Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saran Menteri Perhubungan Ignasius Jonan agar Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino tak memperpanjang kontrak Hutchison di PT Jakarta International Container Terminal (JICT) diabaikan. Syarat konsesi sebelum perpanjangan kontrak, sesuai dengan Undang-Undang Pelayaran, juga ditabrak. Kini Jonan mengaku sedang menyiapkan proses hukum atas kenekatan Lino itu.
"Kalau ditemukan pelanggaran, amendemen kontrak itu kami batalkan," kata Jonan kepada wartawan Tempo, Khairul Anam, yang menemuinya di lantai 9 kantor Kementerian Perhubungan, 7 Juli lalu.
Akhir Juni lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara sudah menyetujui perpanjangan kontrak Pelindo II dengan Hutchison di JICT. Perdebatan soal perpanjangan ini sudah berakhir?
Persetujuan itu dengan catatan (harus konsesi lebih dulu).
Kementerian Perhubungan sudah memperingatkan Pelindo II soal konsesi dari Kementerian Perhubungan itu?
Tanya Menteri BUMN. Tanya Dahlan Iskan, tanya Rini Soemarno. Kami dasarnya Undang-Undang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah tentang Kepelabuhanan. Dasarnya harus itu. Kalau, misalnya, nanti ditemukan pelanggaran undang-undang, ya, amendemen kontrak itu kami batalkan.
Anda bisa membatalkan amendemen kontrak Pelindo II dengan Hutchison?
Bisa, dong. Kami bisa mencabut izin badan usaha pelabuhan milik Pelindo II kalau mau.
Apa tak terlalu berisiko?
Yang di JICT itu saja dicabut. Undang-Undang Pelayaran tidak dibuat atas dasar model Indonesia semata. Singapura juga pakai konsesi. Dulu, pengelola pelabuhan di Singapura itu seperti Pelindo II. Pelindo II itu dulu operator dan regulator. Dengan terbitnya Undang-Undang Pelayaran, dia operator saja. Regulatornya negara. Makanya harus pakai sistem konsesi. Kalau habis, kita perpanjang lagi konsesinya. Memangnya Pelindo II itu punya siapa? Punya Pak Lino?
Pelindo II merasa perpanjangan kontrak dengan Hutchison sudah berlaku efektif karena Menteri BUMN telah memberi persetujuan.
Kalau nanti amendemen ini dianggap melanggar undang-undang dan hukum, biar saja semua yang memberi persetujuan amendemen itu diperiksa. Nanti kita lihat hasilnya seperti apa.
Pelindo II sampai meminta pendapat Kejaksaan Agung agar mereka tak perlu konsesi.
Fatwa Kejaksaan Agung itu tak mungkin lebih tinggi daripada undang-undang.
Perdebatan soal konsesi ini terkesan menjurus ke Ignasius Jonan versus R.J. Lino?
Oh, tidak. Saya menteri, kok. Masak, saya mau berantem dengan Direktur Utama Pelindo II? Kan, bukan kelas saya. Saya cuma menyarankan, sebaiknya jangan diperpanjang kontraknya dengan Hutchison.
Katakanlah Pelindo II akhirnya mendapat konsesi di JICT. Bisakah Pelindo II tetap memperpanjang kontraknya dengan Hutchison?
Tidak apa-apa. Terserah. Kalau mengikuti konsesi, Pelindo II mau bekerja sama dengan siapa saja silakan. Persoalan valuasi kontrak dianggap terlalu murah atau mahal, itu tanggung jawab manajemen Pelindo II dan Menteri BUMN, bukan tanggung jawab saya.
Ada kewajiban menyetor penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ketika pelabuhan itu dikonsesikan?
Ada, harus.
Artinya ada potensi hilangnya PNBP?
Kalau tidak tanda tangan konsesi, iya. Negara tak menerima PNBP-nya.
Besarnya 2,5 persen dari pendapatan kotor pelabuhan yang dikonsesikan itu?
Enggak tahu nanti berapa. Tapi 2,5 persen itu kan minimal.
Anda sudah menyurati Menteri BUMN. Apa langkah selanjutnya?
Kalau nanti pada waktunya masalah konsesi ini tak bisa ditandatangani oleh Pelindo II, ya, kami proses hukum dan kita lihat hasilnya. Pelindo II itu pasti boleh bekerja sama dengan pihak ketiga. Tapi harus konsesi dulu.
Anda sebenarnya tidak anti-asing?
Kalau mau bekerja sama dengan asing, itu misalnya di Pelabuhan Panjang, Lampung, yang masih sepi, atau Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Kalau di JICT, mau dikerjasamakan dengan Hutchison atau siapa pun mau, karena sudah profit.
Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino:
Bilang Jonan, Dia Lawan Kejaksaan Saja
Kendati berkali-kali diingatkan agar mengurus konsesi ke Kementerian Perhubungan lebih dulu, Richard Joost Lino jalan terus dengan rencana perpanjangan kontrak Hutchison di Jakarta International Container Terminal. Dia mengklaim Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara memberikan lampu hijau.
Di ruang kerjanya di lantai 7 kantor pusat Pelindo II, Tanjung Priok, Lino menerima wartawan Tempo, Khairul Anam, dan menjelaskan posisinya.
Apa isi pertemuan dengan Hutchison Whampoa Limited akhir Juni lalu di Hong Kong?
Itu finalisasi perjanjian. Apa yang sudah disetujui itu kami sepakat sudah beres dengan Hutchison.
Amendemen ini bisa dipersoalkan secara hukum karena tak mematuhi Undang-Undang Pelayaran.
Silakan saja. Silakan lawan kami.
Tahun lalu, Kementerian Perhubungan sudah memperingatkan harus ada konsesi dulu sebelum Pelindo memperpanjang kontrak dengan Hutchison?
Itu soal konsesi, bukan perpanjangan kontrak. Beda. Konsesi itu urusan saya dengan Menteri Perhubungan. Saya sudah minta pendapat Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara (Jamdatun). Apa saya perlu meminta konsesi untuk aset yang saya punya? Ini aset saya kuasai sebelum Undang-Undang Pelayaran terbit. Jamdatun merekomendasikan kami tak perlu konsesi.
Tapi Menteri Jonan menganggap undang-undang lebih tinggi daripada pendapat Kejaksaan Agung?
Jelas undang-undang lebih tinggi. Tapi artinya undang-undang apa? Jonan punya pendapat begini, saya begini, lalu saya mintakan pendapat Jamdatun terhadap Undang-Undang Pelayaran itu. Memangnya Jamdatun tidak lihat undang-undang? Jangan bicara mana yang lebih tinggi.
Rekomendasi Dewan Komisaris Pelindo II dan Menteri BUMN juga meminta Pelindo II harus menyelesaikan soal konsesi ini.
Kan, sudah ada pendapat hukum dari Jamdatun.
Buat Menteri Jonan, konsesi sebagai syarat adanya penerimaan negara bukan pajak?
Dia enggak punya hak, masak harus terima PNBP? Itu interpretasi dia, bahwa pelabuhan punya dia. Buat saya, pelabuhan punya saya. Kalibaru atau New Priok itu baru punya pemerintah. Jonan bilang negara mau mengambil Tanjung Priok lagi, padahal Pelindo II didirikan oleh negara sebagai aset yang dipisahkan. Logikanya di mana? Bilang ke Jonan, dia lawan Jamdatun saja, jangan saya, karena kita beda pendapat.
Ada apa antara Anda dan Jonan?
Saya tidak tahu. Tanya dia. Jonan itu dulu teman saya. Saya bingung, setelah jadi menteri, dia malah memusuhi saya. Semestinya dia pakai saya, teman-teman dia di BUMN, untuk membantu dia membereskan kerjanya di Perhubungan.
Anda mengincar kursi Jonan saat ini?
Saya dari awal tidak mau jadi menteri. Saya mau membereskan pelabuhan. Lebih banyak gunanya, karena Indonesia masalahnya pada eksekusi.
Perdebatan konsesi ini sebetulnya sudah ada sejak era Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan. Tapi hangat lagi karena menterinya sekarang Jonan?
Orang-orang itu lupa, Pelindo II ini BUMN. Kalau Pelindo II mendapat untung, untungnya untuk mengembangkan pelabuhan. Kalau swasta, duit lari ke luar negeri. Mereka semestinya mendukung kami, bukannya mengganggu dengan aturan yang begini-begini. Bila perlu, diubah.
Mengubah aturan soal konsesi dan PNBP?
PNBP itu semestinya pemasukan dari sesuatu yang negara kerjakan. Kalau negara tidak mengerjakan apa-apa, tidak boleh minta PNBP, dong. Pengerukan kolam pelabuhan tidak dikerjakan, kok, minta PNBP?
Kenapa Anda tak meminta revisi Undang-Undang Pelayaran saja?
Sudahlah, itu lama urusannya.
Selain soal konsesi, Jonan minta Anda tidak usah bekerja sama dengan asing lagi di JICT?
Mana mau swasta mengembangkan pelabuhan di Indonesia timur yang belum menguntungkan? Jika ada investor asing yang mau ke sini, kalau bisa, saya kasih kepemilikan 100 persen. Infrastruktur enggak bisa dibawa pulang ke negara mereka, paling-paling dividen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo