Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata "penjaminan" kini menjadi sesuatu yang menakutkan. Paling tidak, bagi mereka yang terlibat dalam kasus dugaan penyelewengan Rekening 502 (rekening penjaminan) seperti sejumlah petinggi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Bank Indonesia (BI). Pekan-pekan ini, kasus yang melibatkan dana sekitar Rp 21 triliun tengah disidik Markas Besar Kepolisian Indonesia. Di tengah "ketakutan" itulah Departemen Keuangan kini sedang menyiapkan terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan, yang akan menggantikan peran BPPN. Pengalihan ini tak terhindarkan karena pemerintah akan menutup BPPN pada akhir Februari nanti.
Namun, pada tahap awal, Departemen Keuangan akan membentuk Unit Pelaksana Program Penjaminan. Lembaga baru inilah yang akan mengambil alih pekerjaan BPPN dalam soal penjaminan dana pihak ketiga (blanket guarantee) sebelum Lembaga Penjamin Simpanan terbentuk. Pekerjaan Unit Pelaksana Program Penjaminan ini persis sama dengan yang dilakukan BPPN, yakni penjaminan seluruh dana pihak ketiga. "Ini hanya ganti baju," kata Darmin Nasution, Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan.
Darmin mengakui, pemerintah memang belum siap mendirikan lembaga penjaminan pada tahun ini. Yang sudah di-lakukan pemerintah adalah menyiapkan RUU Lembaga Penjamin Simpanan. Dan saat ini, pemerintah sudah menyerahkan Rancangan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan ke DPR. Rencananya, pemerintah dan parlemen akan se-gera membahasnya dan kemudian menjadikannya undang-undang. Darmin memperkirakan pembahasan ini akan selesai Maret nanti. "Rancangan ini berisi peraturan teknis, jadi membahasnya tak terlalu sulit," katanya. Undang-undang inilah yang nantinya akan menjadi payung bagi Lembaga Penjamin Simpanan.
Pembentukan lembaga penjamin memang tak bisa ditunda-tunda lagi. Bagaimanapun, pemerintah tak bisa lagi mempertahankan sistem penjaminan seperti sekarang ini, yang menjamin seluruh dana pihak ketiga. Sistem ini ditengarai menjadi salah satu penyebab bank tidak menjalankan prinsip kehati-hatian (prudential banking) karena toh pemerintah akan menjamin dana pihak ketiga jika bank tersebut bermasalah. Dalam bahasa Emir Moeis, anggota Komisi Keuangan DPR RI, tidak ada bedanya antara bank yang kinerjanya bagus dan bank yang jelek. Nasabah bisa memilih bank apa saja karena dananya akan aman. "Ini tidak sehat," ujarnya kepada Adek Media Roza dari Tempo News Room.
Nah, untuk sampai ke sana, kata Darmin, Unit Pelaksana Program Penjaminan akan melaksanakan fungsi penjaminan di masa transisi. Lembaga ini akan menjalankan program penjaminan yang lingkup penjaminannya secara terus-menerus akan dikurangi. Sejumlah transaksi yang sebelumnya dijamin sepenuhnya oleh pemerintah akan dihapus dari daftar. Transaksi itu antara lain meliputi transaksi perdagangan internasional, transaksi antarbank, dan surat-surat berharga. Nantinya, yang akan dijamin hanyalah simpanan nasabah berupa tabungan dan deposito. Itu pun jumlahnya akan dibatasi hanya sampai Rp 100 juta.
Sekarang, praktis semua jenis dana pihak ketiga dan berapa pun jumlah dana pihak ketiga yang ada di bank dijamin. Pendeknya, setiap Bank Indonesia menutup bank atau bank yang bersangkutan bangkrut, pemerintah akan tutup mata dan mengganti seluruh dana yang masuk dalam kelompok dana pihak ketiga. Berbagai pengurangan jenis dana pihak ketiga dan penurunan jumlah simpanan yang dijamin ini diperkirakan akan memakan waktu satu tahun sampai 18 bulan. Sekarang, kata Darmin, Departemen Keuangan sedang menyiapkan pengalihan dari BPPN ke Unit Pelaksana ter-sebut. Pengalihan itu mencakup pengalihan personel, data base, maupun dana pihak ketiga yang belum dibayarkan.
Untuk memperkuat posisi Unit Pelaksana, presiden akan menerbitkan amendeman keputusan presiden (keppres). Pelaksanaan program penjaminan yang dimulai Januari 1998 ini memang didasarkan pada Keppres No. 26/1998, dengan BPPN sebagai pelaksananya. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan Keppres No. 120/1998 (penjaminan kewajiban kepada kreditor luar negeri) dan Keppres No. 193/1998 yang menjamin dana pihak ketiga di Bank Perkreditan Rakyat. Pelaksana dua keputusan presiden yang terakhir ini adalah Bank Indonesia.
Tapi, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, berpendapat lain. Seharusnya, pembentukan Lembaga Penjamin tak perlu menunggu terlalu lama. Menurut dia, pemerintah tak perlu terfokus pada pembentukan unit-unit pelaksana semacam itu. Kendati memahami perlunya masa transisi, Aviliani menilai bahwa Lembaga Penjamin sudah dapat dibentuk tanpa harus menunggu undang-undangnya rampung terlebih dulu. "Asalkan lembaga pengontrolnya, yakni Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, bisa mengawasi lembaga itu dengan ketat," ujarnya.
Namun, harus diakui bahwa tak gampang membentuk Lembaga Penjamin. Departemen Keuangan memperkirakan modal yang diperlukan untuk mendirikan lembaga ini sekitar Rp 4 triliun. Dalam kondisi keuangan negara seperti sekarang, angka Rp 4 triliun jelas bukan jumlah yang sedikit. Jumlah itu pun masih terlalu kecil untuk ukuran nasabah Indonesia, yang punya simpanan dana pihak ketiga di perbankan sekitar Rp 800 triliun. Dalam hitungan Departemen Keuangan, mestinya Lembaga Penjamin didirikan dengan modal disetor paling kurang Rp 40 triliun. Sementara itu, dengan tarif premi 0,25 persen seperti yang dipungut sekarang, jumlah premi yang bisa dikumpulkan diperkirakan hanya sekitar Rp 2 triliun per tahun.
Selain itu, masih ada sejumlah soal yang belum beres. Sebut saja soal posisi lembaga tersebut, apakah sepenuhnya swasta ataukah pemerintah perlu terlibat di dalamnya. Dalam bayangan Aviliani, mestinya pemerintah masih punya peran 30-40 persen. "Ini untuk mempertahankan peran pemerintah sebagai lender of the last resort," katanya. Darmin menegaskan, meskipun Lembaga Penjamin akan menjadi badan independen, ke- dudukannya tetap menjadi bagian dari pemerintah. Di negara mana pun, katanya, kalau ada bank besar yang tumbang, lembaga seperti itu tidak akan mampu menangani. Karenanya, harus ada back-up dari pemerintah. Jika semuanya oke, paling cepat Indonesia sudah akan bisa memiliki Lembaga Penjamin Simpanan pada pertengahan tahun 2005.
Kendati demikian, Darmin menilai masih ada faktor yang diperkirakan ber- ºpotensi mempengaruhi pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ini, yakni arsitektur perbankan Indonesia yang diluncurkan oleh Bank Indonesia, dan pelaksanaan pemilihan umum. Darmin mengatakan, penentuan arsitektur perbankan berkaitan dengan modal minimum yang harus dimiliki oleh suatu bank akan mendorong bank-bank kecil melakukan merger. Repotnya, pada umumnya nasabah merasa tak nyaman dengan perpindahan dana. Namun, dampaknya belum bisa diukur dan Departemen Keuangan akan membicarakannya dengan Bank Indonesia.
Karena itu, mumpung masih dalam tahap "embrio", sebaiknya Lembaga Penjamin Simpanan dirancang dengan baik. Dan Unit Pelaksana Program Penjaminan bisa menjadi pilot project yang bisa memuluskan operasi Lembaga Penjamin di masa datang. Dengan begitu, berbagai persoalan yang masih mengganjal di masa lalu seperti kasus Rekening 502 bisa dihindari.
Dara Meutia Uning
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo