembaga amil swasta."
Akbar Tri Kurniawan
Lima Besar Dana Kelola Zakat 2014
Lembaga Amil | Rp (miliar) |
Dompet Dhuafa | 251 |
Rumah Zakat | 230 |
PKPU | 201 |
Bazis DKI | 113 |
YBM BRI | 74 |