Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga aksara muncul enam kali dalam Quran, Alif Lam Mim—dan orang bertanya-tanya apa artinya.
Tak ada yang tahu. Tafsir datang silih berganti. Ada yang mengatakan bahwa bentuk tiga huruf itu melambangkan jalan hidup manusia. Ada pula yang membacanya sebagai bagian dari "matematika" Tuhan dengan angka-angka.
Saya tak tahu mana yang benar.
Saya hanya menyerah. Alif yang bergandeng dengan Lam dan bergandeng lagi dengan Mim itu agaknya menunjukkan betapa tak tepermanainya hubungan antara yang maha-tak-tergambarkan dan bahasa manusia.
Sering dikatakan hubungan itu terjadi dalam wahyu. Wahyu datang dan jadi pengalaman religius yang intens, yang tak dapat diulangi, yang hanya bisa dirasakan sendirian dan mampu mengubah hidup seseorang: "the individual pinch of destiny", dalam kata-kata William James. Wahyu turun dan sang penerima menadahnya dengan gentar gemetar, terguncang terpesona. Tak ada kata-kata.
Tapi tak selamanya. Memang, seseorang yang baru berada dalam sebuah pengalaman religius bisa memilih diam bersama ketakmampuannya bercerita. Atau keengganannya. Tapi kemudian ia merasa perlu memakai bahasa—juga buat dirinya sendiri—agar pengalamannya yang unik itu tak sekadar sekali terjadi dan sudah itu tak bisa ditengok kembali.
Bahasa adalah perekam. Itulah sebabnya puisi digubah, catatan harian ditulis, pengalaman dikisahkan. Dengan itu orang ingin menghadirkan kembali apa yang dialami, meskipun tentang hal yang sebenarnya tak dapat dihadirkan kembali. Jalaludin Rumi pernah mengatakan ada "rahasia yang tak terungkapkan" dan itu adalah Cinta, tapi pada saat yang sama ia menulis berpuluh baris tentang "rahasia" itu.
Dengan kata lain, ada "rahasia yang tak terungkapkan" namun yang terasa mendesak agar diungkapkan. Ada cinta yang ibarat lautan tak bertepi tapi kemudian direnungkan dan dinilai kembali. Ketegangan selalu terjadi dalam diri seseorang yang berada dalam hubungan yang akrab dan bergelora, baik dengan seseorang maupun dengan Tuhan. Sang pencinta tahu kata-kata tak mampu menguraikan kegandrungannya, namun ternyata ia perlu bahasa untuk merekonstruksi dan "membaca" kegandrungannya sendiri itu.
Mirip ketika kita terbangun dari tidur yang lelap dan mencoba menyusun sebuah narasi yang utuh dari kegalauan mimpi.
Dalam menyusun narasi itu—dalam "membaca" itu—kita sesungguhnya membuat tafsir. Kita meninjau pengalaman kita dengan interpretasi. Tiap penerima wahyu melakukan itu. Ia gentar, gemetar, dan terpesona, tapi ia tak mau terus-menerus bingung. Wahyu itu pun jadi teks, dan teks itu disertai sebuah ta'wil.
Tak selamanya ta'wil itu membuat yang diinterpretasikan jadi transparan. Kita ingat tiga huruf itu: Alif Lam Mim seakan-akan sebuah gudang perbendaharaan ilmu yang tak kunjung kita dapatkan kunci pembukanya. Tak ada kamus, juga perbendaharaan kata para sufi, yang bisa menerjemahkannya.
Ada sebuah telaah tentang kamus para sufi di zaman awal Islam. Saya menemukan satu kutipan dari Rzbihân. Sufi dari Shiraz, Iran, di abad ke-12 ini terkenal dengan ungkapan-ungkapannya yang seperti prosa liris yang bergelora, shathiyyât. Ia diejek sebagai Doctor Ecstaticus, tapi ia memang yakin ada kata-kata tertentu yang jadi "wahana bagi rahasia-rahasia", kata-kata yang "digetarkan oleh cahaya". Di sana, menurut Rzbihân, terkandung rumz dari "khazanah titah Ilahi yang sayup-sayup lembut".
Dalam tradisi mistisisme masa itu, hanya orang-orang tertentu yang dapat menangkap isyarat Tuhan. Sebuah hierarki pun terbentuk: di tingkat atas sekali sang Guru, dan di lapis berikutnya, secara berjenjang, mereka yang berbeda-beda dalam pengalaman dan kapasitasnya bisa akrab dengan isyarat Ilahi.
Kini, hierarki itu mudah digugat. Islam tak mengakui kelas "kependetaan", meskipun terus-menerus dirundung kecenderungan itu. Semangat sufi pada hakikatnya egaliter, sebab dalam iman dan dalam pengalaman religius tak ada pengukur untuk membuat peringkat.
Lagi pula masalahnya mungkin ada dalam sifat bahasa—khususnya bahasa yang lazim kita temui dalam kitab-kitab suci, yang berbicara dengan energi puitik. Puisi mengakui, kata-kata tak pernah memadai untuk mengungkapkan pengalaman yang terdalam, apalagi kata-kata yang sudah diulang-ulang orang ramai. Para penyair, Roestam Effendi dan Chairil Anwar, misalnya, terkadang merasa perlu menciptakan bentukan kalimat dan kosakata baru. Tapi puisi mereka juga tak bisa mengelak sama sekali dari bahasa yang tumbuh secara sosial. Dalam pergulatan antara bahasa privat dan bahasa publik itulah puisi sering mengejutkan, kadang aneh dan sulit—sebagaimana bahasa kitab suci. Tapi energi puitik tak membuat kitab suci, atau buku sajak, jadi seunggun teka-teki yang bisa dipecahkan dengan prosedur analisis.
Alif Lam Mim. Rasanya ini juga bukan teka-teki. Rasanya ini sentuhan yang "sayup-sayup lembut" untuk kembali ke dalam pengalaman religius. Rasanya tak dibutuhkan seorang aulia buat mengungkapkan makna yang benar dari tiga huruf ini, sebab apa yang akan diungkapkannya akhirnya toh juga sebuah interpretasi.
Seorang teman mengutipkan kalimat seorang penelaah Quran: al-wajh al-akhtar li al-nass. Interpretasi adalah sisi lain teks: dua belahan dari sebuah pengalaman religius yang tunggal. Tak ada teks yang tak diinterpretasikan. Tak ada interpretasi tanpa sejarah. Tak ada seorang besar atau kecil yang menafsir dari luar ruang tertentu, waktu tertentu. Tak ada yang tak harus disertai kerendah-hatian.
Alif Lam Mim. Ia mengingatkan, kita bukan pikiran yang sepenuhnya mengerti.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo